Penyayang dan penikmat hewan. Kitakah itu?

21 Nov 2011 | Cetusan

Tulisan ini kuawali dengan catatan sebuah peristiwa yang terjadi hampir 27 tahun silam. Nenekku, waktu itu berujar padaku, “Le, kalau kamu liburan kemari Natal nanti, Eyang mau sembelihkan ayam yang paling gemuk buatmu!” Akupun girang bukan kepalang dan meski waktu itu masih Mei, tapi aku tak sabar menunggu Natal tiba dan berharap supaya ayam yang akan disembelih itu akan menggemuk hingga hari ‘eksekusi’ tiba.
Tapi lain dulu, lain pula sekarang. Kalau saja Nenekku yang kemarin 19 November 2011 berulang tahun ke-81 itu (Sugeng Tanggap Warsa, Bu!) berujar padaku demikian, barangkali aku tak kan sesenang dulu! Aku pasti akan menganjurkan supaya ayam kesayangannya itu dijual saja atau aku toh dengan mudah bisa membeli satu set ayam panggang/goreng ‘siap saji’. Alasannya? Kasihan ayamnya!
Eh, sebentar… apakah kalian merasakan sesuatu yang ‘absurd’ ketika aku bilang ‘Kasihan ayamnya!‘ ?
Oh tidak? Baiklah, kujelaskan saja sekarang. Nilai absurd dari kalimat di atas adalah pada bagaimana aku menempatkan posisi di ‘tengah-tengah’. Maksudku, di satu sisi, aku mencoba untuk ‘sok solider’ terhadap ayam yang hendak disembelih itu tapi di sisi lain aku malah menyarankan eyanngku untuk menjual saja ayam itu ke tukang potong ayam yang jelas naga-naganya juga akan dipotong, disembelih. Tak hanya itu, aku malah menyarankan Eyang untuk membeli saja ayam panggang yang sudah matang padahal jelas-jelas bahan bakunya ya ayam yang semula hidup lalu disembelih… sama dengan ayam yang coba ku-solider-i itu.

“Terlepas dari faktor “Yah, mau diapakan lagi kan sudah takdir!”, pemerintah harus bergerak…”

