Aku terlahir untuk mencintai musik.
Papa Mama mengenalkanku dengan kaset saat belum aku genap berusia tujuh tahun. Sewaktu film Gita Cinta dari SMA begitu booming, aku tak melewatkan hari tanpa bernyanyi dan bersenandung Galih dan Ratna hingga di suatu hari minggu yang tak jauh dari itu, Papa mengajakku mendatangi toko kaset dan menghadiahkan kaset yang masih kuingat betul bersampul warna biru itu.
Sesampainya di rumah, kaset original sound track yang dinyanyikan Chrisye (alm) itu kuputar berulang kali hingga kusut dan mleyat-mleyot suaranya karena begitu sering diputar pada pita-pita pemuat sinyal-sinyal suaranya. Dan entah sampai kapan akhirnya kaset itupun tak pernah kuputar lagi karena tak layak dengar.
Aku juga jadi ingat ketika aku menginjak kelas 6 SD. Sesaat sebelum masa karaoke booming, aku mulai mengumpulkan beberapa kaset grup musik dan penyanyi yang kusuka. Dulu interaksiku dengan peta perkembangan musik adalah melalui siaran nasional televisi dan radio. Ya jangan membayangkan MTV, pada waktu itu MTV belum menampilkan busana-busana terbaik para penyanyi yang ditampilkan di layar kacanya ke Indonesia seperti sekarang ini hehehe :)
Pada sebuah toko kecil penjual kaset-kaset yang ada di kotaku, aku sering mampir ke sana sepulang sekolah. Sekadar melihat karena uang sakuku tak dicukupkan Mama untuk membeli banyak hal termasuk kaset. Lalu ketika pundi-pundiku telah memenuh dan kulihat kaset itu masih belum tanggal dari tempatnya di etalase toko, aku segera menghampiri dan menukar kaset itu dengan sejumlah uang yang terbilang cukup mahal waktu itu, Rp 6000 ,00.
Dengan cara seperti itu aku berhasil mengumpulkan Metallica, Judas Priest, Skid Row, album-album Guns n Roses dan tak ketinggalan beberapa album slow melow pillow welow seperti Tommy Page, Sinead O Connor dan apalagi kalau bukan New Kids on The Block !!
Aku juga mengkoleksi Festival Rock Log Zelebour yang aku lupa keberapa tapi yang kuingat betul bersampul warna cokelat dengan materi antara lain Kaisar (Solo), Saltis (Madura), Partha Putri (Yogyakarta), Roxx (Jakarta) dan masih banyak lagi. Selain itu, aku juga doyan mendengar dan menghapal lagu-lagu milik Power Metal, Grass Rock, Elpamas dan GodBless. Acara koleksi-mengkoleksi kaset sempat terhenti karena Papa-Mama mulai menjejaliku dengan lagu-lagu karaoke.
(Entah kenapa, hingga saat ini dan sejak saat itu aku sangat benci dengan yang namanya karaoke.
Bayangkan pemandangan dalam ruang karaoke. Kamu cuma duduk, memegang mic dan melihat televisi dengan gambar-gambar katro yang tak sesuai (kadang) dengan tema lagu yang sedang diputar. Kemudian di layar dituliskan sub-title yang memandu kapan kamu harus bernyanyi. Sementara kamu menggeliat-geliat kesana kemari. Ingin bergaya sesuai ekspresi lagu tapi tak hendak karena memang kamu bukan penyanyi yang sesungguhnya!
Lalu teman-teman disekelilingmu yang duduk bersamamu pasti memandang, ikut-ikutan menyanyi, sedikit bergoyang dan tak sabar untuk “Haduh! Kapan giliran gw nyanyi ya..?” Dan satu hal yang … paling, paling kubenci dari karaoke adalah permainan echo yang kadang berlebihan pada settingan mic yang dipinjamkan.
Suara echonya mengingatkanku pada Pranoto Acoro pernikahan di kampung-kampung ataupun mic milik tukang-tukang penjual obat.
S*cks! Echo kan nggak bisa menggantikan vibrasi dan tak bisa pula menutupi ancurnya suaramu! Apa nikmatnya ?!?)
Anyway, acara mengumpulkan kaset akhirnya berlanjut lagi selepas SMP.
Aku mulai mengkoleksi beberapa grup yang akhirnya kusukai hingga sekarang.
Metallica! Aku dulu punya lengkap koleksi kaset dari album pertama Kill Em All hingga Black Album. Dari semenjak Cliff Burton masih hidup dan Dave Mustain masih magang di Metallica hingga Cliff tiada dan tergantikan dengan Jason NewStead dan Dave Mustain migrasi ke Megadeth!
