Hari-hari ini aku sedang mencoba bertanya kepada diri sendiri, kepada siapakah seharusnya kita bisa benar-benar percaya untuk menggantungkan hidup??Lalu tiba-tiba semesta meringkusku ke dalam sebuah permenungan yang dalam.
Sekitar dua setengah tahun lalu, pernah aku berada dalam kondisi yang tidak terlalu menyenangkan.?Hanya sekitar sebulan setengah setelah dilahirkan, Odilia, anak pertamaku, harus menginap di rumah sakit tiga minggu lamanya.?Ah, aku tak perlu menceritakan apa dan bagaimana detailnya karena selain Odilia kini baik-baik saja, kalau aku memang berniat untuk bercerita tentu aku sudah menuliskannya saat itu juga.
Sehari sesudah Odilia kembali ke rumah dan kebahagiaan mulai meruap dengan kepulihannya, sebuah ‘badai lain’ terjadi di kantor, sore menjelang pulang.
Mendadak aku dipanggil manajerku dan barangkali karena memang sudah menjadi budaya di sini, tanpa basa-basi yang berkepanjangan, ia langsung menuju ke pokok pembicaraan.?“Jadi rapat management tadi pagi memutuskan kami tak memerlukan jasamu lagi dan tanggal 17 Juni 2010 adalah hari terakhirmu bekerja di sini!”
Butuh waktu yang lama untukku menelaah kata-katanya barusan karena selain waktu itu Bahasa Inggrisku masih terlalu buruk dibanding sekarang,?kenyataan yang datang terlalu tiba-tiba itu juga bagai sebungkus nasi panas nan pedas tapi harus disuapkan ke dalam mulut dan harus habis dalam waktu yang singkat.
Aku hanya tersenyum dan seingatku, aku berujar singkat, “O well… fine with me!”
Kami lantas menyudahi pertemuan itu.
Aku yang sudah tak punya minat sama sekali untuk memperpanjang hari, memutuskan langsung pulang dan mengambil bus yang lebih pagi untuk menghindari teman ngobrol di dalam bis.?Kali itu aku memang sedang tak perlu teman. Yang aku butuhkan hanyalah sebuah bangku di sisi jendela bus berkaca jernih yang memungkinkanku untuk memandang pemandangan tanpa batas sore itu…
Kenyataan dipecat itu, sekuat apapun aku, amatlah menohok.?Bayangkan, bahkan setahun setengah sebelumnya, ketika aku masih berada di Indonesia, sejatinya power yang dimiliki manajerku untuk memecatku itu dulunya kupunyai juga karena aku bekerja?di perusahaan yang bersama teman-teman kubangun dan dirikan sendiri sejak delapan tahun sebelumnya.
Namun, pada guratan-guratan wajah yang kutemukan dari pantulan samar jendela bus sore itu, kutemui kenyataan bahwa hidup ini memang telah berubah, suka-tak-suka.?Aku secara sadar telah memilih untuk meninggalkan perusahaanku dan Indonesia, merantau di sini dan … menjadi karyawan, bekerja bagi perusahaan orang lain dan sore itu kakinya menendang daguku?hingga terjungkal, aku dipecat!
Dalam sisa perjalanan pulang yang memakan waktu sekitar satu setengah jam menuju rumah itu, perasaanku campur-aduk.?Wajah istriku menimang Odilia yang masih polos dan sedang lucu-lucunya pun berkelindan dalam benak. Getir yang teramat sangat karena pada saat itu aku merasa begitu terpuruk justru saat?aku merasa mulai bisa membuktikan bahwa aku layak diandalkan untuk mampu menghidupi mereka.
Hingga tak terasa satu pemberhentian bus lagi sebelum aku turun, hal yang bisa kulakukan dan kupikirkan hanyalah satu, “Hadapi! Hadapi apapun yang telah dan akan terjadi!”
Dan malam itu Tuhan memberikan satu penerangan baru.
Kepercayaanku kepadaNya tumbuh karena meski dulu aku sempat meragukan apakah ‘ini’ jalanku, tapi malam itu, Ia seperti membentangkan kebesaranNya di depanku dan seolah berkata bahwa?anak dan istriku lah kekayaan terbesarku. Istriku menerima kabar itu dengan sangat tenang; ia mengangsurkan Odilia ke dadaku dan berkata, “Cium anakmu and you’ll feel better!”?Aku lantas mencium keduanya, anak dan istriku?and i felt the best.