Pernahkah kalian merasa seperti apa yang kurasakan? Berada di ‘tengah-tengah’? Kuyakin ku tak sendirian untuk berujar bahwa hubungan kita dengan hewan itu terkadang memang penuh dengan hal-hal yang absurd seperti itu. Di satu sisi kita meyayangi binatang namun di sisi lain, kita juga ‘sayang’ untuk melewatkan kesempatan menyantap dagingnya. Sama halnya ketika aku mengumpat orang yang bercerita bagaimana mereka menyembelih babi yang menurutku sangat menyakitkan itu namun di waktu lain aku dengan lahap menyantap dagingnya dan seketika itu juga lupa atau pura-pura lupa dengan bagaimana cerita ‘pembunuhan’ babi tadi.
Hal-hal seperti ini pula yang kurasakan ketika beberapa waktu lalu mencermati cepatnya derap media memberitakan penganiayaan yang berujung pada pembantaian massal orang utan di beberapa daerah di tanah air serta kematian beberapa satwa langka di sebuah kebun binatang ternama.
Aku memilih cepat-cepat beralih channel televisi ketika tahu sajian berita berikutnya adalah mengenai dua hal itu. Rasa iba atas terbunuhnya hewan-hewan itu meremang ke permukaan dikombinasi dengan rasa geram terhadap pelaku pembantaian maupun mereka yang seolah membiarkan satwa langka terjadi di lingkungan kebun binatang; sebuah kebun yang seharusnya didedikasikan sebagai tempat hidup yang nyaman bagi para binatang.
Secepat kilat aku langsung mencari sumber berita di internet tentang apa sebab orang membantai orang utan! Usut punya usut, sebagian besar didominasi oleh karena ‘bayaran’ dari beberapa perusahaan yang ingin lahan kerjanya bebas dari gangguan orang utan. Sementara sebagian lainnya yang justru menurutku cukup mengejutkan sekaligus memprihatinkan, ada begitu banyak awam yang ikut membantai orang utan semata-mata karena tanaman yang mereka tanam diusik oleh orang utan.
Wah! Kalau sudah demikian parahnya, berarti ini bukan perkara yang mudah ditangani. Untuk mengalahkan ambisi satu-dua perusahaan barangkali pemerintah bisa dengan mudah (meski sejatinya pun susah!) memberikan sanksi usaha bagi mereka, tapi ketika ‘gerakan’ pembantaian massal ini sudah begitu meng-awam dengan melibatkan masyarakat luas karena perasaan terganggu oleh para ‘orang utan’ tersebut, apa ya mungkin mereka dihukum semua? Satu per satu?
Aku sempat geram dan ingin rasanya menulis yang tidak-tidak di social media tentang kecamanku terhadap para pembantai orang utan ini. Tapi nafsu itu kuredam dengan dua pertanyaan di bawah ini,
“Kalau aku jadi anggota masyarakat yang terganggu tanamanannya oleh orang utan, apakah aku tak akan bersikap sama?”
“Kalau aku punya impian sebesar gunung untuk memperluas usahaku, haruskah aku kalah oleh karena sekawanan orang utan yang ‘mengganggu’ rencana perluasan lahan perusahaanku?”
Dan dua pertanyaan itu cukup manjur menjadi cermin. Aku tak mengatakan aku tak bisa untuk bersikap lebih baik dari mereka, para pembantai itu, tapi setidaknya dua pertanyaan di atas menyadarkanku bahwa setiap orang pasti punya pemikiran sendiri dalam memutuskan sesuatu dan bukan kewajibanku untuk menghukum mereka, para pembantai itu selain mengucapkan prihatin atas pilihan sikap mereka, barangkali.
Soal kematian satwa langka di kebun binatang ternama tadi perkara lain lagi.? Konon mata pusaran peristiwa ini adalah pertikaian di tingkat manajemen pengelola dan menyebabkan terlantarnya proses pemeliharaan kandang, pemberian makan hingga bagaimana cara mengurangi stress para hewan. Di satu sisi, jelas hal ini tak bisa ditolerir karena profil manajemen pengelola haruslah kuat dan tak boleh lemah dalam mengelola satwa hanya karena hal seperti ini saja! Tapi di sisi lain kembali aku berpikir, “Harus sih harus… tapi ketika tak sanggup lagi untuk mengelola, apa dan siapa yang harus dikorbankan terlebih dahulu?
Ibarat kata, dalam sebuah kecelakaan kapal karena terjadi kebocoran di permukaannya, ada seratus orang penumpang dan lima ekor anjing dan hanya tersedia sebuah kapal penyelamat dengan kapasitas seratus orang saja maka siapa yang harus diselamatkan terlebih dahulu? Seratus orang diangkut dan lima anjing ditenggelamkan dengan terpaksa? Atau 95 orang plus lima anjing diselamatkan sementara lima orang lainnya dibiarkan mati? Tapi kalau demikian siapa yang bersedia menjadi ‘lima’ nya yang harus ditenggelamkan?
Jawaban yang paling tepat menurutku adalah jangan berpikir terlalu menyudutkan seolah telah terjadi ‘kecelakaan’. Lebih penting dari itu untuk berpikir bagaimana supaya pihak pengelola kapal melakukan segala daya dan upaya untuk merawat kapal sehingga tak rentan terhadap kerusakan yang mengakibatkan kecelakaan seperti itu sehingga tak perlu lima anjing ditenggelamkan dan tak perlu pula lima orang dikorbankan demi lima anjing yang harus dibawa ke daratan, kan?
Nah siapa pengelola kapal itu? Siapa lagi? Ya pemerintah!
Terlepas dari faktor “Yah, mau diapakan lagi kan sudah takdir!”, pemerintah harus bergerak untuk membuat ‘pagar’… menyusun rangka koridor yang jelas bagi masing-masing ‘stakeholder’ alam di wilayah negaranya untuk hidup berdampingan tanpa menyisakan persinggungan yang melukai satu terhadap yang lainnya.? Ini bukan perkara yang mudah memang, tapi sudah seharusnya sejak mencanangkan pencalonan untuk menang dalam perebutan tampuk pemerintahan, siapapun itu mulai dari presiden, gubernur, bupati, hingga lurah dan ketua RT sekalipun, hal-hal seperti itu harus masuk dalam daftar ‘Kemampuan Dasar’!
Rasa salutku untuk mereka yang berjuang dengan penuh totalitas terhadap konsumsi daging hewan dan mereka yang tergabung dalam komunitas-komunitas penyayang binatang. Tuhan memberkati kalian!

Sebarluaskan!

17 Komentar

  1. Menambah bahan diskusi setelah kemarin malam sabtu ketemu teman-teman penyayang binatang…
    Dan ‘bingungnya’ justru malemnya pas lagi gawe dapet jatah rangsum ‘buntut goreng’ :)
    Btw, kalo binatang ngerawatnya sejak dari kecil aku juga punya pengalaman je dab.
    Bukan lagi di sembelih, ini hanyalah kambing yang kurawat sedari kecil mau dijual. Aku tangisin, karena ya memang kambing itu kek denger kalo aku ajak omong. Ketika itu aku masih SD, mau aku mandiin kambing itu dikali, dan karena tempatnya agak turun n susah dilalui, maka aku kasih aba2 buat kambing lompat, dan dia “manut”. Begitu juga saat angon dah mau maghrib, aku amsih asyik baca buku dianya “nggembret” seolah ngasih tanda bahwa hari dah senja…
    Siapa yang tega coba…?
    Eh “nggembret” ki basa ngendonesyane apa yaa…? mbuh ahh.. :)

