Membaca lembar kedua buku paspor Republik Indonesia,
Pemerintah Republik Indonesia memohon kepada semua pihak yang berkepentingan
untuk mengizinkan kepada pemegang paspor ini
berlalu secara leluasa dan memberi bantuan dan perlindungan kepadanya.
selalu membuatku jatuh terharu…
Rasanya, kalau kalian mau tahu, menggetarkan.
Seperti seorang anak SD kelas satu yang hendak bepergian seorang diri naik kereta dari Klaten ke Purwokerto. Oleh Ibunya, si anak tadi dititipi secarik kertas untuk ditunjukkan kepada siapa saja yang oleh si anak dianggap perlu untuk dimintai bantuan dan perlindungan selama ia jauh dari ibunya.
Tapi, Jumat minggu lalu (13/3), aku mendapatkan sebuah pengalaman yang membuatku semakin terharu membaca penggalan pesan di atas.
* * *
Kondisi Mamaku tiba-tiba memburuk dan aku memutuskan untuk pulang secepatnya ke Indonesia!?Kali ini tak dapat ditunda-tunda lagi karena aku tahu benar sifat Mamaku. Kalau tak dalam keadaan terdesak, ia sangat jarang meminta sesuatu dariku. Tapi kali itu, ia memintaku untuk pulang karena ingin bertemu, “Aku pengen banget ketemu Donny! Masih mungkin nggak ya aku menemuinya?” demikian Chitra, adikku, menceritakan apa yang dikatakan Mamaku.
Paspor habis masa berlaku!
Joyce, istriku, kuminta untuk membantuku mencarikan tiket pesawat pulang-pergi, sesuai rencana aku hendak berada di Indonesia seminggu lamanya. Tapi alangkah kagetnya ketika aku sadar bahwa masa berlaku pasporku kurang dari lima bulan padahal menurut aturan, paspor seharusnya diperpanjang paling lambat enam bulan sebelum habis masa berlaku.
Joyce, dengan keadaan pasporku, sempat kesulitan ketika hendak memesan tiket untukku. “Saat sampai di Indonesia, dengan paspormu yang sekarang nggak jadi soal, tapi ketika kamu kembali kemari, ke Australia, dengan umur paspormu yang kurang dari lima bulan, mereka (pihak travel agent) concern kamu ditolak imigrasi!”
Wah, aku yang hari itu sedang sibuk-sibuknya melakukan proses handover beberapa proyek ke anak buahku karena keperluanku mudik tak bisa lagi berkonsentrasi! Buyar, sebuyar-buyarnya!
“Lalu bagaimana?” tanyaku.
“Kita mesti ke Konjen sekarang!” kulirik jam sudah jam 11 siang. Aku bimbang karena aku tahu setiap hari Jumat, Konjen tutup pada siang hari untuk memberikan waktu bagi para stafnya beribadah.
Hotline or Hotlie?
Tapi tak ada pilihan lain bagiku.
Lebih baik mencoba saat itu juga dengan apapun hasil yang akan kuterima tidak sama sekali.
Aku lantas membuka situs web Konsulat Jenderal RI Sydney untuk mencari tahu syarat perpanjangan paspor dan kemungkinan jika ada ‘jalur emergency’ yang bisa kutempuh karena kepulanganku kali ini pun bukan untuk berlibur tapi untuk sesuatu yang sifatnya emergency.
Dari situs web itu pula aku menemukan nomer telepon hotline. Aku segera mengambil telepon dan mencoba menghubungi mereka. Sekali, tak dijawab. Kucoba me-redial lagi, tak ada pula jawaban. Untuk yang ketiga kalinya kuulangi, dan hasilnya tetap sama. Aku mengirim pesan ke istriku, “Berangkat sekarang jemput aku, aku coba telpon hotline KJRI kok ngga masuk-masuk ya?”
Tak lama kemudian Joyce menjemputku bersama Odilia dan Elodia. Ijin untuk mengambil jam istirahat lebih lama tak dipersoalkan oleh manajerku, pesannya hanya satu, “Do whatever you need to do for your family, DV!”
Jarak dari rumahku yang berada di sisi utara kota Sydney ke kantor KJRI yang berada di sebelah timur tidaklah terlalu jauh, tapi cukup memakan biaya karena untuk mendapatkan jarak terdekat dengan perkiraan traffic lalu lintas yang paling lancar, kami harus membayar sekian dollar untuk sekian kali masuk pintu tol.
