Saat peringatan empat tahun gempa Jogja, 27 Mei 2010 yang lalu, dalam sebuah makan siang, aku terlibat dalam percakapan yang cukup berbobot dengan teman buleku, Mr Klombren, tentang “Kenapa kamu dulu menyumbang korban Gempa Jogja?”
“Oh, jadi kamu dulu ikutan nyumbang tho, mBren?” tanyaku padanya.
“Iya…”
“Hmmm… Kok bisa? Kenapa kamu nyumbang?” tanyaku.
“Oh….pertanyaanmu kok aneh tho? Kenapa aku nyumbang ya karena mereka memang layak disumbang!”
matanya jenaka mempermainku yang lalu larut dalam lamunan tentang ucapan terakhirnya.
Jadi, menurut Mr Klombren, dia nyumbang karena mereka, para korban gempa itu, layak untuk diberi sumbangan.
Berarti ia terketuk melihat betapa nun jauh di sebelah utara Australia, di tanah Jawa sana, ada orang yang butuh dibantu, butuh disumbang, lantas ia memberikan apa yang bisa diberikan olehnya, gumamku.
“Lha, tapi kenapa kamu berpikir bahwa mereka memang layak disumbang, mBren?”
“Ah, mbuhlah, Don! Siang-siang gini kok kamu ngajak omong serius banget tho?” balasnya sambil terus menikmati sandwich yang digenggamnya erat.
“Come on…. kan ini lunch break kita makanya aku bisa tanya-tanya ke kamu!” jawabku.
“Halah, justru itu… harusnya rileks…” sergahnya, membalas.
“Pleaseee… satu pertanyaan lagi… Hmmmm… ada motivasi lain untuk menyumbang selain yang kau sebut barusan?” desakku. Ia hanya menggeleng kepala, mulutnya penuh gigitan sandwich dan aneka macam saus yang dhleweran menghias di brewok pirangnya.
“Hmm.. alasan religius mungkin?”
Ia menggeleng kepala lagi. “No.. absolutely no!”
“Ah yang benar? Barangkali kamu berbuat baik supaya ketika mati nanti kamu masuk surga?”
Dan meledaklah tawanya, beberapa remah sandwich jatuh ke meja tempat kami makan dan ia tetap melanjutkan tawanya.
“No mate… hahahaha… kamu lucu sekali… listen, waktu aku mati nanti aku akan dijemput pesawat StarTrek dan pergi bersama mereka melanglang buana…” Dan kamipun tergelak meski tanda tanya masih tetap terus menggantung di pikiranku.
Aku masih terus bertanya bagaimana mungkin seorang Klombren yang tak percaya surga, neraka dan agama (meski ia pernah berbisik padaku, “Don’t tell anyone, i believe in God!“) mau menyumbang tanpa motivasi mendasar selain “Mereka memang layak disumbang?”
Haruskah aku percaya kepadanya???
Bagiku, tak ada yang lebih dalam dari alasan terdalam selain kita melakukannya demi keselamatan kita di kehidupan akhirat nanti. Perbanyak amal, perbanyak menyumbang, perbanyak peduli kepada orang lain yang membutuhkan supaya kita mendapatkan tempat yang indah di surga kelak, begitu kata guru-guru agamaku dulu.
Tapi, ketika para guru agamaku itu tak ada lagi di sekitarku, kini aku berhadapan dengan Klombren yang membuat pandanganku terhadap apa itu amal, apa itu sumbangan dan apa itu motivasi untuk berbuat baik menjadi bengkok.. melengkung!
Lalu aku menemukan secercah jawaban yang tak dinyana-nyana ketika kami pulang dari tempat makan.
“Look! Indahnya hari ini… aku suka cuaca hari ini, Don… langit biru, hawa segar… lovely day!” ujar Klombren.
Aku hanya meng-hmmmm.. pikiranku masih terus berputar-putar.
“Waktu gempa empat tahun lalu, cuaca di Jogja apa sebagus ini?” tanya Klombren lagi sambil merentangkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri seperti anak kecil.
Aku terkesiap “Ah… nggak… jauh dari seperti ini.. semua tampak runyam, ada begitu banyak awan menggelantung di langit seperti tanda kesedihan, Mbren…”
“Hmmmm… betapa bersyukurnya aku!”
