Hari ini tepat tiga tahun Papa kandungku dipanggil Tuhan dan tulisan ini adalah tentang sesuatu yang patut dikenang darinya yang semoga jauh dari sisi sentimentil, sesuatu yang selama ini selalu terbawa secara tak sengaja ketika aku sedang bicara tentang Stanislaus Didiek Hardiono, Papaku.. Bapakku.
Hari itu Selasa, 9 Juni 1992.
Aku libur sekolah dengan alasan super keren, membantu proses dukungan komunikasi PEMILU karena hari itu memang bertepatan dengan Pemilu secara serentak di seluruh Indonesia.
Bersama Papa, aku memang aktif di dunia radio amatir (ORARI) meski waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
Karena waktu itu internet belum dikenal dan proses pelaporan hasil pemilihan antar TPS masih dilakukan dengan cara yang sangat manual, aktivis-aktivis ORARI diminta untuk membantu pelaporan di pelosok-pelosok supaya hasil perhitungan suara lebih cepat digabungkan dengan tim induk demi hasil PEMILU yang lebih cepat meski sebenarnya setelah kupikir-pikir useless juga karena ada atau tak ada PEMILU, ada atau tak ada dukungan komunikasi dari kami, Soeharto adalah pemenang dan presidennya, maklum jaman itu kan Orde Baru sedang sangat tajam tajinya.
Aku dan Papa ditugaskan di sebuah pegunungan di sisi barat laut kota tempat tinggalku, Kebumen. Aku lupa apa nama pengunungannya tapi ia berada di Kecamatan Karanggayam.
Kami membawa sepeda motor karena percuma bawa mobil, waktu briefing beberapa hari sebelumnya kami sudah diwanti-wanti bahwa membawa mobil hanya akan mempersulit perjalanan karena medan yang tak memungkinkan untuk dilalui kendaraan roda empat.
Sesampainya di kelurahan terakhir yang bisa kami lalui dengan motor, kami berjalan kaki ke arah utara lagi melalui ruas jalan yang penuh belukar dan pegunungan batu kapur yang tandus.
Perjalanan waktu itu sangatlah berat.
Matahari begitu terik, sementara barang bawaan kami tak ringan. Aku dan Papa masing-masing membawa dua buah pesawat radio IC2N, beberapa batang baterai dan sebuah catu daya, aki, yang kami bawa bergantian sebagai backup terakhir kalau-kalau seluruh baterai telah habis dipergunakan.
Sekitar 45 menit perjalanan, tibalah kami di TPS tempat kami ditugaskan, waktu saat itu menunjukkan pukul satu siang.
Ramai orang dusun melihat kami dengan penuh kekaguman karena mungkin dia melihat ?Ini orang kota bawa alat macem-macem!?
Mereka begitu ramah!
Kami diajak berteduh lalu diberi kudapan ala kadarnya beserta segelas teh.?Setelah beristirahat sebentar, Papa lalu nyoblos (sesuatu yang useless lagi karena tanpa ia nyoblos pun Soeharto pasti menang!)
Dua jam menunggu hingga TPS ditutup, kami lantas menjalankan tugas. Pak Ketua TPS datang dan menyerahkan hitung-hitungan lalu kami segera melaporkannya ke kelurahan terdekat. ?Pe tiga, sekian suara? Golkar sekian suara? Pe De I sekian suara?
Papaku berkata dengan suara bergetar sementara aku memegangi pesawat radionya. Beberapa waktu sesudah itu aku sempat bertanya kenapa suaranya bergetar karena ternyata ia takut salah.
?Lha memang kenapa kalau salah??
?Woooohhh.. kalau salah ya bisa sampai ke urusan kantor Papa!?
Sesuatu yang dulu tak kutahu kenapa tapi kini kusadari itu adalah salah satu ?kehebatan? Orde Baru dalam ?merangkul? semua kalangan dan jangan sampai berbuat kesalahan sedikitpun termasuk salah hitung hasil pemilu ketika sedang bertugas menjadi pendukung komunikasi.
Tugas yang hanya 15 menit-an itu selesai kami lalu bergegas pulang.
Perjalanan pulangnya lebih menyenangkan karena jalan menurun dan beban tugas telah selesai meski beban di punggung dan tangan tetap berat.
Pemilu 1999, Papaku kembali terlibat dalam Pemilu meski aku sudah tidak lagi karena aku tinggal di Jogja sedangkan keluarga orang tuaku telah hijrah dari Kebumen ke Klaten.
Keterlibatan Papa bukan lagi sebagai bantuan komunikasi mewakili ORARI, tapi karena Papa diminta menjadi ketua TPS sebagai perwakilan dari partai. Papaku dulu adalah pengurus PDI-P di Klaten sana.
Dari situ, ?karirnya? kian menanjak.
Ia semakin dikenal orang meski pendatang. Orang lalu ramai-ramai memilihnya menjadi ketua RT.
?Keberhasilannya? mengelola RT dan ?riwayat kerjanya? sebagai ketua TPS, mengantarkannnya menjadi sekretaris KPS (aku tak tahu singkatannya pokoknya bagian yang mengurusi TPS-TPS dalam satu kelurahan).
Sebagai pensiunan dengan zonder kegiatan dan uang penisun yang sangat minim, pekerjaan itu tentu sangat berarti karena selain melepas stress juga menambah penghasilan meski tak banyak dan sebenarnya hanya layak disebut honor ketimbang gaji.
Tapi Papa bahagia.
Ia menikmati pekerjaannya dan kepiawaian Papa terdengar seantero kelurahan dan kecamatan. Beberapa kali Pilkada baik itu untuk pemilihan bupati maupun gubernur, jasa Papa selalu dipakai.