Sepanjang perjalanan itu aku terus mencoba menghubungi nomer hotline yang terpampang di situs web KJRI. Tapi sebanyak percobaan yang kulakukan, sejumlah itu pula aku tak mendapatkan jawaban, hanya nada sambung lalu berakhir dengan tawaran untuk meninggalkan pesan suara.
Aku lalu menyebarkan informasi tentang susahnya menghubungi hotline number tersebut di social media. Yang membuat semakin tak tenang, ternyata pengalaman tak mendapatkan jawaban ketika menelpon hotline number KJRI ternyata bukan dialami aku saja. Ada beberapa kawan lain yang meninggalkan komentar di status facebooku dengan isi menceritakan pengalaman yang sama.
Aku semakin panik! Bayangan tak bisa menemui Mama lagi untuk selamanya semakin bermain di depan mata sementara jam menunjukkan sangat dekat dengan waktu dimulainya istirahat dan ibadah siang!
Pak Ini atau Bu Ini…
Kawan-kawan sesama perantau dari Indonesia, setelah membaca statusku, juga menawarkan bantuan.
“Coba kamu hubungi Pak ini… nomer hpnya sekian sekian sekian!”
“Kontak nomer lain, Don. Namanya Bu ini… nomernya sekian sekian sekian, tiga bulan lalu dia bantu aku banget!”
Tapi semuanya kutolak!
Bagiku, ketika aku membutuhkan bantuan, tanpa melalui ‘jalur khusus’ dengan Pak inilah, Bu inilah, harusnya permohonan bantuanku diproses secara sama dengan orang lain yang melalui ataupun tak melalui ‘jalur khusus’ tadi. “Thanks, tapi aku memilih menghubungi KJRI dengan cara normal saja!” jawabku pada mereka.
Buku Paspor habis!
Di luar dugaan, setelah sekian kali percobaan, kali itu, ketika jarak dengan kantor konjen semakin dekat, panggilanku melalui telepon diangkat.
“Halo, selamat siang!”
Aku yang sudah cukup emosi pun melampiaskan kekesalanku, “Wah…. akhirnya diangkat juga setelah berkali kali kali kali saya nyoba telpon, Mas!”
“Oh, maaf kami tadi sedang rapat, Pak!”
Whatt???? pemegang nomer hotline pun bisa rapat tanpa melakukan handover nomer ke staff lain? Bagaimana kalau ada hal yang lebih emergency dariku yang memerlukan bantuan ketika ia sedang rapat dan tidak ada seorang pun yang bertugas menggantikan dirinya untuk menerima telpon? Emosiku kian memuncak….
“Kok bisa gitu? Saya butuh bikin buku paspor, Pak! Saya perlu pulang untuk urusan mendadak yang sangat penting hari minggu ini!”
“Maaf, Pak tapi kami tak bisa melayani karena buku paspor habis!”
“Hah! Kok? Kenapa nggak diberi tahu?”
“Ini kami baru akan memasang pengumumannya!”
“Nggak bisa dong! Ini saya sudah terlanjur hampir sampai konjen dan dari tadi saya buka websitenya nggak ada pengumumannya!”
“I… ini baru mau kami pasang, Pak! Bapak hubungi saja pihak Canberra!” Ia menyarankanku untuk menghubungi pihak Kedutaan Besar Indonesia di Canberra.
“Wah, nggak bisa! Saya tinggal di Sydney dan di sini ada Konjennya kok!” sergahku.
“I… iya Pak tapi kami kehabisan buku…”
“Nama kamu siapa?!” hardikku
“Bapak hubungi saja di no….”
“Na-ma ka-mu si-a-paaaa!!!???” suaraku tergetar karena emosi.
“Bapak hubu….”
Hubungan langsung kuputus. Bagiku mau kuulang seribu kali pertanyaanku, kuperpanjang percakapanku beratus menit pun tak kan mengubah keadaan, jadi kuputuskan untuk menyudahi komunikasi saat itu.
Lima menit kemudian, kami sampai di muka kantor Konjen RI dan benar saja, pintu gerbang tertutup. Sebuah plang lusuh bertuliskan “CLOSED” tergantung sementara itu tak jauh darinya sebuah tiang mengibarkan Sang Dwi Warna tinggi-tinggi. Angin kota Sydney yang mengalun sedang membuat Merah Putih berkibar dengan gagahnya…
* * *
Lapar karena emosi dan panik membuat kami memutuskan untuk cari makan dulu. Dalam perjalanan menuju ke Fajar Restaurant, Joyce memintaku menelpon Kedubes di Canberra.