Aha! “mBren… say again please..”
“Apa? Say what? Oh… hmm Betapa bersyukurnya aku!… Itu? Kalimat itu? Kenapa memangnya?”
“Gotcha!” teriakku.
“Ya… aku sekarang tahu kenapa kamu menyumbang mereka, mBren!” ujarku berapi-api.
“Kenapa? Kan aku udah bilang.. mereka layak dibantu!” Klombren semakin kebingungan.
“No… lebih dari itu, kamu mau menyumbang mereka karena kamu bersyukur atas apa yang kamu dapatkan dan tidak mereka dapatkan!”
Klombren mengernyitkan dahi. Kami menghentikan langkah dan dia memandangku dengan penuh keheranan.
“Kamu aneh, Donny! Soal bersyukur harusnya tak perlu kusebut dalam list motivasiku kamu sudah tahu. Dasar segala dasar kenapa aku menyumbang ya karena aku bersyukur atas apa yang kudapatkan dari The Big Guy… hmmm up there!” ujarnya menunjuk langit.
Dan, seribu topan badai… aku seperti tertampar ribuan kali banyaknya!
Aku telah kalah ‘set’ oleh seorang Klombren yang barangkali sudah lupa kapan terakhir pergi ke gereja dan kapan pula ia terakhir berdoa jika definisi doa adalah seperti apa yang tertuang dalam ajaran-ajaran lawas kitab suci para agama.
Klombren yang begitu polos dalam berketuhanan dan berkeyakinan telah memberiku pelajaran bahwa memang hanya dengan menjadi polos lagi tulus maka aku bisa memberikan ‘yang terbaik’ tanpa embel-embel apapun. Sedangkan aku… aku terbukti telah larut dalam samudra egoisme tanpa kusadar. Termasuk pula mengkaramkan harta karun yang berupa ruang kecil dan bernama nurani ke palung samudra itu, dalam-dalam.
Sejak saat itu aku tak yakin masih memiliki nurani yang tak terkontaminasi dengan segala ke-aku-anku. Terlebih setelah kurefleksikan ke belakang, kusadar betapa banyak kata-kata “pahala”, “amal” dan “surga” sebagai embel-embel pada setiap sumbangan yang telah kuberikan kepada sesama.
Oh, Tuhan, maafkan aku!
Arghhh… aku lagi.. aku lagi!
Sering kita temukan logika yang terbalik , Om Don, orang yang yang kita tahu kurang rajin beribadah justru berbuat tanpa ada pamrih, tapi sebaliknya orang yang sering beribadah justru berbuat memiliki pamrih. Tanpa pamrih karena mereka (ternyata) mengerti bahwa “berkat” telah diterimanya terlebih dahulu, apalagi kalau tak terus bersyukur saja pada Sang Pemberi Berkat.
Apalagi jika rasa syukur itu diwujudkan juga dalam kerja, tentu akan sangat bermanfaat bagi banyak orang. Selamat Om Don, karena kapal nurani tentu tak karam lagi. Tuhan memberkati.
Salam kekerabatan.
Benar Om, ironis memang.
Tapi justru tantangan bagi orang yang beragama untuk lebih baik hidupnya.
Saya berpikir positif justru dengan ber agama, godaan smakin besar dan itu berarti kita berada di jalan yang benar…:))
Tuhan berkati!
orang yang berkeyakinan seperti Mr Klombren dalam hal memberikan sumbangan termasuk langka, mas don. umumnya menyumbang kan punya pamrih agar mendapatkan balasan kebaikan atau imbalan yang lebih layak lainnya. hmm … saya kok salut banget sama pendirian Mr Klombren itu.
Betul, Pak Sawali…
Nice story. Ada ya orang tulus begitu haha. Walau aku percaya nggak ada orang yang bener2 tanpa pamrih seperti yang ku tulis beberapa waktu lalu :lol:
Ada ya orang yang begitu. Pola hidup yang berTuhan tetapi tidak beragama — nggak heran sih, kadang kita juga belajar dari mereka yang ateis sekalipun.
