Tak mengejutkan kalau ada yang sampai keceplosan bilang bahwa pakaian tradisional Jawa yang dikenakan Didi Kempot dibilang sebagai busana kolot. Bukannya kenapa-kenapa, tapi pertanyaanku sederhana, memangnya sepeduli apa kita terhadap budaya Jawa hari-hari ini?
Atau dalam batasan yang lebih simple, berapa banyak dari anak kalian atau teman-teman anak kalian yang tinggal di Jogja yang sudah tak bisa lagi berbahasa Jawa ?krama alus? pada kalian, orangtuanya?
Aku adalah orang Jawa.
Pilihan hidup membuatku bermukim di Australia dan hingga kini belum memutuskan untuk pindah kewarganegaraan sehingga secara hukum internasional, aku adalah seorang warga negara Indonesia. Tapi nanti, jika aku berkeputusan untuk berganti kewarganegaraan, aku bisa jadi seorang warga negara Australia. Tapi hingga kumati, aku tak kan pernah punya kuasa untuk membuat keputusan mengubah kenyataan bahwa aku adalah orang Jawa, terlahir dan suatu saat akan mati sebagai orang Jawa pula!
Kesadaran ini lantas memicuku untuk belajar kembali kebudayaan asalku, Budaya Jawa. Suatu waktu beberapa tahun lalu di sebuah coffee shop di selatan Jakarta ketika sedang mudik, pada seorang kawan Jawa lainnya aku berujar, ?Aku pengen belajar kejawaan lagi?? Lalu dia memberi syarat yang tak mudah, harus ini – harus itu, puasa ini, pantang itu. Aku menggeleng,?Katakanlah aku pemalas, aku mau yang mudah-mudah dulu. Aku ingin memulai dari bahasa? Bahasa Jawa!?
Sejak kecil aku dididik menggunakan Bahasa Jawa. Lingkunganku adalah lingkungan Jawa dan bahkan hingga kini, meski aku bekerja dan bersosialisasi dalam Bahasa Inggris, berbincang dengan anak dan istri dalam Bahasa Indonesia, tapi ketika berpikir dan menghitung, aku tetap berbahasa Jawa lengkap dengan ?Ji-ro-lu? nya?
Setiap pulang ke Indonesia, khususnya ketika mudik ke Klaten dan Jogja, aku selalu menolak menggunakan Bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang-orang lokal, aku lebih nyaman berbahasa Jawa, kalau bisa krama alus dengan dua tujuan: mengasah kemampuan Bahasa Jawaku sekaligus menguji mereka yang tinggal di Jawa, lebih bagus mana kemampuannya berbahasa Jawa, aku yang sudah lama tinggal di Australia atau mereka yang tetap ada di Jawa.
Kadang risih, dongkol bercampur geli ketika mendapati mereka tetap tak mau berbahasa Jawa. Mereka memilih menggunakan Bahasa Indonesia meski logatnya medok sekali. Tapi kadang aku maklum, itulah efek globalisasi. Suka atau tak suka, ia akan meringsek segala sesuatu yang dianggap menantang arusnya termasuk kebudayaan dan Bahasa Jawa.
Barangkali karena itu juga maka ketika aku pulang ke Indonesia bulan lalu, aku tak bisa menemui buku Bahasa Jawa yang pepak (lengkap) nan mumpuni di gerai toko buku yang ada di pusat perbelanjaan. Pada lajur rak bahasa, buku-buku yang berkecimpung di sana justru bahasa-bahasa asing, bahasa yang kian diglobalkan penggunaannya.
Malah di emperan trotoar, aku menemukan buku dahsyat sehebat ?Pepak Basa Jawa? karya Drs Sri Marjoko dan diterbitkan Penerbit ?DELIMA? Solo.
Ironis!
Di daerahnya sendiri, buku yang memuat bahasa ibu malah harus puas untuk hanya dijual di pinggir jalan lengkap dengan debu dan polusi asap kendaraan. Sang penulis dan penerbit juga harus puas ketika satu buku hanya patut dihargai sebesar delapan ribu rupiah saja, bayangkan uang segitu mungkin hanya dapat sepertiga dari total harga buku-buku bahasa asing di toko buku besar di dalam mall yang berAC dan kedap debu dan polusi udara!
Padahal buku ini dahsyat punya!
Disitu dimuat ?Rupa-rupa kawruh? sebuah kekayaan Bahasa Jawa dimana hampir semua hal diberi nama. Misal, kalian yang hanya mengenal Bahasa Indonesia, ketika menyebut anak macan, ya anak macan saja, kan? Bahasa Jawa, dalam hal ini sekaya Bahasa Inggris karena kami menyebut anak macan sebagai gogor seperti dalam Bahasa Inggris disebut sebagai cub.
