Orangutan yang bergelantungan pada secarik nota

10 Jun 2013 | Cetusan

Beberapa waktu lalu setelah santap malam, tiba-tiba aku membayangkan alangkah menyenangkannya kalau malam yang dingin itu ditutup dengan secangkir kopi susu hangat.?Karena datangnya ingin itu begitu menggebu, aku lantas pergi keluar rumah menuju sebuah gerai makanan cepat saji yang tak perlulah kusebutkan brand-nya di sini…

Sesampainya di sana dan setelah memesan dan menyerahkan coin senilai $3 di kasir, sekonyong-konyong aku dikejutkan dengan printout receipt yang tanpa kuminta diberikan. Yang membuatku terkejut adalah ukuran receipt itu.

receipt segede gaban...

receipt segede gaban…

Aku tak tahu ukuran pastinya tapi aku bisa memastikan bahwa panjang receipt itu mencapai lebih dari 20 centimeter dengan lebar standar sekitar 5 centimeter. Edan! gumamku.

Seketika itu juga, mataku ?menangkap? gambar-gambar lain.
Wajah-wajah lugu para orangutan yang bergelantungan di hutan-hutan tropis sumatra dan kalimantan beserta banyak satwa lainnya yang menggantungkan hidup dari keasrian dan hijaunya hutan saat itu seperti datang menghiasi kertas nota yang sama sekali tak menarik itu.

Mereka barangkali tak tahu jauh di sisi selatan tempat mereka tinggal, aku sedang mengira-ira, kalau ada seribu orang saja per hari yang menerima receipt segede gaban ini dari kasir itu, berapa lama mereka sanggup bergembira dan hidup damai dalam hutan hujan tropis yang lebat dan asri itu?

…perlukah kita membuang kertas sebanyak itu hanya untuk customer yang menghabiskan uang di bawah $10 sekali transaksinya?

Aku sebenarnya bukan orang yang datang dari kalangan aktivis pecinta lingkungan hidup. Aku juga bukan orang yang mudah trenyuh dan terharu melihat makin menipisnya sumber daya alam yang kerap dilabeli sebagai ‘rusaknya alam’ karena aku percaya bahwa alam itu terlalu digdaya untuk dirusak oleh kita. (dalam hal ini aku pada posisi lebih percaya bahwa manusia hanya mampu menghambur-hamburkan sumber daya dan hal itu yang lantas mengganggu makhluk lainnya) tapi dalam kasus panjangnya receipt yang kuterima tadi, aku mencoba mengajak kalian untuk berpikir ke hal yang lebih mudah dicerna dan semoga kita sepakati bersama yaitu basis keuntungan sebuah bisnis!

Seandainya aku adalah seorang business process analyst di perusahaan itu, barangkali aku akan mengajukan analisa yang sangat sederhana: perlukah kita membuang kertas sebanyak itu hanya untuk customer yang menghabiskan uang di bawah $10 sekali transaksinya?

Lebih lagi, semakin panjang kertas yang dicetak akan berpengaruh pada siklus hidup mesin cetak dan borosnya tinta cetak yang digunakan dan pasti berpengaruh pula pada daya listrik yang dikeluarkan untuk melakukan routine itu.

Ada begitu banyak informasi yang dipaparkan di situ yang sejatinya akan diabaikan oleh kebanyakan pembeli. Yang terpenting adalah nomer urut antrian karena hal ini akan dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui bahwa pesanannya sudah selesai dipersiapkan.

Beberapa orang costumer, mungkin membutuhkan receipt jumlah uang yang dibayarkan tapi kebanyakan kuyakin tidak, maka jadikanlah ini sebagai sesuatu yang sifatnya optional, sediakan sebuah filter yang harus ditanyakan cashier, “Do you need a receipt?” Kalau customer bilang “Yes!” ya tinggal cetak sebagai tambahan di bawah nomer urut, jika tidak, abaikan.

Ada yang butuh metode pembayaran transaksi disertakan, misal untuk perhitungan neraca keuangan personal… maka taruhlah ini penting, ia juga bisa dijadikan sesuatu yang optional karena tak semuanya butuh yang sedemikian detail dalam perhitungan uang bulanan, aku misalnya! :)

Alamat mungkin penting dalam kerangka pembicaraan bahwa hal itu mungkin dibutuhkan untuk keperluan administrasi perpajakan. Ini mungkin sifatnya tidak optional, tapi toh tak perlu dicetak dalam ukuran huruf yang sama besarnya dengan yang lain, kan? Cukup 0.75 dari ukuran font lainnya, asal tercantum dan terbaca.

Sisanya, kode-kode lain yang mungkin hanya kalangan internal yang tahu makanya tak perlulah dicetak meski dalam softcopy yang tersimpan dalam basis data ya tetap perlu dicantumkan.

Aku membayangkan dengan diimplementasikannya analisa kilat di atas, ongkos sumber daya yang digelontorkan untuk mencetak receipt tak kan jadi semahal itu!

Margin keuntungan tentu akan semakin besar, para penggiat LSM lingkungan hidup juga akan lebih kalem dan kalau mau melanjutkan membayangkan orangutan yang bergelantungan di pepohonan, burung dan satwa lain yang juga butuh bahagia, kita bisa melanjutkan membayangkannya dengan sedikit lebih tenang, setidaknya kita tidak urun untuk membuat mereka kelimpungan dan tak bahagia.

Bukankah hidup itu harusnya memang membahagiakan semua makhluk?

Sebarluaskan!