Juga Guns n Roses meski sejujurnya aku tak terlalu suka karakter vokal si Axl. Aku malah lebih memilih Helloween dengan Future World – nya ataupun Windmill dan Forever in One yang begitu mendayu berbeda dengan lagu-lagu pada album-album sebelumnya.
Semenjak jadi anak kost di Jogja aku benar-benar berhenti mengkoleksi kaset karena dua hal yang saling berkaitan: harga kaset melambung, jatah uang anak kost yang cekak. Jadilah aku pembajak kecil-kecilan untuk tetap dapat menikmati lagu-lagu baru. Hanya menggunakan radio tape yang dilengkapi tombol record, serta sebuah kaset kosong aku bisa mendapatkan banyak lagu-lagu baru yang diputar lewat radio. Selain itu, teman-teman yang memiliki album-album teranyar membolehkanku meminjam dan merekam beberapa lagu ke kaset kosongku. Cara hemat dan cepat, sebenarnya…
Masa digital pun tiba. Kaset mulai ditinggalkan dan lapak-lapak penjual kaset bekas di Pasar Beringharjo yang sering kudatangi pun beringsut bangkrut.
Orang dikenalkan pada teknologi Mp3, anti pleyat-pleyot dan memiliki kualitas suara yang stabil: stabil jeleknya – stabil baiknya.
Aku smakin kranjingan untuk tidak membeli CD asli apalagi harganya yang sangat tidak terjangkau dengan kantongku kala itu.
Tapi sebenarnya aku pun bukanlah pelaku-pelaku pembajakan CD ke Mp3 itu sendiri. Lebih tepatnya aku hanya sukses numpang dengar dari speaker aktif komputer teman karena keadaan ekonomiku yang memburuk dan tak memungkinkan papa untuk membelikanku komputer pribadi.
Dan ada masa yang tak bisa kuceritakan di sini … makanya mari kita lewati saja :)))
Hingga saat ini, saat semuanya sudah mulai membaik, baik keadaan ekonomiku maupun moral penghormatan terhadap karya seni, aku mulai berpikir untuk kembali giat mengkoleksi CD-CD asli dari mereka yang senantiasa membuat warna dalam hidup melalui nada.
Sebelum aku pergi ke toko CD, aku mulai berpikir untuk menentukan, musik seperti apa yang hendak aku koleksi CD-CDnya.
Jelas yang terutama adalah U2 ! Bagiku U2 adalah legenda dan aku telah mengkoleksi , bisa dikatakan, semua lagu yang pernah dikeluarkan Mas Bono, The Edge, Adam Clayton dan Mas Mullen Jr ini.
Tapi aku butuh selain U2. Maka aku pun memutuskan untuk mengkoleksi DEWA. Pertimbanganku mudah, musik DEWA adalah musik jenius bikinan anak negeri sendiri yang menemaniku untuk belajar menjadi seorang yang pintar pula selama setidaknya 15 tahun belakangan ini. Aku seperti tak pernah bisa meninggalkan nyanyian ataupun senandung Cukup Siti Nurbaya, Kirana, Kangen, Satu Hati, Laskar Cinta dari waktu-waktu perjalananku.
Tak sampai dua bulan selanjutnya, semua keping CD album termasuk album kompilasi dan DVD konser mereka lengkap terkoleksi.
Wah, senangnya bukan kepalang! Kenikmatannya ketika membuka sampul, memindahkan isinya ke dalam iPod dan mendengarkannya menit demi menit sambil membaca sampul-sampul albumnya adalah sebuah kesenangan tak terhingga dibandingkan dengan menikmati Mp3 bajakan yang kita beli di lapak-lapak pinggiran jalan.
DEWA di tangan, berlanjutlah aku kemudian.
Aku mencari album Ahmad Dhani dan Dewi-Dewi. Mungkin kalian tertawa mendengar aku mengkoleksi yang kusebutkan belakangan.
No! Aku tak tercengang dengan ketiga dewi yang menggairahkan itu, tapi aku terkesiap dengan terobosan-terobosan Dhani yang tak pernah berhenti, menurutku.
Meski ia hidup ditengah polemik publik yang tak jarang menggunjingkan dirinya, tapi aku tetap memandang ia sebagai seniman besar yang pernah ada di Nusantara.
Sesudahnya aku pun mulai terbiasa untuk membeli CD asli kembali.
Perasaan ini aku syukuri karena kamu tahu hal yang paling susah itu bukan lagi ke soal mengeluarkan lembaran uang dari dompet kepada kasir tapi lebih ke mengubah persepsi dan cara pandang bahwa membajak dan tidak membajak itu dipisahkan sekat yang sangat tebal dan berbau :)
Dan ketika kamu mampu berpindah dari satu sisi ke satu sisi yang lain, sangat sulit untuk kembali ke sisi yang kamu tinggalkan sebelumnya.
