Di tengah perkembangan jaman yang penuh deru ini, ternyata bagaimana cara kita mengelola rasa kaget dan mengekspresikannya adalah hal yang cukup pelik untuk diperhatikan.
Banyak kawanku kemarin sore terkaget-kaget mendapat kabar di media sosial ada patung Bunda Maria mengeluarkan air mata di Jogja. Tak hanya menangis, dikabarkan dari kepala patung keluar bau wangi yang menyeruak. Ada yang langsung percaya, banyak yang demikian. Tapi ada pula yang tidak percaya.
Tak sampai sehari kemudian, sebuah bantahan atas kebenaran melayang begitu saja dengan judul bombastis, “JANGAN PERCAYA SOAL PATUNG MARIA BER-AIRMATA! ITU HOAX!!!”. Di dalam pesannya terbubuhi cuplikan ayat yang menguatkan untuk tidak percaya dan di bagian paling bawah tertulis nama seorang pastor senior yang kukenal juga orangnya.
Kawan-kawanku yang semula kaget, jadi makin kaget lagi. Terkaget-kaget!
Garis beda antara mereka yang percaya dan lawan seberangnya yang tak percaya makin tegas. Tak sampai konflik, tapi ada yang lantas mengejek mereka yang semula percaya sebagai orang yang terlalu mudah percaya…
Yang diejek nggak terima menciptakan debat kusir yang membosankan padahal mana yang benar mana yang salah juga tak ketahuan ujung-pangkalnya.
Tak jauh dari beredarnya berita di atas, menjelang tidur, seorang kawan lain mengabarkan lagi-lagi tentang patung, tapi lebih mengagetkan!
Konon di sebuah daerah, dilaporkan ada patung gereja dirusak lalu diambil dari gereja, dibuang ke sungai begitu saja…
Tak seberapa lama, di beberapa grup WA, aku mendapatkan info yang kurang lebih sama bahkan lama-lama muncul kronologi peristiwa myang konon dituliskan oleh pihak gereja setempat.
Beberapa kawan mulai reaktif! Ada yang kepo, ada juga yang mulai merangkai-rangkai imbuhan berita sesukanya, semaunya.
Aku memilih diam dan menganjurkan untuk tidak menyebarkan detail berita tersebut.
Kenapa? Lagipula, untuk apa?
Memancing orang supaya menaruh perhatian bahwa “Wah, DV meski tinggal di Aussie tapi update bener soal Indonesia!” Aku tak menaruh ketenaran diri dalam prioritas dan syahwat utamaku saat ini…
Jadi? Diamkan saja. Alasanku cuma satu, aku khawatir dan tak bisa membayangkan apa yang akan jadi ekspresi kekagetan orang-orang membaca informasi yang kusampaikan.
Sebulan lalu, hanya gara-gara dipicu status di media sosial, rumah ibadah di Sumatera Utara dibumihanguskan oleh oknum yang kaget lalu terbakar amarah setelah membaca status itu.
Aku tak mau, apa yang lantas kusampaikan dijadikan landasan untuk membuat garis pembeda semakin kokoh dan kuat nan mengerikan antara kita yang merasa jadi korban dan mereka yang belum tentu adalah pelakunya.
Sebaik-baiknya baik, adalah mengharap tidak ada kejadian seperti itu terjadi dalam sejarah hidup kita karena meski patung, ia adalah simbol dari sosok yang dipatungkan.
Tapi ya sudah! Mari kita lampiaskan rasa kaget secara ‘kristiani’ yaitu bersyukur karena bukankah kita diminta untuk selalu bersyukur dalam setiap kesempatan.
Setidaknya gereja tidak dibakar.?Separah-parahnya hanya kepala dan tangan patung yang dipatahkan bukan pastur yang dipenggal.
Lagipula, siapa tahu ini adalah cara Tuhan memberikan rejeki pada para pematung yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Saat mereka bingung mau mengongkosi hidup bagaimana dengan pekerjaan sebagai pematung, tiba-tiba ada sebuah panggilan telepon meminta order patung yang lebih indah dan kokoh sebagai ganti yang dirusak dan dibuang.
Bisa saja, kan?
0 Komentar