Beberapa hari yang lalu aku bertanya pada Elodia, tentang siapa saja teman-temannya di sekolah. Elo, anak bungsuku itu kukirim ke playgroup dekat rumah dua hari dalam seminggu, maklum umurnya baru genap empat tahun Desember ini.
“Jadi, temanmu siapa saja, Elo?”
Ia lalu menyebut beberapa nama. Tapi uniknya di belakang masing-masing nama, ia bubuhkan julukan seperti,?peanut butter, cheeky bumbum, crunchy peanut butter, cheeky monkey dan masih banyak lagi.
Aku sempat mengernyitkan dahi lalu tertawa. Rupanya anak ragilku itu sedang mengolok-olok teman-temannya.
Aku melongok ke belakang, dulu waktu kecil aku juga sering ‘dibegitukan’ oleh kawan-kawanku. Dari kecil aku akrab dengan nama olok-olok atau dalam bahasa Jawanya disebut sebagai ‘paraban’.
Sudah jadi rahasia umum hingga ke seantero Galaksi Bimasakti Tiada Terperi bahwa jidatku ini memang lebar. Nggak perlu dan memang gak bisa kututup-tutupi lagi kecuali pakai topi.
Oleh karenanya, waktu kecil aku akrab dipanggil Cunong. Cunong adalah istilah ‘nonong’ atau ‘jidat lebar nan menonjol’ di dalam Bahasa Jawa Banyumasan karena sejak TK hingga SMP aku tinggal di Kebumen yang sebagian besar penduduknya bicara dalam dialek Banyumasan.
‘Donny Cunong’ akrab di telinga hingga aku lulus SD.
Di SMP paraban-ku baru, “Donny Botol” atau ‘Donny Gendhul‘. Botol adalah kepanjangan dari “Botak dan Tolol”.?Senangkah aku? Jauh daripada itu, aku terintimidasi. Gejolak jiwaku yang ada dalam fase akil balik seolah terhalang adanya julukan-julukan itu. Aku yang sejatinya sudah tak pede dengan lebarnya jidat makin tak pede lagi karena setiap dipanggil, nama itu mengingatkanku lagi-lagi tentang jidatku.
Di SMA, harapanku besar supaya tak dikata-katai lagi. Tapi aku salah.
Baru masuk hari kedua, bukan murid tapi guru… guruku di SMA Kolese De Britto, memanggilku ‘Kermit‘. Aku sempat mengernyitkan dahi dan agak surprise juga kenapa aku dipanggil ‘Kermit’? “Lha itu, bibirmu lebar banget kayak loket!” jelas guruku.
Semua kawan tertawa, aku merah padam di muka.
Tapi panggilan ‘Kermit’ tak tahan lama. Mereka kembali ke pakem lama, memanggilku ‘Bathuk‘ sebagai panggilan ‘resmi’ di De Britto.
Ketika kuliah di Duta Wacana, kawan-kawan mulai memanggil namaku yang sebenarnya, ‘Donny‘, meski mereka tahu jidatku lebar. Ada satu dua yang menyebutku ‘Mr Bath‘ sebagai kependekan dari ‘Bathuk‘ dan ‘Donny Kukul‘ karena selain jidatku lebar, jerawat tumbuh menakjubkan di sana-sini, tak hanya di jidat tapi juga pipi, hidung dan semua jengkal kulit yang ada di wajah.
Setelah itu, aku semakin jarang dipanggil dengan nama olok-olok lagi, terlebih ketika aku pindah kemari, tentu tak ada satupun yang memanggilku selain Donny ataupun DV.
Hingga suatu waktu di jendela chat WA, ada seorang kawan lama di De Britto dulu tiba-tiba menyapa, “Don…”
Seketika ada perasaan geli yang menjalar ke sekujur tubuh. Aku membayangkan kawanku tadi, duduk di sebelahku di dalam kelas di SMA dan aku tak bisa membayangkan ia memanggilku demikian. Ia tak pantas, aku tak pantas. Aku ingin dipanggil ‘Bathuk’, seliar dulu ia dan kawan-kawannya mengolok-olokku.
Akupun menghardiknya dan meminta supaya ia memanggilku Bathuk, bukan Don, Donny.
Olok-olok itu memang laknat. Ia memenjara dan memasung kita seolah nama olok-olok itulah nama asli berdasarkan kekurangan kita di mata mereka. Sialnya lagi, kekurangan itu dianggapnya sebagai bahan lelucon.
Tapi ada satu titik dimana akhirnya aku bisa move on dari perasaan tersebut dan ini barangkali penting untuk kubagi di sini dan berguna bagi mereka yang mau takluk hanya karena diolok-olok.
Titik perubahan itu terjadi di De Britto. Ya, lagi-lagi De Britto!
Di kampus yang letaknya di Jalan Solo 161 Yogyakarta itu aku belajar bahwa nama olok-olok itu tak kan jadi olok-olok kalau kita tak menganggapnya demikian. Segala bentuk keterpasungan itu sejatinya karena kita memasung perasaan kita sendiri. Di De Britto aku memeluk erat-erat bentuk ‘olok-olok’ terhadapku untuk kujadikan sebagai identitasku bahwa aku memang Si Bathuk karena bathukku memang lebar. Kalau mereka tak menganggap demikian, justru itu bukan diriku sendiri. Jadi, dimana salah dan permasalahannya?
Tak penting. Dari situ lantas aku bisa lebih fokus pada hal-hal lain selain hanya mempeributkan nama paraban.
Jadi, silakan kalian para pembaca memilih panggilan untukku sesuka kalian.?Kalian bebas memanggilku Cunong, Botol, Gendhul, Kermit, Bathuk, Kukul (meski yang tersisa tinggal bekas jerawat), Donny ataupun DV. Apapun boleh karena itu semua tak’kan mempengaruhiku sebagia mausia yang dikasihi Tuhan, disayang istri dan anak-anak serta…hey, kalian, para fans, bukankah kalian juga cinta kepadaku meski diam-diam?
Buat apa marah kalau paraban itu pada dasarnya kenyataan.
Mantap, Don.