[Obituari] Bu Kristin – Ajaran Jawa dan Kejawaan itu…

2 Jan 2021 | Cetusan

Beberapa hari yang lalu, Kristiningsih, S.Pd atau yang akrab kupanggil Bu Kristin, meninggal dunia.

Bu Kristin adalah guru mata pelajaran Bahasa Daerah (Jawa) dan wali kelasku di Kelas 1-C SMP Negeri 1 Kebumen tahun angkatan 1990/1991.

Bu Kristin, Guru Muda

Waktu itu Bu Kristin terbilang guru muda. Penampilannya pun lebih modern dibanding guru-guru lainnya. Tinggi tubuhnyarata-rata, badannya tak kurus tapi juga tak gemuk. Perawakannya tegap, rambut ikal sepundak, mata yang indah nan tajam, lipstik merah menyala dan paras yang bundar bak rembulan.

Foto dari Facebook Toni Pakpahan

Banyak temanku bilang Bu Kristin cantik. Bagiku ia menarik sebab daya tariknya bukan hanya dari wajah tapi juga kepribadian.

Kepribadian Bu Kristin memang menarik. Ia dekat dengan banyak siswa danbukan tipe guru killer meski suaranya cukup menggelegar ketika bicara. (kali ini, teman-temanku yang tadi bilang bahwa dia cantik berbisik kepadaku, “Suarane cempreng!” Ngapunten, Bu. Ingkang ngarani sanes kula lho hehehe…)

Mengampu mata pelajaran Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah di Kebumen menurutku bukanlah tugas yang mudah. Semoga sekarang berubah, tapi dulu, menempatkan Bahasa Jawa khas Solo – Jogja (orang Kebumen bilang itu sebagai Bahasa Jawa ‘bandhek’) bagiku adalah sebuah kesalahan sistematis. Kenapa? Karena Bahasa Jawa di Kebumen adalah Bahasa ‘ngapak’ khas Banyumasan yang sedikit banyak berbeda dari ‘Bandhek’. 

Tapi aku sebenarnya diuntungkan di sini.
Aku asli Klaten yang pindah ke Kebumen sejak 1984. Di rumah, Papa dan Mama yang nggak bisa ‘ngapak’ menggunakan Bahasa Jawa ‘bandhek’ denganku.

Jadi ketika tahun ajaran dimulai, aku termasuk salah sedikit dari murid yang ‘dihapal’ oleh Bu Kristin. Saat yang lain masih terpatah-patah untuk membaca teks berbahasa Jawa, aku sudah lanyah terbiasa!

Tapi kebadunganku membuat ‘honey moon period’ itu tak berumur panjang!

Kridha Basa

Semua berawal dari sebuah buku.
Buku pegangan yang ditetapkan untuk dipakai selama tahun ajaran adalah Kridha Basa. Semua materi ajar termasuk soal ulangan diambil dari buku terbitan Intan Pariwara Klaten tersebut. 

Sampul buku Kridha Basa

Suatu waktu, aku melihat di atas meja Bu Kristin, selain Kridha Basa terdapat juga buku dengan sampul agak mirip namun tidak sama tebalnya bertajuk Pandom Panuntun Kridha Basa. Aku penasaran buku apakah itu?

Berusaha mencari  di Toko Buku Varia, milik kawanku, Budiarjo, buku itu tak kutemukan. Aku tak hilang akal. Aku menelpon Eyang Putri yang waktu itu masih aktif bekerja sebagai editor di PT Intan Pariwara Klaten. (Eyang Putri sekarang berusia 90 tahun dan tinggal bersama Paklik dan Bulik di Salatiga).

Dari Eyang Putri, aku mendapat informasi bahwa buku itu berisi kunci jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku Kridha Basa.

Aku seperti mendapat ‘cahaya terang’. Segera sesudah telepon kututup, aku mencari-cari alasan supaya aku bisa mendapatkannya. Meminta langsung ke Eyang, bukan jalan keluar. Bisa jadi ia curiga lalu dia lapor ke Mama, ‘habislah riwayatku!’

Pandom Panuntun

Pada akhirnya aku mendapatkan buku itu di Toko Buku Siswa Muda, Jogja. Wah! Kalian nggak tahu bagaimana senang dan deg-degannya perasaanku ketika memegang buku itu! Barangkali nggak beda jauh dengan sensasiku memegang stensilan pertama kali hahaha…

Sampul buku Pandom Panuntun

Sejak saat itu, nilai ulangan Bahasa Jawaku selalu tinggi. Kadang karena sampai nggak enak hati untuk menjawab semua soal ulangan dengan benar maka supaya tampak alami, satu-dua soal kusengaja supaya tampak salah.