Aku berpikir mengenai bagaimana beratnya seorang pencipta lagu dalam menangkap imaji-imaji yang ada di kepalanya untuk dituangkan menjadi sebuah lagu.
Belum lagi betapa beratnya sebuah band melewati sesi rekaman yang tak gampang. Teman dulu bercerita bahwa dia harus take vocal berulang-ulang kali demi mengejar target “enak didengar” di keping yang siap edar. Oleh karenanya, membeli CD asli itu bagiku benar-benar upaya untuk menghargai mereka yang telah bersusah payah untuk itu semua dengan susah payahku mengumpulkan uang. Dalam prinsip toleransi dan tepa-selira yang dulu sering diajarkan guru PMP di SD “kalau kamu nggak mau dicubit karena sakit, ya jangan mencubit orang lain”. Kalau mau bukuku atau software buatan kantorku tidak dibajak ya jangan membajak! Fair enough, huh ?!?
Aku juga berpikir bahwa dengan membeli CD asli, terbatas pada dana yang kukeluarkan, maka aku harus pintar-pintar mempertanggungjawabkan pilihanku, bukan ?
Dengan harga yang tidak bisa dibilang murah, aku harus menikmati betul CD itu. Aku tak boleh gusar hingga salah memilih pilihan.
Sekalinya aku salah maka akan banyak ekses yang muncul; uang terbuang sia-sia, rack CD yang memenuh, iPod yang smakin mengecil space kosongnya dan tentu maha tentu adalah gendang telinga yang bisa tergelitik mendengarkan CD-CD salah pilih dan… Ah No! Ya Tuhan, selamatkanlah aku dari rock-rock melayu yang mendayu-dayu itu tak keruan itu ….
Pemikiranku terakhir di dalam tulisanku yang panjang seperti biasanya ini adalah mengenai pertanggungjawaban kita terhadap nilai moral itu sendiri.
Ketika kamu membajak dan menyakiti hati serta kreasi para seniman, apa itu tidak lebih berat ketimbang kita mencuri uang milik Mama atau membohongi pasangan kita untuk selingkuh ? Padahal dua hal yang kusebut belakangan ini biasa betul-betul digarisbawahi dalam rambu-rambu moral dan agama.
Dan demi pelaksanaan moral yang tak stengah-stengah dan suam-suam kuku, kenapa kita tak mencoba memperbaiki diri dengan tidak menjadi pembajak ?
Ah, aku jadi ingat curhat seorang kawan yang tempo hari menjadi panitia sebuah acara keagamaan di kalanganku sendiri.
“Wah, kemarin hampir aja kacau Don! Si Itu lupa membawa CD lagu untuk bagian renungan padahal tinggal setengah jam lagi acaranya dimulai.”
“Oh ya?!? Trus-trus..?”
“Ya terus untung aja temen-temen kita itu sigap. Si Ini langsung ambil motor dan pergi ke Jalan Mataram sebentar.”
“Oh, ngapain ?”
“Beli CD lagunya, delapan ribu perak.”
“Wah hebat dong! Trus acaranya jalan ?”
“Iya. Untung aja si Ini beli CD meski katanya rada susah karena lagu-lagu agama kan jarang ada bajakannya.”
“Oh, jadi CD nya bajakan?”
“Ya iyalah. Delapan ribu gitu lowhhh”
“Weksss!”
Spontan aku pun membayangkan berapa banyak cotton bud yang dibutuhkan Tuhan untuk mengorek-korek telinganya karena kotoran-kotoran yang mendadak memenuhi liang karena mendengarkan lagu puji-pujian versi bajakan dari umatNya. Aha !
(tulisan ini dibeber-jleberkan sesaat setelah aku dengan nikmat membuka plastik CD U2 (18 – Singles) dan The Police (self Titled – Album).. ya tentu saja CD asli!)
Tulisan ini adalah salinan dari blog saya yang ada di friendster. Pernah dimuat di sana pada tanggal 6 September 2007
bagi – bagi lag udong mas & mbak
makasih
orang bijak tidak membajak…………!yes…yes
Yes yes juga :)
wah.. mantab koleksi! aku juga punya banyak lagu2 metal.
Kaset asli yang pertama ku beli adalah NAIF(lupa judul albumnya, pokoknya yang ada lagunya Mobil Balap). Waktu beli di cemooh, lagu apaan-musik apaan
NAIF musik keren! :) Kita rindu musik-musik seperti itu lagi ya :)