[OBITUARI] M. Adi Sunata

13 Jan 2023 | Cetusan

Aku kenal Muhammad Adi Sunata tepat di hari ulang tahunku ke 26, 20 Desember 2003. Waktu itu aku mengundang semua kawan-kawan blogger se-Jogja untuk datang kutraktir makan di sebuah angkringan di Jalan Kaliurang dan Adi datang diajak teman dekatku lainnya, Viktor Elvino.

“Blogger dia, Tor?” tanya pada Viktor, tentu berbisik.

“Bukan! Tapi putune Ajip Rosidi kuwi, Mas!” bisik Viktor balik. 

Aku cuma manggut-manggut saja. Ajip Rosidi adalah sastrawan besar Indonesia dan Adi memang beneran cucunya.

Adi Sunata
Adi Sunata

Adi ‘Anak Hukum’ UGM.
Perawakannya tinggi, sedikit lebih rendah dariku (ini penting untuk kunyatakan hahaha! Sorry, Di!)

Paras wajahnya bersih, berkacamata, selalu menebar senyum. Dari caranya bersosialisasi dan berkomunikasi aku bisa menakar Adi lahir dan tumbuh dalam keluarga yang sangat mengutamakan cinta dan kasih.

Oh ya, dari wajahnya, banyak kawan bilang bahwa Adi cocok jadi adikku. 

“Mirip?” tanyaku dan mereka mengangguk. Padahal sejujurnya, ketampanan Adi jauh di atasku! (Di, ini juga penting untuk kunyatakan karena nyatanya demikian!)

Jujurly, awalnya aku gak terlalu suka dengan Adi. Bagiku dia orang yang SKSD alias sok kenal sok dekat dan… sok seru! Tapi tak butuh waktu lama untuk membuktikan bahwa anggapanku terhadap Adi itu salah besar.

Thanks to JazzCo yang membuatku hampir tiap malam berinteraksi dengannya. DI warung kopi gaul yang terletak di bilangan Kotabaru Yogyakarta itu kami bertemu. Mengobrol dan mengupas apa saja mulai dari yang seru, serius sampai remeh-temeh bersama kawan-kawan lain seperti Viktor, Mas Iwan Pribadi, Donum ‘Ableh’ Theo dan banyak lagi.

Ketika JazzCo akhirnya tutup, interaksi kami tetap berlanjut di Jendelo Kafe, Jl Gejayan.

Makin hari aku makin merasa nyaman berkawan dengan Adi. Wawasannya bisa dibilang sangat luas… maklum, anak UGM!

Rasa nyamanku tak hanya disebabkan karena itu. Adi juga mahir memijat dan tak canggung untuk memijat kawan-kawannya, siapapun itu! 

Kawan-kawan bisa antri untuk dipijatnya.

Aku dipijat Adi di tahun 2007

Pernah suatu waktu di Jendelo Kafe dia tampak sangat kepayahan karena memijat banyak kawan lalu aku tiba-tiba datang dan bilang, “Aku kapan, Di?”

Dia tersenyum, melepas kacamata, mengelap wajah berkeringatnya dengan lengan lalu bilang, “Sik, lima menit yo.. aku tak nguyuh, nyruput kopiku sing wes adem bar kuwi kupijet!”

Pernah juga aku ketiduran ketika dipijatnya. 

Suatu kali aku juga melihat kawan lain ketiduran di kursi Jendelo Kafe karena dipijat. Uniknya, Adi nggak membangunkan atau menggoda supaya terusik tidurnya. Adi melanjutkan pijatan makin lama makin pelan lalu berjingkat meninggalkannya pelan-pelan supaya tidur kawannya tak terganggu! Sesopan itu! Seindah itu hati dan perangainya!

Awal tahun 2007 aku membuat situs web komunitas pendonor darah, Golongandarah.Net sebagai obat luka hati karena ditinggal pacar pergi, aku melibatkan Adi di dalamnya. Adi kuminta bantuannya untuk mengelola sisi hukum dari situs web itu.

Seingatku, aku tak sempat pamit kepadanya waktu pindah ke Sydney setahun sesudahnya. Meski demikian, jarak hanyalah jarak, hubungan dan interaksi terus berlanjut meski tentu saja dalam proporsi yang berbeda.

Ada beberapa poin penting dalam interaksiku dengan Adi selepas aku pindah ke Australia.

Pertama, awal dekade 2010-an.

Waktu itu aku pernah hampir dituntut seseorang yang menuduhku mempermalukan istrinya yang adalah kawan lamaku di sebuah grup WhatsApp. Awalnya tak kuanggap serius dan kupikir gertak sambal. Tapi ketika aku mengendus gelagat tak baik, langkah terbaikku adalah menghubungi Adi untuk kujadikan sebagai lawyer. Pikirku waktu itu, daripada dilaporkan, aku akan lebih dulu melaporkan karena aku pun punya bukti yang menarik untuk diajukan pada penegak hukum dan kupikir akan mampu menyudutkan pihak terkait. 

