Oh My God, Aku kehilangan keseimbangan!

6 Mar 2014 | Cetusan

Pagi tadi cuaca panas sekali padahal menurut aturan, hari-hari ini sudah masuk musim gugur, matahari beranjak menuju ke bumi utara, meninggalkan lebih banyak gelap di sisi selatan sini.

Aku berjalan menyusuri trotoar sepanjang rumah menuju ke Epping Station tempat shuttle bus (bus jemputan) kantor menunggu untuk kemudian mengantarku ke kantor, bekerja.

Jarak tempuh sepanjang 2.4 km itu biasa kutempuh dalam waktu 15 – 20 menit. Cepat? Not bad lah! Aku memang menggunakan kesempatan itu sekaligus sebagai sarana untuk cardio training karena aku paling malas untuk menginjakkan kaki di atas threadmill atau mengayuh sepeda statis ataupun peralatan cardio training lainnya di gym.

Tapi resiko jalan cepat seperti itu memang harus menyalip banyak pejalan lain yang berkecepatan ‘sedang’. Untuk itu, ketimbang berkali-kali bilang ‘Excuse me please’ dan menurunkan kecepatan jalan sembari menunggu diberi jalan, aku memilih untuk ngalah jalan lewat rumput saat menyalip lalu masuk ke trotoar lagi sesudahnya.

Tapi tadi pagi agak berbeda.
Kira-kira 100 meter menjelang Gereja Katholik Epping atau sekitar 500 meter menuju ke Epping Station, ketika hendak menyalip dua orang nenek-nenek yang berjalan lambat di trotoar, tiba-tiba seorang diantaranya terhuyung hampir terjatuh. Aku sempat agak sedikit melambatkan tempo jalanku, berjaga-jaga kalau mereka butuh bantuanku entah itu untuk mengangkatnya kalau benar-benar terjatuh atau kalau harus memanggilkan mereka ambulance, misalnya.

Pada suatu hari nanti fisik kita akan melemah, rubuh, lumpuh lalu mati.

Ternyata concernku barusan tak menjadi kenyataan.
Sang nenek yang hampir terjatuh bisa kembali berjalan normal. “Oh My God! Aku kehilangan keseimbangan!” katanya tepat ketika aku hendak menyalipnya.

Di titik itu, aku tahu sebenarnya justru aku yang menerima bantuan darinya secara cuma-cuma karena apa yang terjadi barusan dan apa yang ia ucapkan adalah bahan permenungan yang kucerna secara baik nan panjang, jauh lebih panjang dari jalur jalanku pagi tadi dan membantuku menelisik hati sendiri, apakah aku pernah kehilangan keseimbangan juga?

Semua orang, pada satu titik akan berbicara sama, “Oh My God! Aku kehilangan keseimbangan!” Pada suatu hari nanti fisik kita akan melemah, rubuh, lumpuh lalu mati.

Bagiku, sang nenek yang terhuyung tadi belumlah mencapai titik itu, ia hanya tersadar bahwa tanda-tanda akan hal itu semakin dekat karena usianya yang kian uzur dan semakin seringnya ia nyaris atau bahkan benar-benar terjatuh!

Tapi pernahkah kita berteriak sama, ketika kita mengalami ketidakseimbangan spiritual?

Pernahkah kita setidaknya menggumam “Oh My God! Aku kehilangan keseimbangan!” saat menjelang orgasme/ejakulasi seksual kita raih bersama selingkuhan kita atau pekerja seks komersial yang kita beli jasanya semalam?

Atau,
Sesaat setelah kita menolak memberikan bantuan kepada seorang buta yang perlu dibantu menyeberang jalan dengan tergesa-gesa karena tuntutan ‘Meeting bareng klien nih! Mesti buru-buru!’ di coffeshop seberang?

Beberapa menit sebelum maju ke meja kasir ketika kita hendak membayar beberapa lembar pakaian ber-brand mahal yang sebenarnya lebih untuk memuja nafsu keduniawian kita?

Ketika kita menguntit uang hasil korupsi?