Orang yang nggak percaya tidak ada nya pamrih berarti orang slalu pamrih selamanya :)
Aku selalu heran jika bertemu orang yang tidak percaya kepada adanya Tuhan, yang ateis. Nggak masuk aja di akalku. Bukankah agama dan Tuhan adalah sumber kebaikan? Dari mana orang bisa baik kalau tidak mengenal agama dan Tuhan? Tapi ternyata, orang yang tidak mengenal Tuhan (atau malu mengakui kalau ia percaya adanya Tuhan, seperti Mr. Klombreng cuma mau mengakuinya dg bisik-bisik ke telinga DV), bisa berbuat lebih baik bahkan dibanding orang yang percaya Tuhan dan tahu ajaran agama. Jadi, dari mana kebaikan dalam dirinya itu berasal?
Membaca tulisanmu yang berkaitan dengan konsep keTuhanan selalu menarik Don …..
maaf, bu ikutan nimbrung saja :)
mungkin mr klombren ini tidak bisa dikategorikan ateis.
banyak sebenarnya yang ‘kelihatan’ ateis itu percaya kepada Tuhan dalam nuraninya, tetapi kemanusiaan mereka MENOLAK agar Tuhan berkuasa penuh di dalam hidupnya.
contoh sederhana adalah keluarga saya sendiri. ayah saya alergi dengar hukum-hukum agama, tetapi kalau sudah yang namanya dosa, dia juga takut. secara tak sadar, beliau juga pernah mengatakan, kalau ada apa2, ya berdoa sama Tuhan. satu kalimat yang sebenarnya membuat saya terkejut waktu itu.
sayangnya kemanusiaan/keegoannya terlalu besar, sehingga mengenal Tuhan secara mendalam bukan kemauan mereka. alhasil walaupun mereka tidak berbuat jahat, tetapi dari kepribadian mereka biasanya ada yang tidak sama dengan mereka yang mengenal Allah. Misalnya, kalau kita marah kita masih mencoba mengendalikan diri karena ingat Tuhan. Kalau tipe manusia yang saya sebut tadi, tidak akan pernah berpikir begitu. Marah ya marah saja, maki ya maki saja.
Karakter orang yang seperti ini tahu Tuhan, percaya juga sama Tuhan, tapi kosong hatinya karena tidak mengizinkan Tuhan berada di hati. Mereka tahu kebaikan, mereka jelas bisa melakukannya, tetapi mereka juga tidak bisa mengendalikan kejahatan sifat dalam diri mereka. Banyak orang seperti ini di belahan dunia manapun.
Bagi saya istilah ateis itu sebenarnya sangat ambigu. Mungkin hanya untuk mempermudah orang agar mengelompokkan orang2 yang mengatakan tidak mau beragama (bukan ber-Tuhan). Karena sejatinya dalam nurani kita kalau mau diselidiki, ada sisi keateisnya. Itulah manusia, syukurlah kita ber-Tuhan sehingga sisi ateis kita mati. Tapi kadang masih muncul kan kalau kita bimbang, ragu, emosi, kerap orang yang ber-Tuhan pun sering bertanya : Tuhan sebenarnya ada gak sih, Tuhan dengar gak sih… Di kala itulah sadar tanpa sadar kita sebenarnya punya keraguan tentang keberadaan Tuhan dan mengarah keateisan, dan yang dapat mengatasi itu, kembali lagi : menebalkan iman.
maaf ya jadi panjang. itu sekilas pandangan saja tentang keambiguan istilah ateis :)
Selain dijawab Femi, aku coba menanggapi Bu Tuti :)
Menurutku, Klombren dan jutaan orang lainnya tidak bisa dikategorikan ateis karena ia melakukan hal2 yang mencerminkan ketuhanan.