    Balas
  2. Walaupin begitu tetep kasian yak sama binatang2 itu.. rasanya.bisa difikirkan cara lain buat mengusir mereka.. bukan dengan hanya dibunuh aja.. hmmm…

    Balas
  3. ketika kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain, kita pun akhirnya tidak bisa hanya menyalahkan pihak yang melakukan sesuatu hal yang menurut mereka merupakan pilihan satu-satunya

    Balas
  4. Penghasil energi alami hanyalah tumbuhan. Oleh karena itu, kalangan spiritualis lebih condong mengkonsumsi tumbuhan dari pada hewan. Kehidupan modern yang serba praktis dan cepat membuat makan hewan jadi solusi utama. Padahal dengan makan tumbuhan, kita dapat asupan energi alami yang berlimpah. Aku sendiri bukan vegetarian, tapi dalam banyak kesempatan memilih makan makanan non hewan. Walau masih makan juga sih hehe
    Tentang #SaveKBS, itu problem berlarut-larut yang menahun. Ada banyak inisiatif selama ini tapi mentok sampai di pengelola KBS. Badan hukum pengelola KBS tidak ada kewajiban untuk bertanggung jawab pada publik. Oleh karnea itu, aku berharap KBS bisa segera diambil alih oleh pemerintah kota Surabaya. Selain karena Pemkot sekarang lebih baik kinerjanya, juga pertanggung jawaban pada publik. Kita sebagai publik punya mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban itu.

    Balas
  5. “aku penyayang binatang, karena mereka sangat lezat” :p
    tak apa, ada penyayang binatang, ada pembantai binatang, ini dialektika. seperti yang mas doni bilang, posisi pemerintahlah sebagai pengatur koridor untuk hal ini. ketika terlihat ada ketidaksesuaian, ada penyimpangan, sudah bisa dipastikan, pemerintah tidak menjalankan perannya. terdengar seperti “apa-apa kok pemerintah”? well, mau gimana lagi, memang kita berdarah-darah membuat yang namanya pemerintah itu fungsinya untuk itu, kalau nggak berfungsi, bubarkan saja. saya sih lebih memilih selalu menuntut agar pemerintah menjalankan fungsinya hehe

    Balas
  6. namanya juga rantai makanan seperti yang kita pelajari ketika di SD dulu (kalo nggak salah, *wis pekok je).
    jelas nek sama bukik ra setuju, kandungan nutrisi terbesar ya daging, dan sebaliknya penyakit mematikan dari tumbuh-tumbuhan pun sangat banyak, misalnya gula atau yang lainnya banyak juga. kecuali dalam keadaan biasa mungkin tumbuh-tumbuhan bisa jadi pilihan, tapi kalo suasana perang dan membutuhkan energi tinggi jelas bir dan daging jadi menu pilihan ya to :-)
    binatang ya binatang, tapi ya itu ada yang dalam kategori konsumsi dan dilindungi, kalo binatang yang seharusnya dilindungi di bantai itu artinya problem, sebaliknya jika binatang ternak untuk konsumsi malah dilindungi tidak boleh di konsumsi, ya peternaknya bisa stress.
    seperti kemarin ada banyak ulat bulu itu dipohon-pohon juga dibantai semua, padahal pohon-pohon yang dihinggapi ulat tersebut kemudian hari dia menjadi lebih segar dan subur, hal itu karena apa.. juga nggak jelas, katanya ada yang mengatakan karena ketidakseimbangan rantai makanan juga hihi…
    tapi kalo sudah dengan nama pembantaian… artinya itu ya kejahatan… beda artinya dengan karena bermusuhan dengan binatang karena diserang..
    tapi yo embuhlah… binatang langka punah ya nggak ngefek sama kehidupan saya kok… toh masih ada foto dan air keras jika hanya mau untuk riset… binatang dibantai ae rame, yang dulu pembantaian orang pasca peristiwa 1965 malah sudah dikira dongeng, paling berita pembantaian orang utan ya sebulan dua bulan sudah menjadi dongeng #mdrcct

    Balas
  7. Teman2 yg berada di lingkaran keilmuan Ekologi, mengajarkan saya satu hal, ada yg namanya Keseimbangan Ekosistem. Ada yang sampai bertahun-tahun menjadi akademisi dan profesor hanya untuk mempelajari Ekologi di bumi. Hal lain yg pasti, sejatinya manusia adalah bagian dari Sumber Daya Hayati dimana ada hewan dan tumbuhan juga disana. Dalam keseimbangan ekosistem Hayati ini, sangat alamiah ada hewan makan tumbuhan, tumbuhan makan hewan, hewan makan hewan, manusia makan tumbuhan, hewan makan manusia, manusia makan hewan.
    Sayangnya kita sering merasa externalitas dari keseimbangan ekosistem. Ini yg bikin kita lupa. Membuat kita berpikir kita bukan bagian dari HAYATI. Berujung pada serakah dan menjadi tamak..
    Selebihnya dijabarkan oleh kang @suryaden dengan apik tentang praktis kondisi yg bisa di temui di lapangan :)