Ketika kita setuju terhadap anomali jaman yang tak sesuai dengan ajaran moral yang tertanam?

Dan ketika-ketika yang lainnya terjadi? Pernahkah kita berteriak “Oh My God! Aku kehilangan keseimbangan!”

Jangan-jangan sebenarnya kita tak butuh lagi keseimbangan karena memang kita telah terjerembab dan jatuh dan tak seorangpun kita beri ijin untuk mengangkat kita karena kita menikmati keterjerembaban ini?

Atau… atau lagi…
Jangan-jangan sebenarnya kita tak butuh lagi keseimbangan karena memang kita telah terjerembab dan jatuh dan tak seorangpun kita beri ijin untuk mengangkat kita karena kita menikmati keterjerembaban ini?

Dan kalau demikian, ini adalah saatnya untuk bangun!
Beruntung spiritual itu memiliki sifat yang berkebalikan dengan fisik. Ketika fisik semakin tua semakin lemah, spiritual adalah hal yang semakin lama justru bisa semakin mengembang karena kejadian demi kejadian yang boleh terjadi setiap hari sepanjang waktu. Jangan sampai justru ketika kita benar-benar lumpuh secara fisik dan tahu bahwa saat untuk mati sudah dekat, kita baru geragapan menyadari bahwa kita telah terlalu timpang jauh ke sisi yang tak usah membawa nama-nama Tuhan, tapi hati nurani kita tahu sebenarnya kita lebih condong ke sisi yang jahat.

Suara si nenek masih terdengar merdu ditingkahi suara burung yang bersliweran tak jauh di atas permukaan menyambut pagi.

Aku melewati gereja, banyak orang-orang berduyun-duyun ke dalamnya karena hari ini adalah hari Rabu Abu, awal masa pra paskah, masa pertobatan bagi umat Katholik.

Aku berhenti sejenak, mencari papan pengumuman dan membaca jadwal kapan misa penerimaan abu diadakan malam ini karena aku berpikir untuk mengikutinya sepulang kerja nanti. Sesaat setelah memotret jadwal itu menggunakan mobile phone supaya tak lupa, aku segera bergerak. Kulirik jam dan, “Oh My God!”

Aku hampir telat! Kurang dari dua menit lagi shuttle bus akan berangkat kecuali kalau aku mau menunggu untuk lima belas menit untuk bus selanjutnya?

Selamat pagi!

Sebarluaskan!

6 Komentar

  1. Hilang keseimbangan/goyah fisik/psikis adalah seni kehidupan. Selalu seimbang membuat hidup membosankan. Mereka2 yang dianggap masyarakat awam seimbang aja, tibaknya oleng meski tersamar.

    Coba bayangkan, ketika kita sudah mati, di alam sana diadakan reuni, orang2 pada cerita : aku ndlosor kesenggol jupe, aku oleng kesampluk dorce, njuk kowe rep crito opo?

    Balas
    • Aku arep crito nek aku wes tau dikomentari kowe wakakaka

      Balas
  2. Saya sedang mengembalikan keseimbangan dalam arti sebenarnya :)

    Balas
    • Semoga semuanya baik-baik saja, Man…

      Balas
  3. well, aku mulai slow down dalam arti sebenarnya.
    Dulu aku waktu masih berapi-api bekerja, aku selalu berpikir: “Ah orang tua, jangan keluar rumah waktu rush hour begini… bahaya…!” Dan berpikir mereka seharusnya duduk diam di rumah.
    Tapi sekarang, aku selalu kagum pada orang-orang tua yang selalu keluar rumah pada waktu tertentu, untuk menggerakkan badan, berbelanja secukupnya, menyapa anak-anak muda, menikmati hidup!
    Sebentar lagi aku akan seperti mereka :)

    slow down supaya jangan kehilangan keseimbangan yang tidak perlu. Dan seandainya pun terjadi, nikmati saja :)

    Balas
    • That’s it!
      Penyadaran bahwa semua akan melemah sebelum akhirnya berakhir…

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.