Bu, saya percaya bahwa kuasa mulut itu jauh lebih kecil ketimbang ketuhanan itu sendiri. Dalam contoh yang paling sempit barangkali demikian, ketika kita lihat ada artis berbuat bejat tapi tetap mengagung-agungkan Tuhan sbagai topeng.. disitu kuasa mulut tampak begitu pongah.. begitu juga dengan kasus Klombren… ketika dia telah berbuat dengann tangan kaki hati dan pikiran yang terbaik bagi sesama, ia tak bisa menjabarkannya dari mulut tentang Tuhan yang memimpin setiap perbuatannnya… di sisi ini, aku bilang betapa kecil kuasa mulut :)
wah,. percakapannya emang bener berbobot. Jadi keinget lagunya Krisye yang surga dan neraka itu. :lol:
Ya! Saya waktu men-draft tulisan ini tiba2 inget lagu Chrisye, tapi pas publish tulisan ini tiba2 lupa.. makasih Anda mengingatkan.. lagu itu memang bagus sekali
Kalau aku, Don…. aku termasuk orang yang menyumbang karena rasa syukur atas nikmat yang diberikan TUhan padaku. Tidak terpikir olehku harus mendapatkan pahala atau balasan, karena yang penting adalah hatiku bilang aku harus bantu mereka, dan hatiku juga bilang bahwa itu ikhlas. Itu saja. Aku yakin The Big Guy tahu betul karakter setiap umatnya. :O
Zee, kamu berada dalam kelompok orang yang istimewa!
Sangat sedikit orang yang mampu menyisihkan pamrihnya seperti itu… Semoga Tuhan selalu melanjutkan niatmu
nice sharing Don.. thx u
*saatnya merenung…rekoleksi, retreat…bagaimana dg aku??? a big question*
Sama2..:)
wakakkakakaa aku meng melu ngakak don…..wakaaakaaaaaa mumet yoo….padahal kabeh ki simple eeeee………kono nonton wayang ae…seng cetho moto…..wakakaaa
midhangetaken, Mbah :)
kenaaaa deh hehehe…
memang banyak don yang masih suka terkontaminasi dengan upahmu besar di surga, don hehehe…
padahal kita bekerja dan berlaku sepantasnya memang bukan berorientasi pada upah, passs seperti yang si mr klombren ngomong : memang sudah DASAR, gak usah dibahas hahaha…
eh aku share ya bro :) buat besok
this is berry nice article :)
Makasih, Fem
Awal dari ide menulis ini memang karena aku juga merasa ‘kena’ dengan pikiranku sendiri hehehe
Memberi karena bersyukur atau karena mencintai memberikan kekuatan untuk melakukan itu tanpa pamrih.
Ketika seseorang merasa dicintai Tuhan dan olehnya menimbulkan cinta yang teramat dalam akan mempunyai dorongan kuat untuk memberi tanpa pamrih.
Tulisanmu ini melengkapi seri belajar yang sedang aku ikuti di Gereja, Don!
Komentarmu juga melengkapi tulisanku.
Ada reverse logic yang kutangkap dari komentarmu dan ini menarik “karena dicintai Tuhan maka…”
Thanks!
Saya jadi teringat waktu disuruh kursus bahasa rusia singkat dengan native teacher dari sono, dia bilang kalo orang rusia melakukan sesuatu harus ada reasonnya, sampai ke senyum pun kalo tidak ada reasonnya mereka akan bertanya sperti”kenapa saya harus senyum untuk kondisi seperti ini”. nah kayaknya kamu udah mirip orang rusia don..haaa…kalo buat saya alasan umum orang bantu adalah karena dia mau dan punya uang untuk itu…
Aku bangga mirip dengan orang Rusia.. semua memang harus disentuh dengan logika, senjata maksimum kita.. Perkara kita berhasil atau gagal dan ekses dari kegagalan/keberhasilan itu.. itulah yang akan membedakan aku ‘Rusia’ atau tidak hehehe
Don, indah sekali percakapanmu dengan Klombren.
Jadi ingat masa-masa kecilku, lingkungan sekitarku menyebut “Gusti Allah, sing nggawe Urip” nggak peduli kepercayaannya apa.
Justru setelah saya mahasiswa, saya sering jadi bingung, seolah terkotak-kotak, apalagi kadang malah membingungkan. Ungkapan Klombren yang sederhana, menyumbang karena mereka layak disumbang, sebetulnya berarti luas Don. Dan betapa dia mensyukuri langit biru yang cerah…dan percaya di atas sana…percaya sama sing gawe urip.
Saya suka flashback Bu Eni ke belakang..