    Balas
  8. Aku pecinta binatang tp masih makan daging juga,ada hewan yg mmg utk diternakkan utk dikonsumsi tp ada hewan yg perlu dilindungi.Di Jerman lebih aneh lagi,bbrp th blkgan ini muncul aturan bahwa para peternak hrs punya peri kehewanan jd misalnya ayam nih,gak boleh yg di kandang berdesak2an banyak kyk ayam broiler di sini.Sapi juga hrs punya space yg diatur oleh pemerintah.Ta pikir2 rd absurd juga toh akhirnya mereka disembelih juga,tp di sisi lain…paling nggak sebelum menunaikan tugas mereka sempat hidup layak :)

    Balas
  9. Yang saya heran, hutan kita begitu luas, apa sudah ngga cukup lagi menempatkan mereka di daerah lain. Sepertinya ‘memusnahkan’ mereka adalah jalan pintas dan menghemat biaya :(

    Balas
  10. saatnya pelan pelan beralih ke vegetarian bro, itu pertentangan 2 diri bro namanya…heee…sok psikolog gue yah….

    Balas
  11. Ini soal perasaan ya mas, rasa kasihan itu salah satu sifat dasar manusia. Cuma terkadang rasa kasihan itu tidak masuk di akal, di satu sisi kita kasihan pada binatang tapi di satu sisi kita mengkonsumsi mereka.
    Mungkin tergantung pada keadaan ya. Kalau menurut saya, membunuh binatang bisa dimaklumi, asalkan alasannya masuk akal, membunuh ayam untuk dikonsumsi misalnya. Memang ada hal-hal yang lebih ribet daripada masalah membunuh ayam, dan saya rasa membutuhkan kebijaksanaan dalam setiap tindakan.

    Balas
  12. dilema memang…lebih baik mengkonsumsi daging yang memang umum dan biasa dikonumsi saja deh..ga usah yang aneh2/macem2

    Balas
  13. Kasih sayang kita itu tidak cuma untuk sesama manusia, tapi juga binatang dan bumi. Dan, pada dasarnya bumi dan seisinya itu memang akan rusak dan hancur. Tugas manusia sebagai makhluk yg paling dominan adalah memastikan kerusakan itu tidak terjadi lebih cepat.
    Soal empati kepada binatang, ini memang bertingkat. Dari yang sama sekali tidak peduli binatang disksa, lalu ke yang sedih melihat binatang disiksa/disembelih, sampai yang memilih untuk vegetarian supaya tidak membunuh binatang. Saya masih di tahap dua, dan berharap suatu saat cukup kuat ke tahap tertinggi. Tapi yang jelas kondisi saat ini yang masih makan daging, tidak akan bisa membuatku turun ke level yang lebih rendah.

    Balas
  14. Mulailah makan belalang seperti Yohanes pembabtis. Aku pernah makan belalang goreng dan enak!
    Proteinnya juga tinggi hehehe.
    Kalau semua penduduk dunia vegetarian? Hmmm ngga balance deh kayaknya. :D

    Balas
    • Belalang goreng memang enak Mbak. Makannya pakai nasi anget. Waaaa….!

      Balas
  15. Aku masih makan daging. Tapi belakangan sudah jarang banget beli daging/ayam di pasar untuk dimasak harian. Sebenarnya sih karena mau irit saja. Belakangan baca-baca artikel kesehatan, katanya mengonsumsi lebih banyak sayuran dan buah itu bagus. Yo wis, jadinya uang yang tadinya (kadang-kadang) untuk beli daging, kepakai untuk beli buah deh. Dan memang pemerintah kurasa juga perlu mengatur agar terjadi keseimbangan hayati. Memang susah, tapi itu kan sudah jadi tugasnya to? :p

    Balas
  16. Menikmati hasil alam, termasuk hewan, adalah anugrah yang Tuhan berikan buat kita. Tapi, tentu harus sewajarnya. Sikap yang berlebihan, tentu tidak baik. Berlebihan, baik dalam memakannya ataupun tidak memakannya.
    Sikap arif kita terhadap alam adalah memanfaatkannya sewajarnya dan menjaganya untuk tetap lestari..
    Hmm.. aku kok jadi terinspirasi bikin tulisan dari postinganmu ini, Don…
    Nanti tak rangkai-rangkai dulu ya, biar “keren”, hahaha… :D

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.