Final Piala Dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar semalam tak hanya yang terbaik karena Argentina juara tapi juga final yang membantuku mengulas begitu banyak nostalgia di masa laluku.

Aku memang bukan penggila sepakbola tapi ada ‘darah bola’ mengalir lewat Papaku. Tentu bukan tentang kelihaian menggocek, lebih tentang bagaimana menikmati dan menggilai tontonan pertandingan sepak bola.
Sejak kecil Papa melibatkanku dalam pertandingan sepakbola yang ditontonnya. Ajang Piala Dunia tahun 1986 adalah awal segalanya.
Diselenggarakan di Mexico, aku terkesima pada permainan Diego Armando Maradona, Jorge Burruchaga dan kepiawain penjaga gawang Nery Pumpido. Di final mereka mengalahkan Jerman Barat. Buku tulis pelajaranku tahun itu semua bercover para pemain Argentina saking gilanya!
Kecintaanku pada sepakbola meninggi.
Bukan saja pertandingan kelas dunia, pun di tingkat Nasional aku diajar untuk mengamati pertandingan sepakbola baik yang berasal dari Liga Galatama maupun Perserikatan PSSI. Mulai dari Niac Mitra dengan Mohammad Al-Hadad-nya hingga Persebaya Surabaya dengan Syamsul Arifin, I Gusti Putu Yasa dan siapa lagi kalau bukan penyerang handal, Mustaqim! Tak hanya itu, sepulang kerja, Papa sering memboncengkanku naik Astrea 800 nya untuk nonton pertandingan sepakbola antar-kampung di alun-alun Kebumen.
Piala Dunia 1990 diselenggarakan saat aku libur sekolah. Papa dan Mama mengijinkanku untuk menonton pertandingan yang rata-rata diadakan tengah malam. Semua pertandingan kutonton bersama Papa. Aku kebagian tugas membangunkannya setiap pertandingan akan dimulai dan setiap dia ketiduran di tengah-tengah pertandingan. Lagi-lagi jago kami ya Argentina.
Meski di final kalah menyakitkan dari Jerman Barat, 1-0, aku tetap bersimpati pada perjuangan Diego Armando Maradona dan Claudio Caniggia yang sejak awal memang sudah terseok-seok meski mereka adalah juara bertahannya.
Piala Dunia 1994 masih kuikuti dengan seru meski aku malah tak menyaksikan pertandingan finalnya karena tepat keesokan harinya adalah hari pertama kembali bersekolah kelas dua di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Lagipula, Argentina tak masuk final, buat apa?
Sejak itu kecintaanku pada bola mulai menurun.
Aku mulai mencintai bola yang lainnya, Bola Basket NBA, selain itu, aku juga semakin sibuk dengan kehidupan di Jogja serta jauh dari Papa yang biasa memanas-manasiku untuk menemaninya nonton bola.
Papa, Mama dan Chitra pindah kembali ke Klaten, awal 1998.
Karena jarak Jogja-Klaten yang dekat, hampir tiap akhir pekan aku pulang dan setiap itu juga kami nonton pertandingan Liga Inggris di layar televisi ruang keluarga bersama-sama. Papa menggilai Manchester United dari sejak itu hingga nanti di akhir hidupnya. Nama-nama seperti Eric Cantona, Ole Gunnar Solkjaer, hingga David Beckham adalah nama-nama yang memenuhi percakapan.
Di Piala Dunia 1998, sayangnya tak semua pertandingan ditayangkan secara cuma-cuma. Untung tetangga yang punya akses ke jaringan ‘parabola’ rela membukakan pintu untuk kami nonton di rumahnya hampir setiap malam. Usia Papa saat itu 44 tahun, sama seperti usiaku saat ini.
Perancis yang adalah tuan rumah sekaligus menjadi jawara perhelatan empat tahun sekali itu. Nama-nama seperti Zinedine Zidane, Fabian Bartez, Lilian Thuram (ayah dari Marcus Thuram, pemain Perancis saat ini) akrab di telinga termasuk Didier Deschamps, kapten yang jadi pelatih Perancis saat ini.