Saya masih inget tetangga saya dulu yang jumat ke masjid dan minggu ke gereja.. baginya agama tak terlalu penting, tapi Tuhan yg terpenting :)
MENOHOK! gubrak, mati!
Hehehe..:)
well… mungkin dia malu utk mengatakannya langsung. Tuhan tidak pernah menutup mata atas segala niat baik ya kan? dan pasti ada kredit utk itu di hadapanNya ;)
Nah.. kredit? pamrih dong :) Kalo nggak dikasi kredit tetep mau bantu ngga?
hi! lam kenal.
numpang koment ya hehehe
Well,sangat sederhana ya? kata-kata syukur sering kita dengar setiap hari.
Tapi hanya segelintir orang yang memang benar2 mengerti artinya.
Jika sudah seperti itu, apa yang dilakukan pastilah tanpa pamrih. Semoga kita belajar dari temanmu itu:)
Hi, lam kenal juga.:)
Kita memang dituntut untuk bisa belajar dari siapapun termasuk teman kita
dan orang yg benar2 bersyukur tidak perlu berulang kali menyebutkan bersyukur untuk diri sendiri mas. Jika ada yang sering mengucapkan syukur itu artinya dia harus mengingatkan diri sendiri untuk selalu bersyukur. jadi kamu bisa menarik kesimpulan dari apa yg aku utarakan diatas :D
Makasih :)
Pepatah ‘Don’t judge a book by its cover’ memang berlaku ya… :p
Betul, Chan hehehe pakabar Bu?
yups…dalam hal kepedulian pada sesama, sepertinya kita memang harus belajar untuk melupakan doktrin n persoalan2 eksistensial lainnya
dan itu susahnya.. dan itu tantangannya hehehe
he-e yo, mas..bener Lek Klombren kuwi yo..kalo memberi sesuatu pada oranglain memang harusnya alasannya adalah untuk orang yang diberi itu, bukan untuk orang yang memberi…jadine memberi sesuatu itu memang tulus, ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa, selain kebaikan untuk orang yang diberi…
Koyo lagu jaman awake dewe cilik kae “Hanya memberi tak harap kembali..” tur nek dianalogikan ke penjual warung yo rugi bandar hahahhaa
Suatu pemahaman spiritual yang sangat dalam…
Salam kenal
Makasih, Mas Komunitas :)
[Soal bersyukur harusnya tak perlu kusebut dalam list motivasiku kamu sudah tahu]
Something that must be left unsaid…. aku jadi sedikit berpikir dengan para politisi di Indonesia. Mereka gila publikasi beragam cara diungkapkan untuk menunjukan ituh.
Satu pelajaran penting lagi yang kudapat dari blog mas DV ini .. thanks :)
Sama-sama, Mas Arham..
Saya juga banyak belajar dari social media evangelist muda seperti Anda :)
Salam metal buat buat Kombren yah Mas hehehe.
Betul Mas, kita memang harus selalu ingat bahwa di dalam harta yang kita dapatkan tersimpan hak orang lain di dalamnya. So, jangan lupa berderma :-)
Btw tengkiu dah mampir ke blog gw. Hihihi ampe deg2an dapet kunjungan dari Aussie
Hahahaha, saya yang minta maaf baru bisa komen karena salah URL.
Saran saya, waktu ngisi komen di blog ini, pada bagian URL dibenerin Mbak, jangan blogpot tapi blogspot so banyak traffic yang akan datang ke blog Anda dari sini karena teman2 akan mengklik URL yang benar….
wah saya telat baca tulisan ini.
tapi bener-bener menginspirasi mas.
“mereka layak disumbang”, dan “bersyukur atas apa yang didapat yang tidak didapat oleh mereka”.
errrggh! aku lagi juga mas! aku juga!
Makasih, Mas….
tidak ada yang terlambat di dunia blog… semua bisa dicari hehehe
so inspiratif..TFS ya mas..
Visit me jg ya my page
wah saya tercerahkan.. selama ini sering kali kita membagi untuk sesama dengan embel2 surga, amal, pahala..
Klombren benar2 memberikan pemikiran dari sudut pandang yg berbeda..
tulisan yg sederhana namun mudah dicernah..