* ? ? ?* ? ? ?*
Hari-hari sesudahnya, meski telah semakin dikuatkan, namun kemanusiaanku mengisyaratkan kegelisahan yaitu bahwa cepat atau lambat aku harus mendapatkan pekerjaan lain!?Bagai kesetanan, hari-hariku lantas dipenuhi dengan acara mengirimkan resume ke situs lowongan pekerjaan, menerima telepon dari perusahaan maupun agen penyalur pekerjaan dan?sesekali mendapatkan tawaran interview face-to-face.
Hingga pada suatu hari, dua minggu sesudah aku dipecat, di sebuah siang yang lengas, aku mendapatkan tawaran interview di sebuah perusahaan yang cukup bonafide.?Saking bonafide-nya, aku bahkan sukses dibuatnya minder dan hal itu membuyarkan kepercayaan diriku atas interview yang terjadi.?Sesaat setelah keluar ruangan, ketika menelpon istri, aku dengan malas menjawab pertanyaannya tentang bagaimana hasil interviewnya,?“Yaaaa gitu deh! Lima belas menit lalu disuruh keluar dan bahasa Inggrisku sedang jelek sekali tadi!” Tiada harapan!
Dalam perjalanan pulang menuju ke rumah, sekali lagi, aku memilih untuk duduk di pinggir jendela berkaca jernih dan pemandangan alam khas Australia yang kering kerontang di luarnya itu?seolah justru menjadi kanvas pemikiran dan lamunanku.
Sedang asik-asiknya melamun, tiba-tiba di sebuah halte bus, sebuah peristiwa terjadi.?Seorang anak ‘berkebutuhan khusus’ yang tampaknya baru pulang sekolah mencegat bus yang kutumpangi. Tubuhnya cukup tambun, bajunya kucal dengan tas punggung yang besarnya nyaris sama?dengan lebar badannya, tergantung. Tapi karena kursi ‘kesukaannya’ ditempati orang lain, si anak tadi lantas mengurungkan niatnya, berbalik arah dengan gerutuan yang makin lama makin terdengar.
Sang supir gagal menjelaskan kepada anak itu bahwa bis dalam kondisi penuh dan tak bisa menangkap maksud si anak yang memang tak bisa berbicara itu.?Tapi aku tahu dengan jelas dari sudut mata si anak yang sesaat sempat melirik tajam ke arahku, bahwa orang yang menempati kursi kesukaannya adalah aku.
Ketika bus hendak melaju, aku tiba-tiba berteriak pada supir bus dan memerintahkannya untuk berhenti.?“Maaf, tapi tampaknya aku harus turun di sini!” Si supir kesal tapi ia tak bisa menahanku karena bus masih berada di zona shelter.
Sebelum turun, aku melongok ke arah anak tadi. Sebelah kakiku kuinjakkan di trotoar sementara yang lain masih kutinggal di pintu bus untuk menahan laju bus tadi.?Si Supir berteriak semakin kesal karena hal itu berarti menghalanginya untuk melajukan bus kembali ke jalannya. Tapi hal itu toh tak kuhiraukan.
Dengan sedikit berteriak,kupanggil anak berkebutuhan khusus tadi. Kuberi tanda padanya untuk naik ke bus dan ia pun mendekat.?Ketika ia kemudian menaiki bus, aku lantas memberi tanda kepada anak itu untuk duduk di kursi kesukaannya, kursi yang sebelumnya kutempati.
Si anak tadi kegirangan! Aku tak bisa melihat ekspresi darinya karena ‘kekurangannya’, tapi dari sorot matanya, aku bisa menangkap bagaimana ia menghargai usahaku itu.
Bus pun melaju meninggalkanku di halte yang sebenarnya bukan halte yang kutuju, menunggu bus selanjutnya yang akan datang sekitar 30 menit ke depan.
Kepada istriku lantas kukirimkan pesan bahwa aku akan terlambat sekitar 30 menit lamanya tanpa kujelaskan cerita ini kepadanya.
