Pecinta alam

25 Mei 2015 | Cetusan

Kejadian terpelesetnya pemuda Eri Yunanto (21) ke kawah Merapi Sabtu 16 Mei 2015 silam membuatku mengingat-ingat kegiatan pendakian gunung yang pernah kuikuti dulu.

Duduk di bangku SMA, hasratku untuk ikut dalam kegiatan pecinta alam sangatlah besar nan menggebu-gebu. Saat inisiasi (masa orientasi) di SMA Kolese De Britto dulu, anak-anak Padebri (Pecinta Alam De Britto) mempresentasikan kegiatannya secara luar biasa.

Tapi akhirnya aku dilarang Mama mengikuti Padebri dengan alasan aku anak sulung dan cowok, dalam kepercayaan yang dianutnya, aku tak baik untuk ikut kegiatan-kegiatan menantang begitu.

Tapi setelah kupikir-pikir, akhirnya memang aku jadi tak tertarik lagi ikut Padebri simply karena di sana gojlokannya terkenal sangat keras, dibentak-bentak, disuruh push-up dan segala macamnya oleh kakak angkatan. Aku dari dulu memang tak suka diintimidasi!

Waktu kuliah di Universitas Kristen Duta Wacana, nama Gappala (Keluarga Pecinta Pengamat Lingkungan dan Alam) juga sedang moncer-moncernya dengan pendakian-pendakian ke beberapa gunung besar di Indonesia dan juga manca. Tapi aku tetap tak mau bergabung karena alasan yang sama, aku ogah diintimidasi!

Tapi karena karibku di kampus dulu kebanyakan adalah anak-anak Gappala, pada akhirnya aku diajak naik gunung bersama mereka dan aku tak perlu masuk ke organisasinya!

Berlima, aku dan teman-temanku mendaki Gunung Merbabu dari pos pemberangkatan Wekas (sekitar Magelang) lalu naik ke atas menuju Puncak Sarip.

Sebagai new beginner sekaligus perokok berat (waktu itu), kata teman-temanku staminaku lumayan kuat!

Naik sejak tengah malam ke Pos 1, hanya beristirahat sekitar lima belas menit, lalu lanjut ke Pos 2 dan berhenti untuk mendirikan tenda, memasak dan beristirahat sejenak menanti subuh untuk menuju Puncak.

Sesampainya di Puncak, kami merayakannya dengan makan makanan yang telah kami persiapkan sebelumnya.

Tak lama kemudian kami turun karena angin sudah makin kencang dan sampai kembali di Wekas sekitar jam 1 siang lalu pulang.

Sepanjang perjalanan ke Jogja kami terlelap dan sesampainya di Jogja. Dengan stamina yang makin menurun dan mata mengantuk, aku masih menyempatkan diri mengambil sepeda motor lalu menuju ke rumah seseorang menyerahkan setangkai bunga edelweis?.

Senin paginya, entah dapat kabar dari mana, Mama menelponku dengan suara yang kekerasannya menggedor-gedor telinga padahal aku belum pulih benar dari letihku, ?Heh! Kamu kemana kemarin? Nggak pulang? Mama dengar KAMU NAIK GUNUNG?!!!? APA-APAAN??!?

Aku tak tertarik melanjutkan lagi untuk mendengarkannya jadi gagang telepon kujauhkan dari telinga begitu saja sampai dia terdiam.

?Aku pulang nanti sore. Mama kalau marah tunggu nanti aku di rumah saja ya??

Lima bulan berselang dan aku sudah lupa detail kemarahan Mama kepadaku, aku naik gunung lagi!

Kali ini Gunung Sindoro yang bersebelahan dengan Sumbing di sekitar Wonosobo – Temanggung.

Kami, sepertinya hanya berempat, aku lupa jumlahnya, naik dari Kledung kami menghabiskan waktu sekitar 7 jam untuk mencapai puncak.

Dibandingkan dengan Merbabu, Gunung Sindoro lebih berat medan pendakiannya.

Sepulang dari pendakian ke Sindoro yang menurutku sangat melelahkan, niatku untuk mendaki gunung tak surut. Kami merencanakan Merapi lantas Slamet, Sumbing, Lawu dan Semeru!

