Tahun lalu dalam rangka menyambut Hari Guru Nasional, aku menulis A.S Midi (klik di sini untuk membaca artikelnya), guru/kepala sekolah di SD Pius Bhakti Utama Kebumen. Hari ini, aku menulis tentang Trubus Pribadi. Ia guru olahraga dan kesehatan jasmani (orkesjas) SMP Negeri 1 Kebumen. Aku mengecap pendidikan menengah pertamaku di sana, 1990 – 1993.
Kalau Pak Midi adalah peletak pola pikir progresif mula-mula, Pak Trubus berjasa besar membuatku berpikir bahwa perubahan, seprogresif apapun itu harus dimulai dari diri kita sendiri!
Sama halnya dengan Pak Midi yang kerap menyempal dari kurikulum yang diajarkan, Pak Trubus, dalam satu jam pelajaran teorinya (dua jam lainnya dihabiskan di lapangan dalam mata pelajaran Praktek Olahraga), juga sering loncat dari kurikulum yang waktu itu sangat membosankan karena hanya membahas ukuran lapangan dan tata aturan pertandingan. Ia lebih senang membahas tentang organisasi dan cara berprinsip dalam hidup.
?Kalian harus berpikir maju. Waktu SD, hanya diberi porsi 25% untuk bicara, sekarang kalian punya porsi 50%. Nanti waktu SMA, kalian mengambil 75% dan kuliah 100% bebas berbicara!?
Itulah quote yang paling kuingat dari pribadi seorang Trubus Pribadi hingga kini. Bukan besar-kecil prosentase yang dipentingkan, tapi ajakannya untuk memiliki kemauan dan keberanian berpendapat secara bebas adalah yang terutama.
Pada saat aku studi di SMP 1 Kebumen, Pak Trubus terbilang guru muda, kalau tak salah ingat ia lahir pada 1964. Ia pribadi yang dekat dengan anak-anak dan mungkin untuk itu ia lantas ditunjuk jadi pembina OSIS. Karena aku jadi pengurus OSIS pada dua tahun terakhir studiku di sana, (seksi agama katolik dan kristen protestan lalu seksi kesenian) aku kerap bekerja sama dengan Pak Trubus.
Tapi bukan itu yang paling mengesankan dari interaksiku dengan Pak Trubus.
Meski aku pengurus OSIS, pada dasarnya, paling tidak menurut kawan-kawan, aku lumayan badung, usil. Beberapa kasus di sekolah, aku terlibat di dalamnya.
Mulai dari adu cepat melepas tali bh teman-teman perempuan dengan dua jari dan dalam satu kedipan mata (yeah, i did it!), berkelahi, menggembosi ban sepeda, mengisengi guru dengan permen karet di kursi, hunting kunci jawaban dari ulangan kelas sebelah yang sudah diadakan seminggu sebelumnya dan masih banyak lagi.
Karena itu, aku langganan menghadap Guru BP/BK. Tapi, mungkin karena aku adalah pengurus OSIS, setelah dari guru BP/BK, aku diminta pula untuk menghadap Pak Trubus di ruang kerjanya.
Dengan wajahnya yang keras (Pak Trubus memelihara kumis lebat tanpa jambang a-la Pak Raden) dengan rahang yang kokoh dan tatap mata yang tajam, ia biasanya memulai sesi dengan berujar, ?Donny, saya sudah bosan tanyain kamu, Kenapa kamu melakukan kayak gini lagi??
Aku biasanya tak bisa menjawab selain hanya tersenyum, pringas-pringis.
Sesekali ia tak segan menggebrak meja untuk menghardikku lalu melanjutkan, ?Kamu itu pengurus OSIS harusnya jadi tempat teman-teman kamu berkaca! Paham?!?
?Jangan diulangi lagi! Apa yang kamu lakukan harus kamu benahi secepatnya! Jangan sampai kenakalan itu jadi sifat tetapmu! Jangan pula membuat kawan-kawanmu berpikir bahwa kamu memang anak nakal! Siapa yang suka? Kamu bangga??
Dan segala macamnya?
Pada Bulan Ramadhan tahun 1993, menjelang kelulusan, ada sebuah kejadian besar di sekolah. Di siang bolong yang lengas, tepat di belakang dinding perpustakaan, sebuah mercon berukuran besar meletus mengagetkan.
Penjaga perpustakaan yang sedang bertugas di balik tembok tempat mercon meletus harus dibawa ke rumah sakit karena kaget dan mereka concern dengan kesehatan jantungnya.
Tak ada yang mengaku bertanggung jawab atas kejadian itu. Selang beberapa jam kemudian, saat sedang mengikuti mata pelajaran di kelas, tiba-tiba Pak Trubus masuk ke ruangan, berbisik sebentar dengan guru yang sedang mengajar lalu menatapku dan bilang, ?Donny, keluar sebentar??