Kami akan hubungi bapak
Aku sebenarnya malas, karena ini bukan pada tempatnya. Bagiku jalurnya harusnya melalui hotline Konjen. “Cobalah, kita kan yang butuh!” ujar istriku. Aku yang sudah terlanjur emosi membalas, “Aku tahu aku yang butuh, tapi aku ini warga negara Indonesia! Dimana peduli pemerintah Indonesia kepadaku di saat-saat ini?”
Tapi aku lantas menganggap saran Joyce adalah yang paling relevan saat itu untuk kulakukan.?Aku segera menelpon pihak Canberra. Mereka ternyata mengejutkanku dengan bersikap jauh lebih manis. Aku pun mengubah mind setku yang sudah terlanjur kucampur pekat-pekat dengan emosiku. Aku segera mengutarakan persoalan dan mereka sempat pula menerbitkan harapan bagiku. “Betul, Pak. Stock buku paspor baru di Sydney memang dilaporkan habis tadi pagi. Tapi kami akan mencoba menghubungi mereka kalau-kalau masih ada sisa untuk Bapak. Nanti kami akan menghubungi Bapak setelah mendapatkan jawaban dari Sydney ya…”
Kami lantas makan dengan lahapnya kali itu. Marah, emosi dan panik itu ternyata makan energi.
* * *
Aku mengenal sosok, sebut saja Bung Bharata, sejak beberapa bulan yang lalu. Beliau kuhormati; seorang cendekia calon doktor bidang hukum yang sedang menempuh studi di Sydney, Australia. Perjumpaanku dengannya adalah ketika kami sama-sama memperjuangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 silam lalu disambung dengan acara 10 tahun Munir dan yang terakhir pada persiapan acara menolak UU Pilkada Tak Langsung yang akhirnya karena ada kesalahpahaman teknis antaraku dengan panitia lainnya, aku memutuskan untuk tak datang mendukung jalannya acara. Namun demikian, hubunganku dengan Bung Bharata tidaklah berubah, selalu baik dan saling hormat-menghormati.
Siang itu, setelah makan, aku mencoba menghubunginya. Rupanya ia sedang bergegas menuju ke masjid untuk melaksanakan ibadah Sholat Jumat.
“Bung Bharata, Bung sudah baca statusku?” tanyaku padanya.
“Oh sudah Bung Donny. Tenang saja, saya akan bantu. Di masjid, biasanya saya banyak bertemu staff konjen, malah Pak Konjen pun biasanya sholat di sana juga. Nanti akan saya sampaikan keluhan Bung.”
“Wah, jangan, Bung” sergahku. “Saya maunya pakai cara normal saja, Bung! Saya tak mau main belakang!”
“Loh ini bukan main belakang, Bung! Dan ini demi kebaikan Indonesia juga karena kalau benar stock buku paspor itu habis, ini sudah tidak benar!” Ia lalu melanjutkan, “Lagipula, Bung harus pulang! Ibu Bung pasti sudah menanti Bung untuk pulang secepatnya!”
Aku tak bisa berkomentar apa-apa.?Sambil menunggu Bung Bharata beribadah, aku dan Joyce mengatur strategi lain.
“Kamu keberatan nggak kalau pulangmu diundur selasa atau rabu jadi hari Senin kita nekat ke Canberra, datangin kedubes untuk minta paspor baru untukmu!”
“Pilihan lain?”
“Kamu nekat pulang tapi kamu harus urus di Indonesia. Aku nggak tahu berapa lama urus di sana dan apakah kamu akan punya waktu untuk mengurusnya karena kamu kan pasti sibuk dengan Mama…”
Berkeputusan
Aku terdiam sejenak, “Hmmm, aku akan putuskan setelah Bung Bharata menelpon nanti.”
Tak lama setelah kami semua selesai makan dan memberi makan Odilia dan Elodia, yang kutunggu-tunggu memberi kabar.
“Halo, Bung Donny!”
“Halo, Bung Bharata, bagaimana?”
“Ini saya tadi bertemu dengan rekan konjen dan ternyata memang buku paspor mereka habis, Bung!”
“Waduh, beneran ya?”