Sementara menunggu bus, aku lanjutkan lamunanku yang sempat terpenggal tadi.?Lalu teleponku tiba-tiba berdering dan ketika kuangkat, seorang di ujung sana kali ini tak lagi menawarkan harapan, ia menawarkan pekerjaan.
“Hey Donny, you’ve got the job! Congratulation!”
Aku merasakan kesukacitaan yang luar biasa! Hari yang kutunggu dan ditunggu-tunggu pula oleh anak istriku telah tiba!
Sesaat setelah telepon kumatikan, aku berdoa kepada Tuhan.?Menghaturkan terimakasih dan di akhir doaku, tiba-tiba terbayang pijar mata si anak berkebutuhan khusus tadi.
Semua yang terjadi siang itu berjalan bagai sesuatu yang memang telah diurutkan dan direncanakan.?Pikiran nakalku berandai-andai…
Andai aku tak memberikan kursi itu kepada anak tadi, akankah aku mendapat pekerjaan?
Andai aku tak naik bus yang tadi, akankah anak tadi dapat pulang ke rumah dengan tetap duduk di kursi kesukaannya?
Andai aku tak dipecat, akankah aku mendapat pengalaman yang ‘indah’ ini?
Andai aku tak pindah ke Australia, akankah aku pernah merasakan pengalaman dipecat?
Dan berbagai macam andai lainnya yang berjalan mundur dan semakin mundur…
Siang itu aku memandang segalanya menjadi lebih terang.?Pada tanah yang kering kerontang di hadapanku, di tengah lalu lintas yang sepi dan terik matahari yang membakar, aku mengibaratkan kerja Tuhan
bagai orang yang mengurutkan gelas-gelas berisi minuman fragmen kehidupan yang harus kita minum dan sebisa mungkin nikmati sesuatu yang telah dipersiapkan dan dihidangkanNya.
* ? ? ?* ? ? ?*
Hari-hari ini, dua setengah tahun sesudah rentetan peristiwa itu terjadi, aku diingatkan kembali untuk mengintisarikan apa yang menjadi pesan dibalik itu semua.?Di saat kondisi resesi ekonomi global yang terus terjadi sekarang ini dan belum juga menunjukkan tanda-tanda dimanakah kita sebenarnya berada, apakah ada di permulaan,?di mata pusaran atau di akhir masa krisis, aku memberanikan diri untuk bilang bahwa dimanapun dan bagaimanapun kondisinya, inti dari hidup hanyalah kepercayaan.
Kepercayaan kepada Tuhan yang belum pernah kita lihat secara kasat mata tapi hanya kepadaNyalah kita seharusnya percaya.?Tak mudah dan kadang membingungkan. Tapi adakah yang lain yang tak lebih berat dan terang benderang? Ada?
Kita sering mengeluh kenapa harus kita yang mengalami ini? Kenapa begini, begitu, dll… Tapi semua jawaban itu akan terjawab nanti, pada saat yang tepat. Saya pernah ngalamin hal-hal yang kaya gitu…
Anyway, nice story, Don :)
ah sebuah sharing yang sangat indah!
Thanks don!
jebul situ itu wong apik ya, Don… padahal rupamu sangar, lho. apa maneh percaya Gusti Allah. aku seneng lan begja kenal wong kaya kowe. nyolong pethek, kata sufi. Gusti Allah ora dare, lan tansah mirengake.
asu banget critamu… well… (kapan mulih ndesa maneh? salam kanggo wong nJuwiring, ya….)
:)
Relihius abeesss ya, Dhe!
akupun pernah dalam situasi yg kurang lebih sama …
Sebuah pengalaman yang dituturkan dengan indah. Saya setuju dengan apa yang dituliskan disini, khususnya beberapa hal seperti bahwa keluarga khususnya anak dan istri adalah harta yang terbesar.
Tentang rasa percaya kepadaNya, kalau dipikir, memang tak ada cara selain percaya kepadaNya. Saya juga telah berkali-kali membuktikan keberadaanNya walaupun kadang tetap membingungkan. Tapi pada akhirnya semua akan membuat kita kembali percaya.
Tuhan memang menciptakan segala sesuatunya dgn berpasangan. Ada pria-wanita, gelap-terang, masalah-solusi. Selalu Ada solusi di tiap masalah. Tinggal kita sebagai umatNya yg harus terus membuka hati Dan tidak putus-asa… Keren tulisanmu mas Donny… Touched my heart.
