Pak Midi

24 Nov 2014 | Cetusan

blog_midi

Besok adalah hari yang diperingati sebagai hari guru nasional.

Sebagai orang yang tak terlalu suka dengan pelajaran dan sekolah, terus terang aku cukup sulit untuk mencari sosok guru yang berkesan karena bagaimana mungkin aku bisa terkesan pada orang yang memberikan hal yang tak mengesankan bagiku yaitu pelajaran?

Uniknya, banyak sosok guru yang justru lantas jadi sangat akrab denganku setelah aku lulus, mungkin semacam ?menebus dosa? karena dulu tak mau mengakrabi dan setelah bebas jadi inginnya berdekatan dan berakrab-akraban? Mungkin saja!

Tapi Agustinus Silverster Midi barangkali adalah pengecualian.?Pak Midi, begitu ia biasa dipanggil adalah guru dan kepala sekolah SD Pius Bhakti Utama Kebumen saat aku mengeyam pendidikan dasar di sana, 1985 – 1991.

Pada dirinyalah untuk pertama kalinya aku dikenalkan oleh pentingnya berpikir progresif diluar dari segala hal yang telah diatur dan dikurikulumkan.

Perawakannya kurus dan untuk ukuran orang Indonesia, ia cukup tinggi. Rambutnya lurus, tipis dan berbelah tepi serta berminyak rambut, klimis.

Dibandingkan dengan guru-guru lainnya, pembawaan Pak Midi cukup parlente; mungkin karena posisinya yang adalah kepala sekolah? Aku tak tahu.

Waktu baju kotak-kotak belum sepopuler jaman Jokowi sekarang ini, ia sudah menggemari baju kotak-kotak. Jarang menemukan dirinya mengenakan pakaian safari seperti guru-guru lainnya.

Tunggangannya sepeda unta persis seperti pelukisan Iwan Fals terhadap Bapak Guru Omar Bakrie dalam lagunya. Padahal rumahnya jauh dari tempat ia bekerja. Kalau aku harus mengingat-ingat, barangkali ada lebih dari 5 km jauhnya karena ia tinggal di sekitar Taman Winangun, sebuah suburb yang letaknya di selatan stasiun Kebumen sementara sekolahku terletak di Bumirejo yang letaknya di timur alun-alun.

Pak Midi sudah menarik sejak dari ulasan latar belakangnya.?Bapak ibunya kelahiran Brosot, Kulon Progo Yogyakarta, sebuah daerah yang aku sendiri sebelumnya tak tahu ada dimana hingga akhirnya pada sebuah lawatan studi wisata ke Jogja, bus rombongan sengaja dibelokkan ke sana oleh Pak Midi untuk mengenalkan desa-nya itu kepada kami para muridnya.

Tapi Pak Midi lahir di Suriname. Oleh penjajah Belanda, rupanya orang tuanya dikirim ke sana sebagai tenaga kerja.?Pak Midi mengajar khusus murid kelas lima dan enam dan hal ini seolah menjadi sebuah takaran pencapaian bagi anak-anak SD Pius.

Misal, suatu sore dulu pernah aku diajak Mama membeli roti ke toko Bati, lalu si pemilik toko bertanya, ?Bu, anaknya sekolah dimana??

Lalu Mama menjawab, ?Oh, di SD Pius, Cik!?

?Kelas berapa??
?Empat??

?Oh, berarti belum diajar Pak Midi ya!?

Dan ada banyak macam-macam pertanyaan maupun pernyataan yang seperti itu dan membuatku makin penasaran serta ingin cepat-cepat naik kelas ke kelas V semata karena ingin diajar Pak Midi!

Ketika akhirnya naik ke kelas V, nyatanya diajar Pak Midi memang menyenangkan.

