Nyanyian Keroncong Selokan …

21 Mei 2008 | Cetusan

BBM
Aku sudah tak mencoba menyalahkan pemerintah yang sepertinya hampir pasti dan tinggal menunggu waktu saja untuk menaikkan BBM.
Bukannya kenapa-kenapa tapi bukankah tak ada lagi yang bisa menghalangi mereka?
Tapi yang bikin agak “dredheg” justru ungkapan Tuan, bahwa kenaikan BBM tidak akan menambah orang miskin.
Piye? Ada yang masih percaya dengannya, Si Tuan ?

Kalau cuma BBM nya saja dan dengan catatan dana bantuan bisa sampai ke tujuan yang tepat dan cepat, mungkin memang tidak akan ada orang yang tambah miskin.
Tapi kalau harga sembako saja sudah pada naik duluan sebelum BBM betul-betul dinaikkan seperti sekarang ini, i think you should take your words back, Tuan…

Ingat, esensinya bukan pada kenaikan BBM yang sudah kumahfumkan kenaikannya, tapi kali ini menyangkut kenyataan dan pernyataan yang terkadang jauh panggang dari api!
Lagipula ini bukan soal main-main angka saja. Ini soal perut yang semangkin memainkan nada-nada sumbang keroncongan.
Bukan Keroncong Moresko ataupun Stambul Kemayoran tapi keroncong selokan karena dinyanyikan mulut-mulut berbau got karena lapar dan lama terbungkam.

Atau Tuan mau mendengarkan barang sebentar ?
Mau lagu apa, Tuan ?

Bagaimana kalau Darah Juang saja ? Lagu yang pernah begitu membakar semangat kami sepuluh tahunan lalu!
Di lapangan, dulu klas kami memekikkan syair-liriknya dengan seksama.
Begini Tuan, dengarkan!


Disini negri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur tuan…
Dinegri permai ini
Berjuta Rakyat dirampas haknya
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja…
Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat…
Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami pada mu kami berjanji…

Sudahlah Tuan…
Kalau mau dinaikkan ya dinaikkan saja tak perlu lah berbicara hal-hal yang justru semangkin menyudutkan dan mengiris-iris hati kami ini.
Ikhlas nggak ikhlas, kami hanya bisa patuh dan nrimo kok…

Nrimo pada keadaan bahwa beban hidup memang semangkin berat…
Nrimo pada kenyataan bahwa hidup yang berat ini ya mesti dilalui hingga tuntas, hingga tandas jatah usia kami.

Selamat memerintah kembali dan tutuplah hidungmu karena kami, keroncong-ers selokan ini akan melanjutkan bernyanyi lagi.
Semoga tidak semangkin sumbang dan indah untuk diperdengarkan.

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Mari kita putar lagunya…

    Balas
  2. iya gw jg ga ngerti maksudnya tuh… secara kantin di ktr gw yg dulu murah meriah aja udh naik gmn ga bikin tambah miskin pekerja2 yg gajinya minim….indonesia….indonesiaa…

    Balas
  3. Itulah!
    Kadang aku berpikir kenapa mereka itu sukanya hanya berkutat dengan angka dan tidak melihat di lapangan bahwa definisi miskin dari dulu itu ya ndak berubah: perut lapar, mata nanar, hanya berpikir hari ini bisa makan apa!

    Balas
  4. Oh, tidak kawan. Definisi miskin kini sudah bergeser dan berubah: miskin hati! ;)

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.