Pakdhe…

13 Nov 2023 | Cetusan

Ketika banyak orang memanggil Jokowi sebagai Pakdhe, sebenarnya aku tak setuju tapi aku toh diam saja. Karena kutahu arus yang menginginkan itu lebih banyak daripada yang tidak.

Kenapa aku tidak setuju?
Dalam tradisi Jawa, sebutan pakdhe itu berarti bapak gedhe. Gedhe bukan fisik tapi gedhe dalam artian besar, lebih tua, lebih dituakan dari urutan silsilah dan Jokowi secara usia lebih muda dari kedua orang tuaku yang sekarang sudah almarhum.

Aku dipanggil pakdhe oleh keempat keponakanku, anak-anaknya adikku. Aku memanggil Pakdhe kepada Sudharsono dan almarhum Soetarto, karena Pakdhe Dhar dan Pakde To’ keduanya adalah kakak ipar almarhum bapakku.

Masalah ketepatan penggunaan kata sandang ini jadi unik sekaligus ribet ketika kita bertemu dengan orang yang ternyata masih ada dalam silsilah keluarga besar kita. Hal ini kerap terjadi saat acara-acara kumpul keluarga besar (dalam tradisi jawa kami menyebutnya sebagai kumpul “trah”).

Pada satu acara kumpul trah, kalau nggak salah waktu SMA, aku pernah hampir naksir seorang cewek yang juga hadir di acara itu. Taksir-menaksir antar-saudara begini memang banyak terjadi. Tak jarang ada yang sampai menikah, asal gak terlalu dekat kaitannya, gak papa.

Nah, usia si cewek itu kira-kira sepantaran. Ketika kudekati, dia menyambutnya. 

“Halo, saya Donny…”
Kami berjabat tangan lalu dia bilang, “Aku… eh, bentar aku tanya Mamaku dulu ya…”

Dia pun berlari-lari kecil mencari Mamanya untuk bertanya bagaimana harusnya dia memanggilku dan aku memanggilnya. Dari kejauhan aku lihat dia umak-umik dengan Mamanya yang sesekali meamndangku. Aku tidak kenal siapa Mamanya. Cewek itu berbalik dan bilang, “Oalah… Kamu itu anaknya Mas Didiek ternyata ya? Papamu manggil Mamaku itu bulik… jadi kamu harusnya manggil aku Bulik juga…”

Tanganku mendingin! Gila masa gue harus naksir sama tante sendiri? Wkwkwkwk!

Pernah juga suatu waktu, masih di acara keluarga, di depanku ada anak yang usianya kira-kira SMA, waktu itu umurku 23 tahun. Tiba-tiba dia datang, “Om! Minta rokoknya dong, Om!”

Aku memberinya sebatang. “Stttt.. jangan merokok di sini nanti kamu dimarahi…” Ia kemudian menyingkir, bersamaku, sama-sama ngerokok juga waktu itu.

Dari situ jadi dekat dan malamnya kami keluar main bareng-bareng. Dia mengajak kawan-kawan sepantarannya dan aku diperkenalkannya sebagai “Om.”

Sepulang dari situ, tak lama setelah masuk rumah, Budhe memanggilku. “Don… Don… sini…”

“Ya, Budhe…” sahutku.

“Aku dilapori katanya Mas Toto baru saja keluar bareng kamu…? Kemana saja? Rokokan ya? Dia kan besok harus kembali sekolah lagi!”

Aku tertawa, “Hahaha,. lha Dik Totok yang mengajak keluar, Budhe…”

Budheku kaget setengah mati! “Dik? Kamu panggil dia itu Dik?”

Aku tak kalah kagetnya. Aku baru ingat dia kan saudaraku sendiri, pasti ada kata sandang yang pas untukkku memanggilnya sebagai apa!

“Mas Toto… “

Toto pun keluar dari kamar, “Ya, Dik Her…. ada apa?”

What? Budheku dipanggil Dik oleh anak ingusan yang minta rokok tadi pagi? Singkat kata mudah ditebak, aku harus memanggil Toto itu sebagai… Pakdhe! Anjirrrr! Telisik punya telisik, ternyata Toto.. eh Pakdhe Toto itu adalah anak bungsu dari kakaknya Eyang yang didapat dari istri mudanya! 

Dua puluh tahun kemudian, suatu saat aku mendapat pesan di Instagram. Seorang yang tak kukenal menyampaikan demikian, “Halo, Mas? Apakabar?! Masih ingat aku? Aku Toto yang dulu kamu beri rokok!”

Akupun menyahut, “Oh, Toto si Pakdhe?”

Kami berdua pun ngakak. Selanjutnya kami sepakat untuk memanggil santai aja, dia memanggilku Mas, dan aku memanggilnya Toto meski kadang kalau isengku keluar ya kupanggil dia Pakdhe sampai dia malu sendiri…

Jadi, kalau kalian mau panggil Jokowi itu Pakdhe, ya panggil aja bebas!  Kalau aku ada kesempatan mungkin aku akan panggil dia Paklik atau Paman yang artinya kurang lebih sama! Paman Khong Guan!

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.