Dan tahukah kamu dalam beberapa hal, bahasa Jawa lebih kaya dari Bahasa Inggris sekalipun!??Untuk menyebut kakek, Bahasa Inggris membahasakan sebagai grand parent. Orang tuanya kakek disebut great grand parent. Ketika menyebut lipatan pendahulu, mereka menggunakan angka, ?four-times-great grand parent? untuk menyebut urutan keempat dari kakek buyut, ?five-times-great gran parent? untuk urutan kelima dan seterusnya.
Dalam Bahasa Jawa setiap tingkatan punya nama sendiri-sendiri dan untuk urutan keempat dari kakek buyut, kami menyebutnya sebagai Gantung Siwur!
Selain Rupa-rupa kawruh, ada juga ?Paramasastra? semacam grammar-nya Bahasa Jawa. Lalu ?Kawruh Basa? yang diantaranya memuat tingkatan bahasa dan penggunaannya, disambung dengan ?Kasusastran? yang banyak bicara tentang paribahasa, sanepan (pengandaian) serta tembang macapat yang kesohor itu?
Dan bagian yang paling kusuka tak lain adalah Huruf Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Hanacaraka.
Meski kemampuanku dalam berbahasa Jawa tidak berkurang, harus kuakui ingatanku tentang tata aturan menulis aksara Jawa jauh ketinggalan dibandingkan kemampuanku dulu ketika masih mengenyam pendidikan dasar pada saat Bahasa Jawa masuk dalam kurikulum wajib ajar.
Hingga akhirnya beberapa bulan lalu aku tertarik untuk kembali belajar Aksara Jawa karena begitu iri pada seorang kawan yang berasal dari Jepang. Suatu siang pada saat jam istirahat, aku menemuinya sedang membaca artikel di iPadnya yang ditulis dalam huruf kanji Jepang!
Ia tampak begitu bangga dengan apa yang ia baca, sedangkan kita??Mungkin kita buru-buru menutup artikel yang ditulis dalam aksara Jawa. Dalam level penolakan diri, kita bicara bahwa kita tahu apa yang dituliskan dan bagaimana baiknya harus dibaca.
Tapi pada level yang lebih lugas daripada itu, kita tahu bahwa sejatinya kita sadar bahwa kita bukanlah tipe manusia yang setia pada akar budaya kita sendiri dan malah asyik masyuk dengan hal-hal baru yang didatangkan dari jauh entah itu bersalut agama, teknologi, seni yang semuanya membentuk budaya yang pada akhirnya meringsek budaya asli kita, budaya Jawa, keluar dari pintu rumah kita, tersapu hingga ke selasar trotoar dan menjelma menjadi buku yang dihargai kelewatan murahnya dan tak sekalipun kita pernah berpaling kepadanya?
Eh by the way, kalian yang tinggal di Jawa dan bisa berbahasa Jawa, ketika bertandang ke rumah kerabat atau sahabat, salam apa yang kalian pakai, ?Kulonuwun?, ?Permisi? atau ?Asalamualaikum??
Sejak beberapa tahun lalu saya menggiatkan diri saya berbahasa daerah saya. Kalau ketemu kawan yang sedaerah, walaupun ditengah orang banyak yang lain suku, saya tetap berbahasa daerah dengannya.
Kulo nggih tiyang njawi kangmas, ning nggih rada isin mergi boso jowo kulo sampun mboten apik malih, kathah kontaminasi- nipun. Tapi menawi moco, kulo tasih saget ngertos sekedhik-sekedhik. Punopo malih waosan saking blog-ipun pakdhe blontankpoer, ingkang tansah nguri-uri boso jawi. Jempol sekawan pun toh. Sampeyan kulo wenehi jempol kalih kemawon nggih, haha…
Beruntung di jakarta yang masyarakatnya sangat heterogen ini masih banyak kutemukan orang Jawa dan masih berbahasa Jawa. Pepak Basa Jawa itu buku wajib punya dulu pas zaman masih SD, sekalian sama RPUL dan RPAL; google zaman dulu banget itu :lol:
Kulonuwun, mas.. :)
Buku dijual di emperan toko, itupun ntah bajakan atau bukan. wakakakakaka
Iya juga, nyaris tak terpikirkan malah hehehe…
Assalamualaikum, maringono tak sambung~~ ibuk/bapak, wilujeng?
sepakat dengan sampean mas, banyak dari kawan kawan saya yang blas nggak pernah menggunakan kromo inggil ketika bicara dengan orangtua, kakek-neneknya ataupun orang yang usianya jauh lebih tua, dan janggal banget rasanya kalo denger kata ‘kowe’ diucapkan anak muda sebagai kata ganti dalam obrolan dengan orang yang lebih tua.