Orientasi

3 Agu 2015 | Cetusan

ilustrasi: @dv77

ilustrasi: @dv77

Entah kalian, tapi dari dulu hingga kini aku selalu tak berhasil menangkap relasi logis antara perlunya masa orientasi siswa (MOS) dengan praktek perpeloncoan yang marak terjadi di dalamnya.

Yang ada justru anggapan yang makin lama makin kuat bercokol di otak bahwa telah terjadi perendahan martabat siswa baru melalui pelampiasan syahwat para senior yang gila hormat yang ingin dianggap superior dan layak ditakuti dalam format ?masa orientasi siswa? dan mendapat dukungan fasilitas dari pihak penyelenggara pendidikan: sekolah!

Beruntung aku hanya ikut MOS sekali seumur hidup yaitu ketika aku masuk ke SMA Kolese De Britto pada 1993 silam dan hal ini menurutku adalah satu yang sangat kusayangkan terjadi pada institusi yang sangat kucintai dan kubanggai itu! (Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa cintaku pada De Britto bukanlah cinta buta!)

Saat masuk kuliah, 1996, aku menolak untuk ikut dalam acara tersebut meski sempat mendengar sas-sus bahwa aku tak kan bisa lulus kalau tak ikut MOS, tapi sekali tidak tetap tidak!

Simply karena kepalaku dan harkat martabatku tidak untuk dijadikan alas kaki mereka. Harga diri itu dibawa sampai mati, untuk apa diserahkan pada sekelompok bar-bar yang tak ada sangkut-pautnya denganku, tak pula menafkahi dan memberikan kehidupan bagiku?

Dan berikut adalah alasan-alasan lainnya kenapa aku sangat anti pada MOS!

 

Senioritas

Perploncoan itu menguatkan konsep bahwa yang senior itu selalu lebih benar; lebih berhak untuk mengatur yang junior.

Padahal hal tersebut tentu saja salah besar! Setiap orang tak peduli umur dan seberapa lama ia berada di satu institusi, berhak untuk berkembang melebihi yang lainnya selama hal itu dilakukan dengan cara-cara yang beradab.

 

Hipokrit dan rasa takut

Perploncoan itu melestarikan rasa takut yang tidak pada tempatnya!

Kamu harus bikin tugas meski itu nyaris tak masuk akal semata karena kamu takut untuk menerima hukuman yang merendahkan martabatmu; joget-joget, menyampaikan salam dengan gerakan-gerakan blo?on atau mengenakan aksesoris norak di sekujur tubuhmu untuk sekadar ditertawai seniormu!

Ketika rasa takut sudah sedemikian lestarinya, hiporkit adalah momok yang datang tepat waktu! Karena kamu takut, tapi kamu ingin tampak ?cool?, kamu menghalalkan segala cara termasuk jadi munafik yang hipokrit.

Mentalitas yang seperti ini, mau-tak-mau, telah terpupuk-tanam sesaat setelah kita disemati tanda ?Selamat anda telah lulus MOS/MOSPEK!?.

Jadi jangan heran kalau selama studi seorang siswa nekad menghalalkan segala cara asal nilai-nilainya bagus; dan ketika sudah bekerja seseorang hanya berusaha tampak giat sekadar supaya lepas dari hukuman yang mengancam dari para senior tempat ia bekerja.

Orang-orang seperti ini menurutku adalah orang-orang yang sudah mati secara kreatifitas. Mereka sudah tak punya daya untuk menciptakan hal-hal menarik karena mereka melewati hari hanya sekadar supaya ?asal tak kena hukuman?, ?asal bapak senang? hingga mereka mati beneran!

 

Target yang meleset

Dan ini barangkali yang paling penting. Masa orientasi yang harusnya digunakan untuk mengenalkan kampus dan seisinya akan meleset kalau inisiasi hanya diisi gojlokan fisik dan peloncoan.

Takutnya lagi, para siswa/mahasiswa baru akan mengamini dan mengimani bahwa menghormati senior itu harus dengan mempermalukan diri sendiri dengan menari-nari, dengan mengenakan kostum yang memalukan, dengan mengucapkan salam penuh tari-tarian.