Tapi suatu waktu, aku gawal juga!
Pada saat Bu Kristin mengajar, aku lupa memasukkan buku Pandom Panuntun ke dalam tas. Matanya yang indah nan tajam itu menangkap sampul buku, ia datang lalu menghardikku.

“Darimana kamu mendapatkan buku ini?”

Aku sempat kaget tapi lantas menjawab, “Beli di Jogja, Bu.”

Ia lalu menyita buku itu. Aku sempat bertanya kenapa ia menyita karena aku membeli buku itu secara legal, “Apa salah saya, Bu?”

Tapi rupanya Bu Kristin tak kurang akal. Ia bilang, “Baik! Kalau begitu buku akan kukembalikan tapi kukirim ke orang tuamu. Boleh, kan?”

Wajahku pucat! 
Lidahku tercekat. 
Aku terdiam. 

Bu Kristin, dengan senyum tersungging meninggalkanku dalam kegamangan siang itu.

Percobaan Kedua

Beberapa bulan kemudian aku kembali membeli buku tersebut di Jogja. Kali itu aku tak membeli satu. Bukan untuk cadangan kalau-kalau disita tapi karena beberapa kawan lain ikut menitip juga hahaha.

Aku tak mau ketahuan dua kali. 
Sampul buku kulepaskan lalu isi buku Pandom Panuntun kumasukkan ke dalam buku tulis sehingga penampakan dari luar, buku itu ya seperti buku tulis biasa.

Saat ulangan Bahasa Jawa dilaksanakan, aku tak perlu gugup untuk memasukkan ke laci untuk mencontek. Tinggal kutaruh di atas meja lalu kubuka seperti halnya aku membuka buku tulis biasa.

Tapi sekali lagi aku ketahuan. Entah kuasa apa yang membisikkan hal itu ke Bu Kristin, tapi saat sedang berkeliling, tangannya tiba-tiba mengambil ‘buku tulis’ku tadi. Dengan wajah tenang tapi suara yang menggelegar ia pun marah kepadaku. “Kamu pintar tapi nggak bener lan ora pener kalo kayak gini!”

Aku diminta keluar dari kelas, nilaiku di-nol-kan di ulangan itu. Tak sampai itud saja, kedua orang tuaku dilapori kelakuanku dan aku diberi jatah konseling wajib ke guru BP/BK beberapa kali seingatku.

Bu Kristin, Sakit hingga meninggal dunia

Bulan Agustus 2019, sekitar 26 tahun setelah aku tak pernah lagi bertemu dengan Bu Kristin, Untari Setyowati, kawanku SD dan SMP mengabariku lewat Whatsapp bahwa Bu Kristin sedang sakit keras. Kami lantas mengumpulkan dana untuk meringankan sedikit beban finansialnya yang pasti tidak sedikit untuk mengongkosi pengobatan.

Foto dari Facebook Toni Pakpahan

Lalu akhir tahun 2020 silam, Budi, pemilik Toko Buku Varia yang kuceritakan di atas, dalam sebuah grup WhatsApp yang berisi kawan-kawan se-gank saat SMP dulu tiba-tiba mengabarkan bahwa Bu Kristin telah tiada.

Jawa dan Kejawaan

Aku sebenarnya tak merasa terlalu kehilangan mungkin karena sudah sekian lama aku tidak bertemu dengan Bu Kristin. Tapi malam harinya, saat sedang menikmati streaming Wayang Kulit di Ki Seno Nugroho Youtube Channel, tiba-tiba aku ingat beliau.

Pagi harinya saat hendak mengenakan blangkon khas Jogja untuk membuat video materi Baik.TV, aku kembali ingat Bu Kristin.

Saat kemudian aku berkaca di kamar setelah mandi, melihat wajah dan tubuhku sendiri… aku kembali mengingat Bu Kristin semata karena aku ini seorang Jawa dan selamanya akan tetap Jawa… dan Bu Kristin pernah mengajar Bahasa Jawa, bahasa yang dituturkan oleh leluhur dan orang tuaku yang kini juga sudah tiada.

Bu Kristin, 
selamat beristirahat dalam Cahaya Kristus nan abadi. 

Salam untuk Papa dan Mama saya. Mohon maaf kalau dulu sempat membuat Ibu jengkel tapi aku yakin kejengkelan itu karena Ibu nggak mau saya jadi orang Jawa yang mengenal kejawaan hanya melalui nilai-nilai pelajaran yang tinggi saja. Ajaran Jawa dan kejawaan itu sangat luhur lebih dari sekadar angka!

Wilujeng tindak, Suwargi Langgeng, Bu Kristin!

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.