Pahlawan

27 Apr 2008 | Cetusan

Pernah jadi pahlawan?
Siapa pahlawanmu?
Siapa pula yang menganggap dirimu adalah pahlawan bagi mereka?

Genggam!
Bagiku, bapak dan ibu adalah pahlawanku.
Terlepas dari kegagalan demi kegagalan maupun keberhasilan yang pernah mereka terima, mereka berdua adalah samudra yang tak pernah berkesudahan air cintanya bagiku.
Dan itu mengalahkan serta melebihi apapun yang belum bisa diberikannya bagiku.

Bagi adikku, aku adalah pahlawannya atau barangkali bisa dijadikan sebagai salah satu sosok yang bisa dijadikan acuan.
Aku, selain bisa mencukupi kebutuhan keuangannya dalam studinya di Yogyakarta, adalah juga model yang tak terlalu buruk untuk dijadikan standar minimal kesuksesannya kelak.

“Umur 23 tahun seperti kamu dulu aku sudah mbikin perusahaan dari dengkul dan otak sebagai modalku, Cit!”
Setiap aku berkata demikian, kulihat ada api di matanya. Ia seperti merasa bahwa karena dilahirkan dari benih yang sama, maka tak mustahil baginya untuk lebih baik daripadaku.

Lain lagi dengan tetanggaku. Surip, anggap saja ia bernama seperti itu.
Baginya, ia sangat berhutang budi kepada tetanggaku lainnya, Juwita.
Si Juwita konon yang akhirnya memberikan informasi akurat pada Surip tentang perselingkuhan istrinya dengan Kawir, karib Surip itu sendiri. Dari pernyataan Juwita itu pada akhirnya membuat Surip merasa diselamatkan dari kekelaman rumah tangganya lantas menceraikan istrinya. Kisah itu lalu berujung pada Surip yang akhirnya menyunting Juwita dan mereka hidup bahagia dengan kedua anaknya.
Juwita adalah pahlawan dan istri Surip.

Postingan ini semula tak pernah terpikirkan untuk ada.
Aku mendapatkan cercahan inspirasi dari seorang pengamen jalanan yang berada di bis Jogja – Klaten yang kunaiki malam minggu kemarin.
Di tengah redupnya lampu bus yang hendak berangkat meninggalkan Janti, Yogyakarta, si pengamen tadi lantang berujar salam pembuka,

“Selamat malam para pahlawan tiang keluarga! Berdoalah, keluarga menantikanmu pulang malam ini dengan selamat!”
Semula aku berpikir kenapa ia berkata demikian, tapi setelah kutoleh ke kanan dan ke kiri, memang yang tampak adalah wajah-wajah letih para pria yang tampaknya bekerja di Jogja namun bertempat tinggal di luar kota seputar Jogja.

Lalu sepanjang perjalanan yang sebenarnya tak terlalu lama itu aku hamparkan pandangan pada luar jendela bus dengan pikiran melanglang buana ke sosok-sosok pahlawan yang pernah muncul dalam hidupku, juga dengan apakah aku sudah pernah menjadi pahlawan bagi sekelilingku atau justru aku malah selalu mengharapkan pahlawan melulu?

Pahlawan bagiku adalah orang yang punya sisi kepahlawanan dalam dirinya.
Ia tak harus tampan ataupun ayu.
Ia juga tak wajib untuk menjadi orang benar dalam segala hal karena itu hal yang sangat tidak mungkin untuk dilakukan.
Ia tak pula harus mati duluan dan kalaupun ia sudah meninggal, ia tak harus mati di medan laga dengan peluru yang menancap-nancap di sekujur tubuhnya yang bersimbah darah.

Orang yang memiliki semangat untuk semakin mengabaikan dirinya demi kebesaran dan kebahagiaan orang ataupun sesuatu yang ia bela, adalah pahlawan.
Orang yang berkehendak untuk berbagi di tengah segala kekurangannya, itulah pahlawan.
Dan tiada lain bahwa setiap pahlawan adalah mereka yang mampu menyalakan lentera di tengah padang yang gelap dan berangin.

Oleh karenanya, siapakah yang tidak berhak untuk menjadi pahlawan?
Setidaknya dari diri sendiri untuk orang-orang yang ada di sekitarnya?
Bagi istri dari suaminya,
dari Kakak untuk adiknya,
dari pemimpin untuk bawahannya,
dari raja untuk warganya,
dari nabi untuk umat-umatnya.

Kita semua adalah pahlawan.

Gambar diambil dari sini.

Sebarluaskan!

5 Komentar

  1. Gabungan salam pembuka si Pengamen dan diagnosa anda Bung!, (ok, I liked the structure of “his” sentences and “your” manner of developing a subject), Spesial buat saya karena.. yo aku banget ngono lho (hmmm, temaram lampu bus, wajah lelah..)

    dan saya anggap itu reffrainnya

    Tentang paragraf lainnya..Oh!? Anda sedang BerPuisi?

    Balas
  2. saya mulai faham, paling tidak “ikon manusia” Anda sedikit memberi clue mengapa tulisan cerdas tak selalu hadir di antara asap rokok (hola!, gym fanboy :P)

    seandainya benar, memang hanya DV yang bisa men-sketsa bunga indah wangi, diantara semerbak tinja dan tumpahan urine.

    dan kan kuteruskan membaca!.

    Balas
  3. belum nemu niih…? ada kandidat yg bisa ditiru ? haha

    Balas
  4. @Angga:
    Refrain tanpa bait bukankah suatu bunga yang selalu layu karena tak punya daun dan batang serta akar yang bekerja untuk kecantikannya?

    @Windy:
    Akulah pahlawanmu!

    Balas
  5. Tulisan ini dalam. Hasil permenungan betul tampaknya.

    Setiap orang memang membutuhkan sosok!

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.