Pencuri kemuliaan

30 Mei 2011 | Cetusan

Kalian masih ingat Gempa Jogja kan?
Jumat lalu (27/5/2011), lima tahun sebelumnya, gempa dahsyat menggoncang Jogja membawa lebih dari 6000 korban jiwa serta kerugian materiil dan moril warga yang tinggal di kawasan selatan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang susah untuk dimasukkan ke dalam tataran angka. Saat itu, aku masih tinggal di Jogja, bersyukur aku tak masuk ke dalam kalangan yang ‘6000-an’ meski trauma akan kedahsyatan gempa itu masih terasa bahkan sampai sekarang.
Namun yang kuangkat di tulisan ini bukan bagaimana detail kejadian itu karena kalian toh bisa menemukan di banyak posting blog lain serta linimasa di Twitter maupun Facebook hari-hari ini.?Apa yang akan kusarikan dari tulisan ini lebih pada ekses yang kuterima dari kejadian yang sebenarnya agak jauh kaitannya, tapi karena aku sedang mau mengkait-kaitkan ya kudekatkan saja.

“…Hey, ini lho penulisnya, yang sedang membaca buku lain di depanmu!”

Sekitar sebulan setelah gempa, sebuah penerbit menghubungiku dengan tawaran membukukan tulisan-tulisan sekitar gempa yang waktu itu kupublikasikan di blog lama, donnie.or.id.
Tawaran itu bagai penawar duka akibat gempa!
Bayangkan, setelah bertahun-tahun ingin memiliki buku ‘sendiri’ , sekonyong-konyong ada orang datang menawarinya. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu! Aku meng-iya-kan ajakan penerbit dengan satu syarat yang lantas dipenuhi yaitu bahwa aku tak mau mengambil untung uang sepeser pun dari hasil penjualan buku itu nantinya dan aku harus menuliskan hal tersebut pada bagian Pengantar buku.

“…akulah sang pembiar pencurian kemuliaan itu terjadi.”