Takutnya para siswa/mahasiswa baru akan setuju bahwa mereka yang yunior memang layak itu diperlakukan demikian. Jadi jangan heran kalau perploncoan adalah sebuah lingkaran setan yang akan terus berulang karena ketika mereka jadi senior, mereka pun berharap mendapatkan semua hal yang didapatkan senior pendahulu mereka.

Takutnya lagi, para siswa/mahasiswa baru akan berpikir bahwa pihak sekolah/kampus akan mendiamkan atau bahkan mendukung dan memfasilitasi perploncoan.

* * *

Anis Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI melarang dan mengecam praktek perploncoan dalam MOS itu bagus, tapi kalau mau nggak nanggung, harusnya ia melarang kegiatan MOS itu sendiri!

Ia harusnya memandang siswa baru sebagai insan yang berakal budi yang mampu melakukan orientasi terhadap lingkungan barunya secara bertahap dan alami, tidak dibombardir dalam tiga atau empat hari lengkap dengan kekerasan ala perploncoan!

Pada tahap yang seharusnya dianggap paling complicated untuk mendapatkan satu bentuk MOS yang efektif, bisa saja pihak sekolah menyediakan konten melalui situs web yang bisa diakses terkait pengenalan dan orientasi kampus. Lalu di akhir konten diberikan sebuah online test untuk menilai seberapa serius mereka ingin mengenal tempat studi barunya.

Pada tahap yang lebih mudah, sekolah diwajibkan mencetak materi pengenalan dalam bentuk buku ataupun brosur berisi informasi-informasi tepat guna yang bisa dibagai sebagai pedoman dalam masa-masa awal studi.

Atau mau tahap yang paling murah nan mudah, mari kita berpikir apa sih yang perlu diberitahukan pada para siswa di hari pertama masuk sekolah?

Toilet, ruang UKS, ruang guru, pintu gerbang dan pintu emergency serta kantor polisi terdekat untuk jaga-jaga kalau ia dikejar-kejar para senior yang haus rasa hormat dan sok superior!

Come on, Anis!

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Orientasi boleh aja asal dilakukan dengan cara elegant.
    Orang perlu dibekali mental dan keberanian sejak dini supaya tidak jadi orang rendah diri.

    Balas
  2. Bro Donny, anak ku tahun ini ikut mos de britto, entah kenapa koq jadi sasaran hukuman terus..tugas bejibun dan ga masuk akal untuk diselesaikan dalam sehari, apalagi diselesaikan dalam beberapa jam..memang mereka ga butuh istirahat? Agak kecewa dengan kegiatan mos de britto tahun ini..anak jatuh sakit bahkan sebelum mos itu selesai…alhasil hari pertama sekolah terpaksa izin sakit…dengan membaca tulisan bro Donny, saya 100 persen pasti tidak akan lagi mengikutkan anak anak saya dalam kegiatan mos…toh kelulusan tidak akan dipengaruhi oleh ikut tidaknya mos…tadinya saya berkeyakinan, mos de britto akan diisi kegiatan yang bermanfaat untuk pengenalan anak terhadap kampusnya sekaligus melatih kepemimpinannya…ternyata …. jauh…jauh…jauh dari perkiraan…jauh-jauh merantau sekolah, kalo begini cara mos nya, apa ya kira kira tujuannya?

    Balas
    • Hehehehe, wah Bro Hendrik baca juga tulisanku. Makasih :)
      Ya, sayang banget kalau di JB masih ada yang kayak gini ya…

      Salam buat keluarga!

      Balas
  3. Menurutku perploncoan seperti yang pernah ku alami di STM masih wajar kok, Latihan mental. Aku juga beberapa kali dihukum (make kresek sbg topi, nyanyi , lari, ngilani lebar lapangan dll) tetep tak lakoni. Aku nganggep hukuman sebagai rasa tanggung jawabku atas kesalahan yang ku lakukan. Selama hukuman tsb tidak bersifat kekerasan fisik.

    Sekaline dikeplak, langsung tak jak gelut neng lapangan.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.