Tapi sayang, niat itu tinggal jadi niat belaka karena keadaan ekonomi keluargaku lantas memburuk dan mengharuskanku untuk kuliah sambil bekerja (belakangan jadi bekerja sambil kuliah lalu bekerja saja!) sehingga waktu luang yang kudapat di akhir pekan benar-benar kumanfaatkan untuk beristirahat saja.

Baru sekitar enam tahun sesudahnya, setelah aku bersama kawan-kawan lain mendirikan Citraweb dan merasa sudah lebih settle, aku naik gunung lagi.

Kali itu, Februari 2003, aku naik ke Gunung Merbabu bersama Kelik dan Debyo, dua karyawan ShooterNet, warnet yang dulu kami kelola. (Debyo sekarang sudah menjadi operational manager Mikrotik Indonesia, anak perusahaan Citraweb juga).

Di tengah hujan yang cukup lepat, kami bertiga mengendarai sepeda motor dari Jogja menuju ke basecamp Wekas dan menjelang tengah malam, kami mulai mendaki.

Sayang, tak sampai satu jam dari titik awal pendakian aku sudah menyerah kalah.?Staminaku menurun drastis karena beberapa tahun belakangan sebelum itu aku terlampau sering bekerja hingga larut, kurang berolahraga dan merokok.

Di sisi lain, kesalahan terbesarku saat itu adalah kami mengendarai sepeda motor yang membuat fisik sangat letih dan menyerah.?Kami lantas mendirikan tenda dan menuntaskan malam di sana.
Keesokan paginya kami memasak, makan lalu pulang.

Aku dan Debyo a.k.a Bribil dalam pendakian ke Merbabu yang berakhir di Pos 1. Hujan? Iya!

Aku dan Debyo a.k.a Bribil dalam pendakian ke Merbabu yang berakhir di Pos 1. Hujan? Iya!

Tapi ada cerita lucu!
Karena malu, aku lantas mengarang cerita kepada Debyo dan Kelik supaya nanti ketika kami turun kembali ke Jogja, kalau ditanya orang, ?Jawab saja kita sampai di Puncak!?

Lalu Kelik yang waktu itu masih belajar fotografi (sekarang Kelik Broto adalah fotografer profesional di Jakarta) kuminta memotretku seolah-olah aku telah sampai di puncak!

Ketika kami pulang, sesampainya di kantor Citraweb, alih-alih aku hendak cerita bahwa kami sampai di Puncak, seorang yang aku lupa siapa mungkin alm. Iwan (yang meninggal dua minggu lalu) atau Valens, menyapaku, ?Piye wes tekan puncak? Puncak Pos 1?

Mukamu memerah, Debyo dan Kelik tertawa. Asu!

Pendakian ke Merbabu yang berakhir di Pos 1. Ketika Kelik Broto motret ini, aku berpesan padanya, "Dibikin seolah-olah di Puncak yo, Dab! " Hahahaha...

Pendakian ke Merbabu yang berakhir di Pos 1. Ketika Kelik Broto motret ini, aku berpesan padanya, “Dibikin seolah-olah di Puncak yo, Dab! ” Hahahaha…

Itulah ?pendakian? terakhirku setidaknya hingga kini.?Meski tak pernah bergabung dengan klub pecinta alam, tapi aku bangga dulu pernah sekali dua kali naik gunung hingga ke puncak.

Kalau ada yang mengajakku naik gunung lagi, aku akan sangat berat untuk mengiyakannya lagipula kalau hanya ingin menikmati pemandangan puncak, setiap aku pulang ke Tanah Air menggunakan pesawat toh dari jendela juga mendapati pemandangan yang sama bagusnya hehehe?

Kalau hawa sejuk yang dicari, Australia, negara tempatku tinggal, juga memiliki iklim sejuk sub tropis, kan?

Lagipula kalau niatnya untuk menjadi pecinta alam, ada banyak tantangan di sekitar kita yang membuat kita mencintai alam.

Mulai dari memilah sampah yang akan dibuang, menolak menggunakan tas plastik, berpikir ulang sebelum mencetak dokumen adalah salah sedikit contoh untuk tetap jadi pecinta alam.

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Pengalaman yang seru ya Don.
    Saya juga pecinta alam melalui pemakaian plastik seminimal mungkin.

    Balas
  2. koreksi dab, kelik sejak awal dudu shooternet, tapi ejogjanet :P. lha dadi anak buahje je urusan menek tower

    Balas
    • Siyappp!

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.