Ia tak seperti guru-guru lain yang kalau masuk langsung bicara, ?Selamat pagi anak-anak.. ayo kita buku buku paket halaman 15 dan kita baca bersama-sama???Pak Midi lebih seperti, ?Selamat pagi anak-anak? kalau nanti kalian pulang baca koran, carilah berita soal Gorbachev yang berkunjung ke China dan itu adalah kunjungan pemimpin Soviet yang pertama sejak tahun 1960an!??Lalu ia bercerita detail sekitar 10 menitan, kami terdiam hingga ia menandaskan habis ceritanya baru ia beringsut, ?Tapi baiklah, kita buka buku kalian halaman??

Membahas pelajaran beberapa lama, ketika sampai di topik yang kira-kira bisa dikaitkan dengan opininya tentang peristiwa terkini saat itu, ia langsung lompat lagi keluar dari pakem pelajaran!

Polanya yang seperti ini secara tak langsung ikut memicuku untuk mencari tahu apa yang terjadi diluar halaman-halaman buku ?paket? yang harus kupelajari. Sepulang sekolah aku jadi tak sabar untuk membaca koran yang telah dibaca Papa sebelumnya supaya kalau istilah anak jaman sekarang nggak kudet (kurang apdet)!

Sering juga Pak Midi melontarkan pertanyaan-pertanyaan terkait isu terkini misalnya seperti,

?Ada yang tahu siapa perdana menteri Jepang baru yang kemarin dilantik menggantikan Sosuke Uno???Kami lantas berebut menjawab, ?Noboru Takeshita!?

Atau lagi, ?Siapa menteri kesehatan kita sekarang???Kami cepat-cepatan menjawab, ?Adhyatma MPH!?

Nah, hampir lupa kuceritakan, hal yang menarik dari Pak Midi adalah, ia selalu punya pandangan lain terhadap pemerintahan Soeharto dan ia tak segan untuk mengutarakan hal itu di muka murid-muridnya!

Bayangkan, saat itu padahal Orde Baru sedang ganas-ganasnya berkuasa, kan? Tak heran jika Pak Midi sangat mengesankan juga untuk mereka yang diajar olehnya sebelumku.

Hal itu terbukti pada kisah berikut ini, suatu waktu ia diundang datang ke Jakarta oleh bekas muridnya. Istilahnya dipestakan!

Dibelikannya ia tiket pesawat, diinapkan di hotel, dikenyangkan perutnya dengan makanan-makanan yang mungkin belum pernah ia makan dan untuk kenang-kenangan diberinya ia hadiah seperangkat sound system yang lumayan bagus untuk ukuran waktu itu dan untuk kemegahan seukuran kota Kebumen.

Berbulan-bulan sesudah peristiwa itu, ia tak pernah lupa bercerita repihan-repihan kisah selama dia di Jakarta berulang-ulang. Acara reuni dengan bekas muridnya itu ternyata juga sempat diliput oleh koran nasional. Pak Midi lantas memotong bagian foto tersebut dan memajang serta membawanya kemana-mana.

Secara pribadi, aku punya kenangan menarik dengan Pak Midi. Dulu, waktu SD, hanya sedikit anak yang mengenakan jam tangan dan aku adalah segelintir di antaranya.

Oleh pihak sekolah, aku lantas diminta untuk bertugas memukul lonceng tiap-tiap pergantian jam pelajaran, jam istirahat maupun jam pulang sekolah.

Nah, suatu hari pernah, aku membunyikan lonceng pada waktu yang salah.?Waktu itu menjelang pulang sekolah, aku yang sudah tak sabar untuk pulang, seperti halnya murid-murid lainnya, berdiri dari bangku lalu meminta ijin guru (aku lupa siapa) untuk membunyikan lonceng.

Kawan-kawan sekelas paling suka kalau aku sudah berdiri karena itu adalah kabar baik bahwa kami akan segera pulang.

Seperti biasa aku lalu berjalan ke arah lonceng dan membunyikan lonceng tiga kali, ?Teng-teng-teng?

Suara gaduh pun muncul seperti biasa, pertanda semua murid dari kelas I hingga VI membereskan tasnya lalu bersiap-siap doa penutup lalu pulang.

Tapi siang itu, begitu lonceng selesai kubunyikan, tiba-tiba Pak Midi keluar dari salah satu pintu kelas dan memanggilku tergesa.