Seneng baca tulisan ini mas.
kadang saya juga suka mikir (berandai2), mungkin kebaikan yg datang ada kaitannya dengan kebaikan kecil yg pernah kita dilakukan, apalagi kalau jaraknya berdekatan :)
Nek mung maca nyinyiranmu ning TL ra salah nek ana sing nyimpulke kowe ki nggatheli. Ning untunge kowe nduwe blog lan aku percaya yen kuwi sing sejatine bagian paling gedhe saka awakmu.
Omong2, iki Senen. Bener kan luwih saka 1000? ;)
Salam persahablogan,
@wkf2010
hai om don..
d’u know, suamiku setahun yg lalu pas 11.11.11 jugah ngalamin hal yg kurang lebih sama.. org lain lg pada merit tgl segitu suamiku malah dapet kabar work agreementnya ada adjusment yg ga menguntungkan bgt buat suami..
pas ngabarin lewat telp, n pas suami nyampe rumah aku bilang peluk aldo dulu dehh..
hihihi, anak itu emang menyejukkan hati..
*ini komen ga ada juntrungannya, secara selama ini ga pernah komen jugah cuman baca2 doank.. cuman pngen bilang sandaran ke Yg Diatas n keluarga ituh emang paling top* :D
In catatan luar biasa, mengajak bertawakkal kepadaNya tanpa menggurui. Sesungguhnya apa yang terjadi di dunia ini terdapat tanda-tanda kebesaranNya yang hanya dapat dilihat orang-orang yang berfikir.
Kalau ada banyak orang (termasuk aku) menulis sebuah kalimat “Tiada satu hal yang kebetulan dalam hidup ini” Sampean sudah lebih dari menulisnya pada huruf, karena sampean sudah mengalaminya…
Makasih dah mengintisarikan lalu memaparkannya untuk kita di sini Dab. Ncen asyu tenan owk kowe ki… :P
dan gara-gara baca postingan ini jam 3 pagi didepan Pito jadilah kita berdebat soal Tuhan, kepercayaan & teori2 di alam ini *MUMET* :))))
mas didut rese. nama gw dibawa-bawa.
sharing yang menguatkan. membawaku kembali merenungkan beberapa hal yang belakangan berputar-putar di kepalaku.
Aku belom pernah ngalamin seberat itu, Om. *dekep Diana erat2*
Luar biasa cerita…. nice… no comment kali ini.. :)
Pengalaman yg ‘indah’ mas.. makasih sudah berbagi :)
Aku sukaaaaaa sekali tulisanmu ini. Terharu biru, aku seperti membaca dan menonton hidupmu. Keren, Don! :)
aku pernah baca di buku apa gitu aku lupa.
bahwa tidak ada istilah beruntung, semua yang kelak kau dapatkan adalah kompensasi dari kebaikan-kebaikan kecil yang bahkan mungkin kaupun lupa pernah melakukannya
Maka menebar kebaikanlah setidaknya untuk bekalmu di hari depan. Tuhan sering memberi kesempatan kepada kita untuk berbuat kebaikan, tapi kadang nurani terlalu keras sehingga tak bisa merasakan kesempatan yang diberikanNya.
But you did it with that kid, and you got the compensation only in a few minute :)
Don, engkau menuliskannya dengan begitu indah.
Dalam sepanjang usiaku, aku mengalami berbagai hal…dan pada saat terpuruk di posisi terbawah, Tuhan mengulurkan tangannya.
Itu yang membuatku percaya, bahwa Tuhan akan selalu berada disampingku, membimbingku, dan kadang mengujiku dengan berbagai cobaan.
Edyannn…nohok ati tulisanmu koh
Dari sekian banyak tulisan yg ada hingga tulisan ini kubaca, inilah tulisan terbaik buatku
*yg sedang galau diantara 2 pilihan “teruskan karir di t4 yg sama atau tetap merapat dengan anak istri”*
lha kok plek pengalamanku
anak pertama lair, keno end of contract, udad udud pinggir kalimas koyo wong menyun
memang..cobaan orang ganteng itu biasanya mirip mirip..
Aku dadi terharu pas moco tekan dipecat nganti entok gawean meneh… hihihi :)
Gusti engkang mberkahi