Kalian tentu ingat Soeharto, presiden ke-2 RI yang berkuasa sejak 1966 hingga 1998.
Ia jatuh bukan semata karena gelombang aksi mahasiswa di berbagai kota.?Kurang tepat juga kalau Orang Godean itu mundur karena krisis ekonomi yang menggelombang sejak setahun sebelumnya.
Soeharto memutuskan kejatuhannya sendiri setelah para menteri lalu diakhiri ‘anak didik politiknya’ sendiri yaitu Habibie mengundurkan diri satu per satu. Mereka dan Habibie tak percaya lagi pada Soeharto. Mereka lebih percaya pada deru orde yang lebih baru ketimbang Orde Baru meski saat itu belum tampak wajahnya sama sekali.
Soeharto yang menua dan saat itu sudah berusia 77 tahun kecewa. Di hadapan Probosutedjo, kerabatnya, pada malam sebelum akhirnya mundur, Soeharto tampak lungkrah. Sirna semua karisma kepemimpinannya yang moncer tiga puluh dua tahun belakangan.
Ada begitu banyak kisah pemimpin yang runtuh bukan karena serangan dari luar tapi justru tikaman dari dalam; dari mereka yang semula mendukung lalu lantas menyurungnya ke dalam lubang kubur yang telah dikeduk pelan-pelan sejak lama.
Kenapa bisa demikian? Bagaimana sejatinya seorang pemimpin harus berdiri dan menyatakan kepemimpinannya?
#1 Realistislah!
Bersikaplah realistis bahwa kepemimpinan itu amanah dan kepemimpinan itu, sebaik dan sesukses apapun kita, suatu waktu akan tumbang entah apapun sebabnya dan bagaimanapun penampakannya. Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang pada akhirnya mampu menghaluskan kata ‘tumbang’ dengan ‘undur diri’ dengan ‘mandhita ratu’.
Setiap satuan terkecil waktu dalam era kepemimpinan bukan soal berpikir berapa lama kamu bisa mempertahankan kepemimpinanmu. Sebaliknya, renungkanlah sebagai berapa lama kamu sanggup menyiapkan anak-tangga ke dasaran sana.
Jadi ketika goncangan itu tiba, kamu tak perlu jatuh lalu terjerembab. Kamu akan turun setahap demi setahap melalui anak tangga dengan mulus hingga ke lantai dasar tanpa cedera, tanpa celaka. Orang mengenangmu sebagai ksatria.
#2 Bekerjalah!
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bekerja.
Menjadi seorang pemimpin bukan berarti menghilangkan kata ‘kerja’ dalam kewajibanmu. Ketika kamu memutuskan untuk tidak bekerja dan meminta anak buah dan pembantumu untuk terus bekerja, kamu bukanlah pemimpin. Kamu boss! Padahal untuk jadi seorang boss kamu tak perlu jadi pemimpin! Cukup jadi pecundang, pencundang yang seolah menjadi boss.
Belajarlah pada Jokowi, Presiden Indonesia yang pernah kudukung begitu aktif 2014 silam. Ia tak bossy. Ia tak ragu menggulung lengan baju, tak takut terkena kotor dan bau apek keringat. Ia mendengarkan, berpikir lalu bertindak berdasarkan apa yang didengarkan. Semboyannya singkat tapi menggedor, kerja, kerja, kerja!
#3 Hargailah yang bekerja!
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak mencela mereka yang bekerja untuknya, yang menyediakan kepala untuk dijadikan ancik-ancik popularitasnya.
Karena sejatinya mereka tak pernah bekerja untuk pemimpin yang hanya bisa mencela! Bahkan celaanmu sejatinya tak pernah menghentikan kerja mereka meski mereka tak lagi bekerja untuk kemuliaanmu tapi untuk menggali lubang kuburmu!
…Lalu di saat yang tepat, mereka tak ragu lagi untuk menendang pantatmu dan men-jlungup-kanmu masuk ke dalam jugangan, Mbreee!
Jadi? Hargailah yang bekerja seolah mereka bekerja untukmu! Niscaya mereka, para pembantumu itu, bisa benar-benar bekerja untukmu.
#4 Jangan menyakiti para pembantu dengan cara menyakiti orang lain di luar kepemimpinanmu.
Kembali ke kenangan saat reformasi menyeruak, 18 tahun silam.
Militer dan pemerintah mencoba represif terhadap mahasiswa. Mereka digencet, peluru dimuntahkan, popor senapan diayunkan untuk tak hanya melukai tapi juga melenyapkan mereka. Tahu siapa yang lantas mula-mula mendukung mahasiswa menghadapi semua itu? Marinir!
Mereka menjagai mahasiswa. Aku tak tahu kenapa, tapi perkiraanku, mereka, marinir yang juga bagian dari militer itu tak tahan melihat perlakukan kawan-kawannya terhadap para mahasiswa yang baik budi dan mulia tujuannya itu. Lalu berbaliklah mereka membela mahasiswa.
Sama!
Jangan pernah mencoba menyakiti pihak lain, Mbree. Terutama ketika di saat yang bersamaan kamu menggencet para pembantu dan bawahanmu!
Bukan lagi soal pihak lain itu salah atau benar, tapi bahwa ketika kamu memusuhi dan menyakiti orang lain, karena kamu adalah pimpinan, pembantumu akan melihat apa yang kau perbuat. Ketika kamu menjadi seorang pemimpin yang benar, pembantumu akan melindungi perbuatanmu sekonyol apapun itu. Tapi ketika kamu semakin lama semakin menampakkan kepongahanmu, loyalitas mereka goyah! Mereka balik membela orang lain itu dan menyerangmu, men-jlungupkan-mu hingga masuk ke jugangan!
Aku ingin menutup tulisan ini dengan satu quote terkenal dari novelis Inggris ternama, Terry Pratchett. Sekali waktu ia berkata demikian, always remember the crowd that applauds your coronation is the same crowd that will applaud your beheading. People like a show… Ingatlah para pembantu dan para?pendukungmu, karena mereka juga yang suatu waktu akan men-jlungupkan-mu ke dalam jugangan yang mereka buat.
0 Komentar