Setelah sekretaris, ia diangkat menjadi ketua KPS, bergerak naik lagi jadi ketua KPPS (tingkat kecamatan) dan jabatan itu diembannya hingga akhir hayatnya, 2011 silam.
Menjelang Pemilu 2009, Papa bahkan sempat melamar untuk bekerja profesional di KPUD Kab. Klaten. Berbekal prestasinya, ia bahkan nyaris diterima, lolos hingga ke proses penjaringan terakhir di Semarang.
Tapi ia terlalu polos. Merasa tak perlu meminta dukungan ?diam-diam? dari pihak yang berkuasa, Papaku pun tak lolos.
Kecewa? Iya.
Terlebih karena waktu itu aku telah pindah ke Australia sementara ia masih punya tanggungan uang sekolah Chitra dan konon kabarnya jabatan ketua KPPS (yang diembannya saat itu) akan diganti oleh tenaga dari pusat.
?Jangan khawatir, Pa! Pasti kubantu dari sini!? tuturku via telepon saat itu untuk melegakannya.
Kiprah Papa tak hanya di soal ?pemilu-pemilu? saja.?Sekitar dua tahun sebelum wafat, beberapa saat setelah dinyatakan tak lolos KPU, ia melamar untuk menjadi ketua PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri di kelurahan dan kali itu ia diterima!
Pekerjaannya adalah membenahi sarana dan prasarana kampung-kampung seperti membangun selokan, membenahi jalan setapak dan lain sebagainya.
Mama bercerita, Papa juga sangat menikmati pekerjaannya itu.?Bahkan sampai beberapa hari sebelum wafat, ia masih sempat mengawasi dan menyelesaikan pembangunan jalan setapak di beberapa areal di kampung tempatku tinggal di Klaten sana.
Aku ingat betul bahkan saat jenasah Papa disemayamkan di rumah, jalan setapak yang baru diselesaikannya belum kering dan masih ada patok-patok yang dipasang untuk dihindari dilintasi para pengguna jalan yang konon ditancapkan sendiri oleh Papa.
Waktu baru saja tiba dari Australia dan menyalami para pelayat satu per satu sebelum masuk rumah, aku ingat seorang tetangga memperingatkanku untuk tak menginjak jalanan yang masih basah itu. ?Jangan diinjek, Mas Donny! Itu yang masang patok juga Papa lho!?
Aku tersenyum tapi kalian tau lah seperti apa beratnya menyunggingkan senyuman waktu itu.
Bagiku, pencapaian Papa adalah sesuatu yang luar biasa.
Secara uang yang didapatkan dari kegiatan-kegiatan tadi mungkin tak ada se tai-upilnya dibandingkan dengan mereka yang istilahnya beli mobil dan rumah semudah memuntahkan pipis di celana.
Tapi aku mengenal Papaku.
Dulu ketika sukses ia adalah sosok yang sangat sombong dan tak memiliki interaksi sosial. Ia menganggap bahwa kalau tak menguntungkan, ia lebih memilih untuk tak kenal dengan orang lain bahkan tetangga tedekat sekalipun.
Tapi badai (yang pernah kuceritakan di sini) dan terutama setelah masuk masa pensiun, ia berubah jadi mau kenal tetangga dan bahkan hingga wafat, ia begitu disayang tetangga kampung, kelurahan hingga kecamatan.
Pada hari wafatnya, aku berduka tapi sekaligus kaget bukan kepalang karena ada begitu banyak? begitu banyaaak pelayat yang datang menyampaikan duka yang tak kukenal nama dan wajahnya sebelumnya. Bahkan ketika kutanya Mama dan Chitra yang mendampingiku di samping jenazah Papa tentang siapa mereka, dua wanita yang sangat kuhormati itupun menggeleng dan berujar, ?Nggak tahu! Yang pasti itu temannya Papa!?
Ia wafat dengan cara yang sederhana tapi dihantar oleh begitu banyak mereka yang menganggap dirinya teman dari Papaku yang dulu kukenal sangat sombong dan angkuh itu.

Photo selfie Papa, dijepret mungkin beberapa pekan sebelum ia wafat. Kuambil dari akun laman facebooknya.
Selamat melanjutkan istirahat yang kekal, Pa!
Nggak perlu mikir lagi buat bikin pelatihan para ketua dan sekretaris KPS di kelurahan-kelurahan se kecamatan Klaten Tengah.?Nggak perlu juga khawatir soal logistik Pemilu… kotak pemilihan lah, bantalan untuk coblosan lah, paku lah, tali untuk mengikat paku lah, tinta lah, kotak suara dan kertas suara lah karena di surga toh tak ada Pemilu karena Tuhan nggak perlu diganti setiap lima tahun sekali :)
Badai yang biasanya membuat seseorang terkapar, justru membuat papa mas Don berkibar….. #WORSHIP
Suwun :) Mohon doanya ya…
KPS = Komisi Pemungutan Suara
:)
hmm.. ini pas mau Pile(k) eh Pileg..
aku inget banget dan selalu membayangkan kalo pulang kerja, sambil nyetir aku mikir pasti kalo Papa masih ada, Papa sangat sibuk sampai dia lupa makan dan lupa pulang.. apalagi sebentar lagi Piala Duania.. coba Papa masih ada, pasti dia bener2 ga tidur, kalau perlu Kecamatan ada TV nya untuk sekaligus nonton Piala Dunia sambil mengawasi Pileg..
hmmm Goodnight Pa.. Have a GREAT LIFE :)
Iya ya, aku baru nyadar…
Pas Pemilu, pas Piala Dunia hahahaha…:)