Halo! Apakabar?
Semoga kalian masih bisa berkabar baik. Sampai sekarang, setiap pagi aku masih berpikir adakah pandemik COVID-19 ini mimpi atau bukan. Tapi beberapa saat kemudian aku tersadar bahwa ini bukanlah mimpi! Ini kenyataan hidup yang harus kita hadapi!

Hingga vaksinasi COVID-19 ditemukan…
Apakah kalian masih #dirumahaja? Sama!
Bosen? Banget!
Stress dan suntuk? Iya!
Tapi mau bagaimana lagi?
Hingga ditemukannya vaksinasi dan obat ampuh anti COVID-19, social distancing menjadi satu-satunya cara untuk mengatasi penyebaran virus ini.
Mengingat proses pembuatan vaksinasi yang konon masih memerlukan waktu sekitar 16-18 bulan, ibarat lomba lari, ketahanan kita dalam menghadapi pandemik ini diuji layaknya pelari maraton ketimbang pelari jarak pendek atau yang biasa disebut sebagai sprinter.
Pelari maraton vs pelari jarak pendek
Pernahkah kalian memperhatikan perbedaan keduanya?
Pelari marathon cenderung memulai start dengan ?santai? tapi memiliki ketahanan luar biasa hingga kilometer ke-42 saat perlombaan diselesaikan. Sementara pelari cepat memulai bagai lesatan anak peluru dan dalam waktu sepuluh detik, untuk perlombaan seratus meter, lomba pun selesai digelar.
Nah, pernahkah kalian membayangkan bagaimana kalau seorang sprinter mengikuti perlombaan maraton tapi tetap menggunakan style sama seperti saat ia sedang berlomba di lintasan jarak pendek?
Di saat-saat awal ia barangkali akan jauh meninggalkan lawan-lawannya. Tapi setengah kilo atau satu kilo kemudian ia mulai lemas lalu terhenti karena tenaga terkuras sementara yang lain yang tadinya tertinggal di belakang, pelan tapi pasti menyalip si sprinter dan meninggalkannya di belakang.
Menghadapi pandemik, dengan catatan kalau vaksinasi baru berhasil ditemukan 16-18 bulan ke depan, kita dituntut untuk menerapkan prinsip pelari maraton yang santai tapi bertahan hingga akhir.
Aku ingat sekitar tiga minggu lalu di berbagai social media orang-orang begitu bersemangat ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus bekerja dari rumah. Berbagai postingan tentang tips dan triks bekerja dari rumah lengkap dengan selfie tampan/cantik menghiasi linimasa.
Berpikir ‘negatif’
Salahkah? Tentu tidak. Baca lagi di atas bahwa selama vaksinasi belum ditemukan, social distancing adalah cara ampuh untuk mengurangi penyebaran virus.
Tapi ada cara yang lebih benar!
Sebagai ?pelari maraton? yang sadar bahwa perlombaan ini tak akan bisa kita selesaikan dengan mudah, kita harusnya menyemangati bagaimana kalau suatu saat kita tak bisa lagi bekerja #dirumahaja bukan karena boleh masuk kembali ke kantor tapi karena kantor tak sanggup lagi menggaji kita dan kita #dirumahkansaja?
Ingat lho, pandemik COVID-19 ini tak hanya membawa dampak buruk terhadap kesehatan tapi juga ekonomi, ketahanan pangan, sosial, politik dan banyak lagi!
Maka alangkah baiknya, seingin-inginnya kita kembali hidup normal, keinginan yang paling kontekstual adalah supaya kita bisa menyiasati hidup yang mungkin sedang mnegarah ke alur yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Mengajak orang-orang untuk mulai menanam tanaman yang bisa dijadikan bahan makanan di pekarangan rumah, siap-siap untuk menjual aset-aset yang barangkali selama ini kita sayang-sayang, hidup hemat dan masih banyak lagi adalah lebih baik ketimbang jor-joran menampilkan #dirumahaja seolah semuanya baik-baik saja!
Hindari juga untuk berpikir sok tahu yang sifatnya solutif.
Banyak yang memberi tips minum obat ini, makan racikan jamu itu, oleskan cairan ini serta itu tanpa ada dasar data dan analisa yang jelas sejelas kenyataan bahwa hingga saat ini COVID19 itu belum ada obat dan penangkalnya.
Hidup ini sedang tidak baik-baik saja meski kita boleh punya keyakinan suatu saat ini akan kembali baik. Di masa-masa seperti ini, ketimbang berpikir terlalu positif, terkadang berpikir ?negatif? adalah satu-satunya cara untuk tetap positif.
Jangan menyerah meski berdarah!
Jangan berhenti, tetap berlari!
Suatu saat nanti kita akan melihat garis finish itu dan kita akan sangat menghargai perjuangan yang telah kita lakukan selama ini.
Sydney, 3 April 2020
0 Komentar