Tatap matanya dingin.?Teman-teman membeku. Aku tahu apa yang mereka pikirkan sebagaimana apa yang ada di benakku waktu itu.
?Ya, Pak??
?Ikut saya?? Ia membawaku ke ruang interogasi BP/BK, ruang tempat biasa aku diinterogasi pada kasus-kasus yang pernah di dalamnya aku terlibat.
Saat masuk ke ruang interogasi, beberapa anggota ?gerombolan si berat? yang sama-sama kerap ?kena kasus? sudah ada di sana.
Sepuluh menit kemudian, Pak Trubus memberi perintah, keras dan tegas. ?Hadap ke dinding semua dan jangan menoleh sama sekali!?
Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan kutebak dua orang anak masuk ke dalam ruangan. Rupanya mereka adalah saksi mata kejadian mercon yang meletus.
?Ada dari mereka yang kamu lihat?? tanya Pak Trubus pada dua saksi itu.?Tak ada jawaban. ?Kalau ada tunjuk saja, jangan bersuara..?
Lima menit berlalu, kami diminta keluar dari ruang interogasi. Di beranda ruang BP/BK, aku menghampiri Pak Trubus. Aku merasa ada yang perlu kuluruskan.
?Pak, kenapa Pak Trubus memanggil saya? Apa menurut Bapak saya tega melakukan itu? Saya memang badung? saya memang nakal? tapi meledakkan mercon kayak tadi pagi sudah diluar batas saya, Pak!?
Ia tersenyum.
?Hehe? Kamu tenang saja, Donny. Saya tadi manggil kamu karena guru BP/BK meminta saya memanggil kamu. Saya tahu kamu tidak melakukannya, tapi mereka ngotot meminta saya untuk memasukkan kamu ke ruang itnerogasi karena menurut mereka kamu berpotensi melakukannya.?
Aku tercekat. Cap nakal sudah sedemikian melekatnya padaku??Pak Trubus melanjutkan bicaranya ?Sekali lagi, tenang, Don. Saya sudah tahu pelakunya. Sekarang kamu kembali ke ruangan kelas!?
Meski tetap tak tenang, aku kembali ke ruang kelas dan wajah kawan-kawan penuh senyum. Rupanya mereka juga khawatir kalau aku menjadi tertuduh peristiwa itu.
Percakapan siang itu kuingat adalah percakapan panjang terakhirku dengan Pak Trubus.?Beberapa bulan kemudian setelah dinyatakan lulus SMP, aku tak sempat lagi berbicara dengannya. Yang kuingat, ia menyorongkan tangannya kepadaku dan mengucap selamat, ?Selamat! Jadi pindah ke Jogja? SMA 6 atau De Britto??
?De Britto, Pak!? jawabku.
Kami lalu berpisah di muka gerbang SMP Negeri 1 Kebumen dan itulah pertemuan terakhirku dengannya sepanjang hidupku, selama sisa hidupnya.
Tujuh belas tahun kemudian.
17 November 2010, di Jalan Adimulyo – Petanahan, Kebumen, Pak Trubus Pribadi dan anak bungsunya, Azizah Ulfah, meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. ?Aku menerima kabar waktu itu dari grup percakapan teman-teman alumni SMP di BBM.
Padahal percakapan antar alumni di grup saat itu sedang hangat-hangatnya untuk mengadakan reuni akbar dan aku berpikir jika waktunya pas aku tak keberatan untuk mengambil cuti pulang ke Indonesia, ke Kebumen untuk ber-reuni.
Inginku menyalami para guru termasuk Pak Trubus dan mengucapkan terimakasih. Bagaimanapun juga, apa yang kuraih sekarang, apa yang kuyakini sebagai prinsip hidupku saat ini pada mulanya adalah hasil gemblengan dan didikan dari pribadi seorang Trubus Pribadi.
Selamat beristirahat dalam keabadian, Pak.?Hutang budi saya pada Bapak tak sedikit, tulisan ini hanya mampu membayar serpihan kecilnya saja.
Pak Trubus bnyk kenangan,semoga beliau tenang disurga,suwun Don ngelingke sosok beliau
Selalu ada guru mengesankan dan unik pula bagi setiap orang — kecuali ia/mereka amat sangat membenci sekolah dan tak punya kenangan manis sama sekali.
BTW kalo ngelepas ransel dada yang kancing di depan juga cepat? ;) #oops
Paman Antyo, Donny pasti jago soal gituan. Ilmu dari Akademi Bareng pasti sudah menyelinap ke sumsum seluruh tulangnya ????
Wow… ini super sekali. Hiks, seharusnya guru2 saya dulu ada yang mengatakan ini pada kami yah… tapi gapapa, buat apa menyesali sesuatu yang tak pernah terjadi. :lol: Nanti saya sampaikan ini ke anak saya aja. :P