Ketika laporan yang kubuat ke polisi sudah hampir jadi, Adi mendadak menyaranku menempuh jalur damai saja. “Percuma, Pak. Opo tho sing mbok oyak?” Ya sudah…

Itu bukan yang pertama.
Pernah juga aku dihasut dianggap menjatuhkan nama seorang kawan. Jam tiga pagi aku menghubungi Adi dan seperti biasa dia menenangkanku, “Santai wae.. kubantu!” Kasus itu berlalu ketika aku dan kawanku berdamai dan yang menghasut berhasil kami usut.

Selanjutnya aku sering bertanya pada Adi terkait tulisan-tulisanku yang kerap kupublikasikan. Ada banyak tulisan yang tak jadi kupublikasikan karena setelah kutanyakan padanya, Adi berpendapat tulisan itu terlalu tajam menukik, “Rasah wae… !” ujarnya.

Kami sempat pula bertemu di Sate Senayan di Senayan FX pada Juli 2012 saat aku berlibur ke Indonesia. Waktu itu aku mengundang kawan-kawan blogger untuk kopdar dan lagi-lagi Adi datang padahal dia bukan blogger.

And you know, hal pertama yang dia lakukan ketika datang? Berdiri di belakangku lalu memijat punggung dan pundakku, Bukan pijit basa-basi tapi pijit serius yang menenangkan dan membikin nyaman.

Salah satu titik paling mengharukan dalam interaksiku dengan Adi adalah ketika ia sedang berkunjung ke Eropa lalu mampir melawat ke Roma serta Vatikan. Aku mengamati hal itu di laman Facebook-nya.

Adi adalah muslim tulen. 

Seperti kutulis di atas, Ajip Rosidi adalah kakeknya dan ayahnya adalah KH Ahmad Mustofa, pimpinan Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Tapi aku tahu benar bagaimana ia memandang iman dan mengelola interaksi dengan kawan yang tak seiman sepertiku.

Waktu itu, aku yang belum pernah ke Roma pun iseng menulis di kolom komentarnya, “Doakan aku ya, Di!” Vatikan adalah pusat Gereja Katolik sedunia.

Tak lama berselang ia membalas, “Doa baik itu selalu dikabulkan, Bro!”

Aku terharu, Su! 
Tak peduli bagaimana caranya berdoa tapi yang penting dia mendoakanku di sana!

Lama tak terdengar kabar darinya. Hanya sesekali aku menyapa dan yang terakhir adalah ketika ia menikah beberapa tahun lalu.

Tadi pagi sebuah kabar datang menyambar, Adi meninggal dunia!

Sedihku bukan kepalang!
Mataku sebak ketika merangkai titik-titik tulisan ini di atas bus saat berangkat kerja!

Adi, kowe adiku! Remuk atiku!
Ngaso’a kanthi tentrem! Seperti halnya ketika kamu ke Vatikan, doakanlah aku mulai dari sekarang dari sana ya…

Aku juga akan mendoakan dan terus mengenangmu sebagai orang yang secara fisik mungkin mirip denganku tapi hati dan budimu jauh melebihiku, di atasku!

Suk nek tugasku wes rampung kabeh, kita bertemu lagi di Jannah! Pijeti aku nanti seperti dulu ya…

Sebarluaskan!

5 Komentar

  1. ikut menanggung kesedihanmu Don, aku turut berduka cita sedalam-dalamnya. semoga Adi husnul khatimah, diampuni segala kesalahannya dan Allah memberikan tempat terbaik di Surga. 🙏

    Balas
  2. Dari obituarium ini saya berkesan almarhum adalah orang istimewa. Selama jalan, Ki Sanak. 🙏

    Balas
  3. 🥲 memang beliau bnr2 org baik. Sekalipun, sy blm prnh melihatnya “suram/suntuk” selalu full senyum . Ketika beliau membatalkan janji nongkrong atau merasa tidakannya mengecewakan orang lain (walaupun sepele-misalnya telat balas pesan) selalu disisipi kata2 “pangapuramu ya nduk “. Selalu. Tdk pernah tidak. Meninggal di hari baik, dimakamkan di hari yg baik pula. Slmt jalan mas Adi, surga tempatmu ✨

    Balas
  4. Betul almarhum memang pribadi yg sangat baik.. Tidak pernah tampak murung, selalu -happy-, sopan & tata kramanya luar biasa. Pintar & cerdas sudah pasti .. seringkali ikut nongkrong bareng teman2 adeknya..ketika almarhum tdk bisa hadir,selalu ada permintaan maaf “pangapuramu ya nduk” gak iso teko gabung, dan semacamnya. . Ramah dgn semua orang. Kenal maupun tdk kenal. Tdk heran pergaulannya sangat luas..slmt jalan mas Adi. Surga tempatmu..

    Balas
  5. Adi orangnya sangat mengesankan !

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.