Tak sampai dua minggu, buku selesai dicetak dan diedarkan ke toko-toko buku nasional.
Lalu tanpa diminta oleh penerbit (seingatku aku hanya diminta sekali talk show launching bukuku -red) aku lantas ikut sibuk mempromosikan bukuku baik dari mulut ke mulut maupun melalui banyak media. Bisa ditebak sesudahnya, feedback positif berlomba-lomba masuk, rata-rata melontarkan pujian kepadaku semacam “Wah, selamat Don akhirnya punya buku juga!” atau yang seperti ini “Bukunya bagus… merakyat sekali bahasanya..” bahkan tak jarang yang menemukan pernyataan bahwa aku tak mengambil untung sepeserpun uang penjualan buku lalu berkomentar indah seperti ini, “Wah, mulia Mas (niat untuk tak menerima uang -red).. Tuhan yang membayar upahmu!”
Senang? Jelas!
Aku lantas semakin bersemangat untuk melakukan hal-hal yang menurutku, lima tahun sesudah kejadian itu, tak masuk akal untuk kulakukan. Pada banyak sore hari di masa itu, sepulang bekerja aku sering nongkrong di toko buku tepat di depan rak tempat bukuku dipajang. Sambil pura-pura baca buku yang lainnya, aku menunggu orang datang dan membaca bukuku. Melihat pemandangan ini, hatiku senang! Lalu seseorang datang, membaca buku sebentar lalu membawanya pergi ke kasir… wah, hatiku tambah senang!
Pernah pula ada serombongan ABG, cewek tentu saja, datang beramai-ramai lalu satu dari mereka berujar,
“Eh, aku nyari buku yang gempa itu .. ketemu di sini!”
Lalu seorang lagi berujar, “Yo wes… aku mau beli sekarang aja!”
Dua yang lain menimpali, “Eh, kalo udah selesai aku pinjam ya..”
Mereka lalu berlalu dan membawa sebuah buku untuk ditebus di kasir. Melihat kejadian itu, aku tak hanya senang, tapi melambung lupa daratan! Ingin rasanya berteriak Hey, ini lho penulisnya, yang sedang membaca buku lain di depanmu!
Kalian boleh bilang aku terlalu idealis ketika aku menyatakan bahwa apa yang kualami waktu itu adalah sebuah usaha ‘mencuri kemuliaan’ dari pihak lain. Kemuliaan membuatku melambung tenar namun pada dasarnya aku tak berhak sama sekali untuk menyandangnya.
Barangkali kalian masih bisa mengelak “Eh, tapi kan kamu tak ada niatan untuk mencuri?” Betul, tapi setidaknya aku membiarkan hal itu terjadi dan ini lepas dari idealis atau tidak idealis. Ini perkara bagaimana aku membiarkan diriku membohongi kenyataan yang aku sendiri sebenarnya tahu waktu itu.
Statemen “Aku merelakan semua keuntungan untuk para korban” lantas seperti kujadikan tameng melindungi satu kebusukan bahwa akulah sang pembiar pencurian kemuliaan itu terjadi. Aku tak lebih dari sekadar oportunis pecundang yang di muka tampak saleh penderma dan sosok tanpa cacat padahal nyatanya aku memanfaatkan momen itu untuk semakin mengangkasa, mencari popularitas diri.
Tulisan ini bukan dalam rangka mengutuk penerbitan buku itu.?Malah lepas dari perkara penerbitannya sama sekali karena ini semua menyangkut pemahaman terhadap satu kesalahan yang kulakukan di masa lalu. Kalau waktu boleh berulang, barangkali aku akan memilih nama samaran di buku itu sehingga aku akan terjerat pada kenyataan bahwa aku ‘tak ada di sana’. Bisa juga barangkali, kalau waktu boleh berulang, aku meminta ‘lupa’ khusus pada hal pembuatan buku itu sehingga meskipun aku kelayapan di toko buku, aku toh tak tahu bahwa itu adalah bukuku sendiri.
Tapi hidup bukan perkara ‘barangkali’ dan tak ada yang bisa diulang, kan??Nasi telah mendingin dan membubur. Kemanusiaanku mengisrayatkan “Sudahlah, ambil sisi positifnya!” dan kuyakin ada banyak nilai-nilai positif yang tersemat di dalam buku itu untuk kemajuan kemanusiaan serta kehidupannya seberapapun kecil skala besarnya.
Toh setidaknya, melalui tulisan ini aku bisa mengupayakan bagaimana mengembalikan kemuliaan dan ketenaran itu pada mereka yang lebih berhak; para korban gempa yang telah kehilangan harta, kesempatan termasuk hidupnya sendiri… dan kalian, para pembaca, kutunjuk kalian sebaga saksinya.
Hmmm, kalian bersedia kan?

Sebarluaskan!

31 Komentar

  1. hihihi tulisan yang bagus mas don..butuh mengulang beberapa kali untuk mengerti beberapa kalimat yang penuh makna.. *alah* *emang dasar aku yang lemot* merelakan itu kadang susah ya.. ketika di lisan kita bilang kita rela serela relanya…tapi kadang hati kecil itu berbisik yang bukan seharusnya… hehe

    Balas
    • Hehehe… Betul!

      Balas
  2. Sejujurnya saya sedikit keberatan dengan salah satu cerita dalam buku ini, namun ya sudahlah, lha wong memang begitu kenyataannya :D

    Balas
    • Oh ya? Aku merasa bersalah bgt… Aku inget apa yg kutulis ttgmu dulu… Sorry ngga bermaksud buat yg lain selain bhw kamu adlh salah satu teman dekatku yg patut kuceritakan…

      Balas
      • Hahahaha, ya hoho dab….mending metu nang bukumu, coba metune ng KR? ra mungkin banget yo :D

        Balas
  3. saya belum baca bukunya mas.. ada harganya atau mgkn saya bisa dikasih gratis hehehe

    Balas
    • Heehe, kalo masi nemu saya belikan deh :)

      Balas
  4. Pencuri kemuliaan, akhirnya mengerti maksudnya. Dgn kata lain, tangan kanan memberi tangan kiri tak boleh tau. Begitukah?