“Iya! Tapi Bung jangan khawatir, saya akan bantu cari info di Canberra…”
“Nggak usah, Bung Bharata. Tadi saya sudah kontak Canberra dan mereka berjanji akan menelpon saya untuk mencarikan kepastian!”
“Oh baiklah, Bung! Pokoknya saya tetap bantu Bung Donny ya dan sekali lagi, Bung Donny harus pulang untuk Ibu!”
“Terimakasih, Bung. Wassalam!”
“Ok….” aku bicara dengan nada sangat pelan di depan Joyce. “Ternyata memang buku paspornya benar-benar habis dan.. kayaknya aku memilih untuk tetap nekad pulang hari Minggu ini lalu ngurus paspor di sana minggu depan sampai jadi!”
Joyce menghormati keputusanku. Kami lalu bergegas untuk membeli tiket ke travel agent yang telah kami kenal baik.
Proses pembelian tiket berlangsung cepat, travel agent tak menghiraukan pasporku yang akan habis dalam waktu dekat, “Yang penting nanti begitu tiba di Indonesia, kamu langsung perpanjang paspor!” tukasnya. Aku menghargai nasihatnya meski aku tak yakin apakah ia akan memberikan nasihat yang sama kepada orang yang tak menjadi klien bisnisnya.
Kepanikan akhirnya benar-benar reda ketika aku menjelaskan kepada atasanku tentang hal yang baru saja kuhadapi dan kemungkinan aku akan memerlukan tambahan waktu berada di Indonesia jika diperlukan untuk mengurus paspor baru. Ia, atasanku, hanya berujar, “No worries… go for it!”
Hingga sore hari, ada begitu banyak kawan mencoba mencarikan solusi untukku tapi aku tak menerima satupun tawaran solusi itu dengan alasan bahwa aku telah melaksanakan cara yang paling benar yaitu menghubungi nomer hotline Konjen RI di Sydney, sebagai kantor perwakilan pemerintah RI terdekat dari tempat tinggalku.
Aku menutup hari itu dengan sebuah kekecewaan meski tak terlalu getir. Sesaat sebelum tidur ketika sedang menyiapkan packing, aku membuka buku paspor yang hendak kusatukan dengan tiket yang tadi kubeli. Pada bagian yang kusebut di atas tadi, halaman kedua, kubaca ulang-ulang dengan penuh hayat tulisan itu kembali,
Pemerintah Republik Indonesia memohon kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mengizinkan kepada pemegang paspor ini berlalu secara leluasa dan memberi bantuan dan perlindungan kepadanya.
Aku makin terharu dibuatnya.
Haruku karena aku menabrakkan bayangan betapa indahnya tulisan itu dengan betapa mirisnya apa yang kuhadapi hari itu.
Aku menutup buku pasporku, meletakkan kacamataku dan melirik ke layar handphoneku.?Hmmmm, tak ada panggilan ataupun pesan baru masuk dari pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra. Padahal, tadi mereka berjanji akan menelponku untuk mengabarkan hasil usaha mereka meminta buku paspor dari Konjen RI di Sydney kepadaku.
Sebagai warga negara Indonesia yang baik, aku hanya?mampu berpikir mungkin mereka terlalu sibuk dengan urusan lain sehingga tak punya waktu luang untuk memperhatikan janji mereka kepada seorang warga negara seperti saya. Mungkin.
ps: Akhirnya, aku mendapatkan perpanjangan paspor di Indonesia. Jangan tanya dengan cara apa? Jangan!
Semoga kondisi mama lekas membaik ya, Mas Don..
Kalau tidak salah sebenarnya imigrasi Aus tidak mempermasalahkan umur passport pada waktu kita masuk, asal masih berlaku (ini dari hasil googling beberapa official web govt). Yang suka bermasalah mungkin immigrasi Ind atau kalau transit via Changi emang jelas2 diminta validiti > 6 mo.
hmmm aku baru ingat kalo tidak salah sih, kalau permanen resident di Jepang tidak apa kok kurang dari 6 bulan. Kamu udah permanen resident? lebih dari 6 bulan itu utk visa turis/dinas
Pelajarannya besok-besok diingat habisnya kapan kang haha~
Di Indonesiapun kan ya susah kalau yang mepet-mepet seperti ini. Kelihatannya budaya ini terbawa sampai ke luar ^^
Wah ikut prihatin dengan layanannya yang gak enak.
hallo konjen sydney