Sayangnya piala dunia itu menjadi piala dunia terakhir bagiku nonton bersama Papa.
Di piala dunia berikut-berikutnya aku tak pernah lagi pulang untuk nonton karena sudah tersedot perhatianku penuh pada dunia internet dan pekerjaan, pelayanan di Gereja dan… pacaran!
Setiap ditanya, “Kowe ra pengen bali Klaten nonton bal-balan, Le?”
Jawabku selalu, “Ora!” atau “Nonton bareng kanca-kancaku neng Jogja, Pa…” Untuk sekadar melegakannya meski ya bo’ong. Yang benar, teman-temanku nonton di tv di ruang tengah kantor sementara aku terus bekerja hingga larut malam.
Semenjak pindah ke Australia, 2008, lebih lagi, aku sama sekali tak mengikuti bola.
Pernah sih mencoba mengikuti Piala Dunia 2010 tapi banyak missed-nya karena kebanyakan pertandingan diadakan sekitar jam 4-5 pagi waktu Australia. Terlalu larut untuk di-begadang-in, terlalu pagi untuk bangun dari tidur malam.
Lagi-lagi Papa kerap bertanya lewat telepon ataupun SMS waktu itu, “Nonton?”
“Ora! Sibuk!” atau “Walah, keturon, Pa!”
Sebagai penggila bola, Papa meninggal dunia dengan cara sangat elegan. Ia terserang stroke saat sedang seorang diri nonton tim kebanggaannya, Manchester United melawan Schalke 04 (Jerman) di pertandingan laga perempat final Piala Champions EUFA, 6 April 2011 dini hari. Sehari sesudahnya ia pergi meninggalkan kami semua untuk selamanya.
Sejak itu aku mematikan perhatianku pada sepakbola.
Bukan karena trauma melainkan karena Papa sudah nggak ada, nggak ada lagi yang mengingatkan bahwa ada pertandingan ini dan itu…
Tapi Piala Dunia 2022 menjadi beda.
Meski tak ada lagi Papa, meski semua pertandingan tetap diadakan subuh waktu Australia tapi cara media menyajikan laporan pertandingannya dikemas secara menarik dan instan, cocok dengan pola hidup padat kebanyakan kita sekarang ini.
Bangun pagi sambil boker tinggal buka Youtube, cari game highlight dari yang 2, 3 hingga 10 bahkan 25 menitan, semua tersedia. Niat untuk mengikuti pun jadi terbangun dan terjaga. Sejak Jumat minggu lalu aku sudah bilang kepada istriku bahwa aku ingin nonton final yang diadakan semalam apalagi finalnya adalah Argentina, tim kesukaanku dan alm Papa melawan Perancis, tim yang jadi juara dunia pada piala dunia terakhir yang kutonton bersama Papa, 24 tahun yang lalu.
Aku nonton final sendirian melalui sambungan Youtube di layar televisi ruang keluargaku ditemani kudapan dan teh hangat. Menikmati keseruan bola, hati dan pikiranku terpantik pada kenangan bersama Papa dulu.
Rasa deg-degan, rasa gregetan termasuk celetukan-celetukan khas seperti,
“Yo… gol-ke yo!”
“Hayah… piye to ikih?!” hingga “Mak dussh! Meh wae!”
kuucapkan dan kuutarakan seolah Papa ada di samping menemaniku.
Setelah wasit meniup peluit tanda usai perpanjangan waktu, 120 menit dengan hasil imbang 3-3 aku bergegas mematikan televisi lalu beranjak tidur.
Aku tak tertarik nonton babak adu penalti sebagai babak penentu siapa yang jadi juaranya. Ini persis seperti yang Papa lakukan dulu.
“Mung marai deg-degan tur adu penalti wes dudu bagian saka pertandingan! Mung untung-untungan…”
Pagi tadi, ketika membuka mata, aku meraih mobile phone dan mencari berita. Setelah mengetahui bahwa Argentina juara, hati bergembira dan akupun menggumam, “Pa, Argentina juara!”
0 Komentar