    Balas
    • Anda tepat!

      Balas
  5. Saya belum baca bukunya Don..tapi jika hasil penjualan disumbangkan, tentunya itu bukan mencuri kemuliaan.
    Membuat buku ternyata tidak mudah, saya sudah ditawari dua orang, mereka bilang bahwa dari tulisanku, tinggal menambah lagi sedikit, bisa dibuat buku, gabungan dengan teman lain. Entah kenapa, mikirnya panjang, pantaskah? Apa kata teman2 ku? Dan memang yang diminta adalah buku serius, tapi di satu sisi saya pikir, saya malas.

    Balas
    • Hehehe jd musuh terbesar tetep rasa malas ya, Bu :)

      Balas
  6. Sisi manusiawi pasti selalu ada Don. Selama masih manusia, pasti ada perasaan seperti “mencuri kemuliaan” itu. Jangan terlalu keras pada dirimu Don, pelan-pelan saja hehe..
    Aku ingin cari bukunya, penasaran dengan kisah yg dirimu tulis ttg temanmu di atas. What happened? *penasaran..

    Balas
    • Hehehe soal kenalan masa muda :))

      Balas
  7. sekarang aku salut loh don dengan penulis buku laris yang pakai nama samaran. dan di bukunya tidak ada bagian “tentang penulis.” biasanya sih utk buku fiksi. eh, tapi gimana kabar bukumu itu? masih ada di pasaran? :)

    Balas
    • Entahlah… Harusnya udah ngga ada di pasaran ya :)

      Balas
  8. Ya-ya-ya. Aku jadi saksinya. Saksi ketika selesai membaca postingan ini, juga saksi ketika masih membaca donnie.or.id (ya ampun, domain itu. Hihihi).
    Intinya kan jelas: bahwa sejak awal kamu tidak meniatkan apa yang kamu tulis untuk dibukukan dan dijual ke pasaran. Penerbit yang meminta. Jadi, sebetulnya kamu terlepas kok dari “gugatan” kemanusiaan. Dan dengan menyumbangkan hasil penjualan dari buku itu tanpa mengutip sepeser royalti pun, kukira itu pun menjadi jalan tengah yang cerdik bahwa kamu memang tidak berniat sama sekali untuk mencuil keuntungan.
    Cuma, cuma nih ya, hanya satu kelemahannya!
    apa lagi kalau bukan: aku belum memiliki buku tersebut… ;)

    Balas
    • Ijolan krn “Gulat di Jakarta” :)

      Balas
  9. Wah.. tulisan yang membuat saya begitu emosional. Pernah ditawari menulis buku namun berkata tidak karena merasa bukan bagian saya, sekarang berusaha menulis namun tak ada yang menawari. Kadang jadi menyesal sendiri..
    Dari semuanya, menurut saya tiada kemuliaan yang dicuri, ia hanya berpindah dan sebenarnya telah Mas DV kembalikan dari awalnya..

    Balas
  10. Sangat wajar dan sangat manusiawi, ngga ada yang aneh dengan sikapmu.
    orang berupa dermawan yang bahkan go internasionalpun, namanya manusia pasti ada hati kecil yang sedikit pamrih dan self-centered.
    Tetapi karena bukan hak ku untuk menghakimi semua perbuatan amal yang dikerjakan manusia, aku gak pernah sentimen terhadap semua kegiatan amal mereka. Yang terlintas di otak ku sih hanya doa ku semoga mereka tetap nggak hilang fokus dengan tujuan mulia mereka walaupun berkali2 pasti di cobai dengan yang namanya kesombongan haha.
    Kamu, berhubung orangnya juga menurutku rada “nyombong” jadi aku gak kaget kalo kamu pernah dan beberapa kali berpikir dan berasa seperti itu waktu dulu. Tapi aku juga tau kamu orangnya lumayan teliti buat intropeksi diri, jadi ngga ada yang perlu di sesalkan. Walau dulu kamu mungkin sempet berhati serong, gak menghapus kenyataan bahwa banyak juga yang diberkati dan merasakan kasih dari kamu.
    Dan pertobatanmu sekarang juga pasti memberkati para pembacamu. Yang penting hari ini dan besok.