20 Komentar

  1. gaya idup dengan wawi *cebok* pake tissue juga… gak kepikir apa itu pake pohon di negara berkembang yang paling banyak sumber daya alamnya?

    padahal udah ada teknologi wawi pake bidet [Toto, American Standard sudah punya ini untuk konsumsi RT ya.. , aku gak tau produk lain karena di rumah bintaro pake merek itu].. bidet itu air yg diluncurkan dari toilet itu sendiri, tisu hanya untuk membersihkan sisanya, cuma gitu deh orang2 itu gak mau tangannya kena taik nya sendiri..

    aku sebal di unitku pake tisu dan gak ada bidet, it’s so 80 banget toiletnya… dan di beberapa publik toilet di canberra juga masih pake teknologi lama. sementara jaman ke jepang, berlin or negara eropa lainnya.. udah ada bidetnya. jepang terutama, selain bidet ada teknologi dryer .. totali lo gak butuh tissue ..

    demikian curhat saya atas tissu.. (nanti saya curhat ttg pembalut.. ohh itu udah ding kemarin sm Joyce hihihi]

    Balas
    • Mungkin lebih ke soal kebiasaan. Orang-orang kita di Indonesia yang nggak pake tisue maupun bidet juga susah move on dari wawik model basah. Orang-orang sini barangkali juga demikian, wawik ya pake tissue nggak pake air sama sekali termasuk air yang dikucurkan sendiri.

      Semua ada papan-empan-nya.. IMHO :)

      Balas
      • nah makanya, aku bilang gaya hidup yg tentunya jadi kebiasaan dong ya. coba mindset diubah.. wawik through bidet.. wipe with less tissue.. :D..

        Balas
        • Mindset diubah? Untuk mengubah semua wawik tissue jadi bidet akan habis berapa duit negara ini?

          Balas
  2. Klo pemakaian kertas dikurangi, kasihan jaringan supliernya, mulai dari pabrik, marketing, distributor karena order pasti akan berkurang, omzet berkurang, tidak butuh banyak buruh/karyawan, akan ada PHK, nambah pengangguran, bagaimana mereka makan? Bayar uang sekolah anaknya? Uang belanja u/ istri? Ujung2nya perut laper, nyolong kayu di hutan. Kerusakan lingkungan makin parah kan? *Mbulet yo ben :p

    Balas
    • karang kabeh ki semua yo :)

      Balas
  3. Ngomongin soal penggunaan kertas, mungkin ini belum seberapa dibanding dengan di perkantoran pemerintah. Disini saya melihat penggunaan kertas masih cukup boros, padahal sebenarnya ada banyak yang bisa lebih diirit.

    Balas
  4. Mungkin karena “alasan” pelestarian alam juga ya, anak sekolah SD jaman sekarang sudah ada yang di suruh pake komputer jinjing

    Balas
    • Heheh iya pelestarian alam.. alam materialistis :)

      Balas
  5. emang harusnya optional sih. atau kayak beberapa cabang minimarket yg mulai pake kertas recycled dgn kualitas murah. yg penting ada bukti pembayaran kan :)

    Balas
  6. OMG itu emang panjang banget sik.

    Yg paling berlebihan lagi adalah penggunaan tissue. Kebiasaan sih ya, tinggal tarik, elap, buang. Tarik elap buang :(

    Balas
  7. nota ne indomart karo alfamart kih lho apik…cilik trus nganggo kertas burem..

    aku kebetulan kerja di bagian yang banyak pakai kertas..
    sampai saat ini beacukai di negara manapun belum mau menerima softcopy untuk customs clearance.
    jadi semua dokumen harus diprint..kadang harus diprint berulang-ulang malah.
    jadi nek pelestarian ki susah dan hampir tak mungkin, kudune kita lebih konsen ke regenerasi pohon, jadi sistem e…tebang sepuluh tanam seratus, tapi apa mungkin? ah entahlah…

    Balas
    • Kertas burem atau bukan burem tetep saja memangkas sumber daya dan akhrinya pohon juga ditebang.
      Aku melihat sistem tebang tanam itu sebagai solusi sakjane, tapi konsistensi dan komitmen yang sebenarnya perlu kita check endurance nya mau sampe berapa lama

      Balas
  8. Kalau di toko toko di indonesia, masalahnya sudah ditempelin tulisan sama bossnya, ” kalau tidak pake nota gratis..” jadi gimana tuh dengan orang tuan kalau sudah begitu?

    Balas
    • Bukan soal dihilangkan kok, tapi di-efisien-kan :)

      Balas
  9. bikin kartu keluarga di kantor kecamatan,petugasnya salah terus entah karena belum terbiasa makai komputer atau memang matanya sudah kelelahan,,jadi bolak balik di print,pake kertas bagus lagi.dan bukan hanya satu atau dua orang saja yang bolak balik salah, saya bisa lihat juga kardus di bawah meja bpk petugas menumpuk kertas yang salah2

    Balas
  10. kalau yang kutahu, Jepang mendaurulangkan semua kertas yang ada, dan konsumsi kertas Jepang 60% adalah daur ulang.
    Jadi yang dipakai ya itu itu aja :D Dan ya, di sini ditanya juga mau receipt atau tidak. Atau persis di depan kasir disedikan tempat penampungan receipt untuk didaurulang.

    Oh ya, kalau mau hemat receipt, belanja online saja :D

    Satu lagi : negara kita sendiri yang punya monyet-monyet itu tidak hemat kertas (dan lain-lain seperti air) sama sekali kok don.

    Balas
  11. nah gimana dengan skripsi atau tugas akhir lainnya yg musti ngeprint dulu pake a4 80gr tiap konsul/bimbingannya coba?
    kenapa dosbing2 g pake format softcopy aja waktu bimbingan, dan baru cetak ketika sudah final?

    ngerubah mindset emang susah ya :p

    Balas
    • Kalau aku bilang sih ada hal yang perlu dan bisa diubah dan ada yang belum tentu bisa diubah dengan mudah. Mulai yang lebih mudah dulu aja :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.