?Donny!?
?Ya, Pak?? Aku mulai tak nyaman karena tahu ini bukan sinyal yang baik.

?Kamu tahu ini jam berapa?? tanya Pak Midi menghampiri. Pandangannya tertuju pada arlojinya.

?Ta? tahu pak. Ini kan jam satu kurang seperempat. Jam pulang sekolah!?

?Coba lihat jam kamu???Aku berdiri tapi kaku!

Aku menolaknya dengan menggelengkan kepala karena aku tahu aku salah, membunyikan lonceng llima menit sebelum seharusnya kubunyikan!

?Kamu tahu, itu artinya kamu sudah tidak jujur! Kamu korupsi waktu!? tukasnya. Sementara anak-anak lain keluar dari kelas mereka mengamati dan mengerubungiku yang sedang dimarahi Pak Midi.

Lima menit berlalu kuliah dari Pak Midi laksana satu abad rasanya.?Siang itu Pak Midi berkeputusan untuk tidak lagi menggunakan jasaku membunyikan lonceng.

?Mulai besok, kamu digantikan Ipung karena kamu terbukti tidak jujur!?

Pak Midi lantas membunyikan lonceng lagi untuk menganulir apa yang telah kulakukan sekaligus memberi tanda bahwa kali itu para siswa sudah benar-benar boleh pulang.

Siang itu aku merasa sangat malu pada diriku sendiri. Untuk bercerita pada Papa Mamaku pun aku tak mau karena kutahu mereka kenal baik pada Pak Midi dan keluarganya.

Keesokan paginya aku datang ke kantornya dan meminta maaf. Ia sudah tersenyum tapi sebagai hukuman aku tetap tak diijinkan untuk membunyikan lonceng hingga aku lulus SD.

Sebuah hukuman yang menurutku wajar sekaligus pelajaran yang sangat berharga yang datang sangat dini bahwa ketidakjujuran harus diganjari hukuman dan kepercayaan itu teramat mahal harganya!

Selepas SD, aku hanya bertemu Pak Midi sesekali pada saat ke gereja di hari minggu; suatu hal yang makin lama makin jarang karena waktu SMP aku paling malas kalau disuruh ke gereja!

Selepas lulus SMP, aku pindah ke Jogja, aku sama sekali tak pernah bertemu Pak Midi lagi. Sesekali saja kabarnya kudengar dari adikku, Chitra, yang waktu itu duduk di bangku SD.?Tak lama kemudian Pak Midi meninggal entah sakit apa?

Orang bilang tak perlu ada yang disesali dalam kehidupan ini. Aku juga tak pernah menyesal bertemu dan kenal dengan pribadi seorang Pak Midi. Hanya satu hal yang memang tak mungkin kulakukan kepadanya adalah menjadi seperti mantan muridnya yang mengundangnya untuk datang ke Jakarta lalu membahagiakannya.

Dan hal itu ingin kutebus melalui tulisan yang sederhana ini. Aku berdoa semoga jiwanya mendapatkan ketenangan abadi di surga dan keluarga yang ditinggalkannya selalu terberkati.

Terimakasih, Pak Midi dan jadilah bintang di langit malam nan temaram.?Jasamu besar, tak sekecil gajimu dulu. Engkau adalah peletak gagasan di dalam otakku untuk tak ragu berpikir progresif dan tak takut melawan hal yang memang seharusnya dilawan demi hal lain yang perlu dipertahankan?

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa

Hyme Guru oleh Sartono

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Pak Midi, guru seleb di jamannya.

    Balas
  2. Pak Midi tu bisa biola.. Kok ga ditulis disini? Hehehhe
    Meski ga ada hari Adik Nasional, mbok sebagai hadiah kelahiran anakku yang pertama, aku dihadiahi tulisan ttg aku mas… Hehehheheh

    Balas
    • Kamis kutulis! Janji, Cit! :)

      Balas
  3. Thanks Donny. Sharingmu selalu memberi kejutan dan inspiratif.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.