    Balas
  11. Maju terus dengan upaya pemberdayaan dan membantu sesama meski cara dan wrana-nya berbeda-beda, mudah2an buku ini juga mampu membantu para koraban gempa beranjak dengan kehidupannya kedepan seperti layaknya orang jepang yang kerap dirundung gempa – terus maju tanpa hanya berpagut menunggu dan melihat kebelakang..
    Salam hangat dari negeri 1001 malam, dimana kita juga berupaya memastikan cahaya diujung ‘terowongan derita’ itu terus bercahaya.

    Balas
  12. Tapi kan itu nggak sebenarnya salah mas DV juga, karena pertama kali mas DV menuliskan mengenai gempa Jogja tidak pernah terpikirkan untuk mengkomersilkannya karena hal itu murni sharing *ditulis di blog dan dibaca banyak orang tanpa harus membeli*
    Jangan terlalu membebani diri aja mas DV, disyukuri aja apa yang telah menjadi pencapaian hingga hari ini, hehehe :)

    Balas
  13. Kalau tidak silap, dulu kamu pun pernah bercerita soal buku ini di sini ya Don. Tapi, tentu dengan tema yang berbeda.
    Ah, andaikan buku itu masih lagi ada di pasaran, ingin segera kubeli dan kukatakan pada dunia dengan penuh bangga: “Hei, ini buku kawan baikku”
    Donny… melakukan sebuah kesalahan adalah manusiawi, dan manusia terbaik adalah yang menyadari kesalahannya dan lantas memperbaikinya. You’ve done it, buddy :)

    Balas
  14. Sungguh sangat mulia, sangat mulia..
    salam kenal,
    regards,
    azizhadi

    Balas
  15. Waduh, gimana ya mas. Satu sisi yang sulit tapi sudah menjadi bubur. Banyak yang memanfaatkan ‘moment tak tepat’ sebagai salah satu wadah koin dan sempat menguras banyak dari jerih payah itu. Tapi sayangnya tak satu koinpun keluar dari kantong mereka sebagai salah satu bentuk sosial. :D

    Balas
  16. saya pikir ini sebuah sebuah bentuk lain dari sikap berempati, mas don. apa pun wujud dan prosesnya, memberikan kesaksian ke dalam sebuah buku tetap akan bermanfaat buat kemaslahatan banyak orang. dengan kata lain, proses penerbitan semacam itu kan ndak harus dikutuki terus, hehe … semoga saja gempa seperti ini tak kembali terulang, agar tak terjadi proses penerbitan buku serupa, haks.

    Balas
  17. bersedia deh bang
    sini pinjemin dulu bukunya sama saya
    hehehe

    Balas
  18. Paling nggak masbro, bukumu itu bikin orang yang gak tau gimana rasanya gempa Jogja bisa ikut merasakannya. Dan lepas dari soal narsisme ataupun curi-mencuri kemulian itu, kamu tetap wajib narsis kok masbro, karena kamu dilahirkan emang untuk narsis… halah! Katamu waktu ngasih buku waktu itu :”Ayo bilang: Kakak minta tanda tangannya donk”, wakakakaka.

    Balas
  19. dilema memang…
    namun bukankah akan menjadi mulia ketika nilai positif menjadi bagian jiwa ta dab…?
    ~halah sok ya omonganku ik.. #melet

    Balas
    • Aku yo bingung moco komentarmu, Dab:)

      Balas
  20. pingin golek bukune. iku penerbit galang apa dudu,ya? kok aku dadi penasaran kaya ngene….

    Balas
    • Sanes, Paklik.. Terbitane Khairos – Gradien

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.