Palestina, dua meter di hadapanku

12 Agu 2016 | Cetusan

Sebut saja Mawar, tapi Mawar kali ini adalah seorang pria.

Usianya kutaksir sekitar lima tahun di atasku, uban mulai menghiasi kepala dan kumis serta jambangnya.

Aku mengenalnya sejak beberapa tahun lalu, kebetulan kami sama-sama bekerja di perusahaan lampau hanya beda gedung dan uniknya kini kami bertemu lagi di perusahaan tempat kerjaku sekarang, aku sebagai konsultan dan dia seorang business analyst.

Tapi pengenalanku dengannya tak lebih dari itu. Di sini, kami saling bertukar informasi personal ketika sudah merasa saling kenal, tak hanya ?asal kenal?.

Hingga akhirnya kami bertemu di satu proyek besar pemerintah.

Sebuah proyek yang tenaga kerjanya diambil dari tiga negara bagian dan konon terbaik. Ia bergabung belakangan setelah kurang lebih empat minggu sebelumnya proyek resmi digulirkan dan kami, meski yang terbaik, masih belum tuntas untuk tahu 100% hal yang harus kami lakukan!

Keterlambatannya dalam bergabung membuat Mawar harus mengejar ketertinggalan. Ekspektasi yang diemban di pundaknya tak ringan tapi ia hanya diberi waktu lima hari untuk menyelesaikan semuanya.

Untuk itu ia menggelar beberapa kali workshop session baik yang sifatnya tim maupun 1-on-1. Ketika tiba sesi 1-on-1 denganku, sebenarnya aku tak terlalu semangat menanggapi ajakan itu. Kupikir, sejago-jagonya dia, lima hari mana cukup untuk mengerti dan mengerjakan semua ekspektasi tim yang sudah bekerja sebulan lamanya.

Kami bertemu di ruang meeting kecil.
Pembicaraan tentang kenangan bekerja kantor lama tempat kami sama-sama bekerja menjadi pembuka ice breaking, basa-basi busuk.

?Jadi kamu udah ngerjain sampe mana, War?? tanyaku.

Ia mengeluarkan laptopnya lalu menunjukkan padaku hasil kerjanya.

?Ada banyak terms dan business process yang harus kita ubah. Perubahannya bakal massive dan sangat signifikan!?

Aku kaget.
Ini orang baru gabung beberapa hari kok sudah berani berkata demikian?

Lalu ia mulai menjelaskan detail demi detailnya. Menit demi menit, rasa skeptisku hilang terganti dengan kekagumanku pada Mawar.
?Gosh! Betapa aku bersyukur kamu datang, War!?

Dia tertawa.
Sambil melipat laptopnya ia berujar bahwa yang ia kerjakan baru 65% saja. ?By this Friday aku akan bikin sesi dengan seluruh team member jadi senin bisa kamu pakai! 100%!?

?Briliiant!? tutupku.
Kepadanya aku lantas menawarkan untuk minum kopi bersama.

?Ngopi yuk!?
Ia tak menolak. Kami turun ke lantai bawah menuju coffeeshop langgananku tiap pagi.

?Kamu berasal dari mana, Don??
?Epping!?

?No? maksudku, originally??
?Oh? Indonesia!?

Ia manggut-manggut. Karena sudah dimulai, kulanjutkan saja untuk bertanya tentang ranah pribadinya. ?Kamu??

?Susah ngejelasinnya hehehe??
Sial! Kenapa aku harus bertanya, kenapa pula aku harus menjawab ketika ia tanya tadi kalau jawabannya hanya begitu saja?

Diam sejenak.
?Aku dari Palestina. Tapi aku hanya dua tahun di sana. Orang tuaku mengungsikanku ke Yordania lalu ke Qatar. Lama kami hidup di Dubai dan sejak tahun lalu mencoba peruntungan di Australia bersama anak-anak dan istriku.?

Aku belum mau menanggapinya dan kubiarkan ia bercerita.

?Empat puluh satu tahun aku hidup di pengungsian. Semoga Australia jadi tempat pengungsian terakhirku sebelum nanti,?Insha Allah, aku pulang ke Palestina??

?Hidup adalah soal mengungsi, War! Kita semua adalah pengungsi!? Sahutku.

Aku larut dalam permenungan yang membawaku ke dalam alam pikir tentang tanah air dan Palestina.

Setiap orang punya tanah air, aku Indonesia. Setiap saat aku bisa pulang bukan saja karena punya uang, tapi karena tanah airku ada.

Bagaimana dengan Mawar adalah sesuatu yang berbeda. Meski mengungsi, orang tua Si Mawar adalah orang yang berhasil, kaya.

Pulang baginya tak masalah kalau hanya soal berapa dollar yang harus dikeluarkan untuk membeli tiket pesawat.

Persoalannya adalah pulang ke mana sementara negara yang luasnya sekitar 6200 kilometer persegi di tepi Laut Mati dan bernama Palestina itu tak dianggap ada?

Ia dianggap tidak ada, tidak eksis di muka bumi.

Selama ini aku tak pernah peduli pada isu Palestina karena bagiku masih banyak isu-isu lain di sekitarku, tapi Tuhan mencelikkanku saat itu bahwa Palestina tak jauh daripadaku. Ia hanya dua meter jauhnya berhadap-hadapan denganku. Sosok cerdas yang religius. Menggenggam cangkir kopi dan bercerita penuh bangga tentang tanah yang belum ternamai secara resmi dan diresmikan dunia jika kata ?dunia? mengacu pada label ?Israel dan sekutunya?. Palestina.

Untuk A.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.