oleh Venus*
“Wow, you look the same. You’re the same little girl I knew.”
“You look twenty years older.”
“Hahaha..sialan.”
Namanya, sebut saja Danny. Pertama kali bertemu di Surabaya, delapan belas tahun yang lalu. Kawan dari kawan dari kawan saya. Kami berdua sempat jadi teman dekat selama beberapa waktu.
Teman dekat?
Yup. Saya lebih suka menyebut dia teman dekat, karena memang tidak pernah terlontar kalimat ‘I love you’ dari mulut kami berdua. We hung out, we kissed, we had great times together. Tapi ‘I love you’?
The thing is, security has always been my issue. Sekarang sih udah mendingan. Tapi dulu, fakta bahwa dia bule, pengusaha yang lumayan berhasil di bidangnya, plus gantengnya sungguh semena-mena, membuat saya belum apa-apa udah minder duluan.
I went out with him, alright. And yes, I liked him, a lot. Tapi dia, saat itu, terasa begitu jauh dari jangkauan. He’s so out of my league. Karena itu, saya (juga dia) membiarkan kedekatan kami berjalan sangat apa adanya. Tanpa komitmen, tanpa ekspektasi apa pun.
Suatu malam, saya masih ingat betul, semua berakhir karena satu hal kecil dan bodoh yang dia lakukan. We yelled at each other, in public, then he walked away in anger. I let him go, in anger.
Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan oknum ini lagi, si sebut-saja-namanya-Danny ini. Pekerjaan saya membuat saya mau tak mau harus rajin mencari ini dan itu, browse ini itu; semua hal yang berhubungan dengan klien-klien saya, berita tentang mereka, situs-situs kompetitor klien-klien ini, dan sebagainya dan sebagainya.
Lalu muncul satu nama yang membuat saya penasaran. Di Linked.in, di twitter, di mana-mana. Alamat website yang tercantum di bio-nya bukanlah nama perusahaan yang saya ingat.? I tried to connect the dots.
Beberapa hari setelah saya mengirim email yang hanya berisi pertanyaan “just wondering, is this Danny who once lived in Surabaya? If so, this is blablabla..”, dia datang jauh-jauh dari negerinya, ke Jakarta. Saya ingin menghindar, karena merasa tak siap memulai sesuatu. Saya takut untuk memulai sesuatu. But he insisted, meminta dengan sangat supaya saya mau menemui dia, dan saya menyerah.
Dia masih Danny yang dulu. Masih sangat lancar berbahasa Indonesia, masih suka makan nasi padang, yang menurut dia “harus ada sambel ijonya, makannya harus pake tangan, gak enak kalo pake sendok”, masih gak suka Bir Bintang, yang justru minuman favorit saya sepanjang masa.
“Eww, girl. Kamu gak sakit kepala minum itu?”
So dear Danny, I don’t know why you came and tried to walk into my life again. But I’m glad you did.
nice story…. suka dengan alur ceritanya… dituturkan dengan baik
makasih :)
not a love story, but it will …. someday :D *perhaps*
hahaha.. that, I really dont know :D
cinta laaaaaaaaaamaaaaaaaaaaaaa
Will it be ended with I love you? ;) Si Danny ini pasti beneran ganteng sampe bisa jadi materi tulisan blog :p Salam kenal Mba
ehehehe ganteng pol2an :p
Like this story, real story, isnt it..?
Tanpa komitmen, bingung juga yakkk *feel awry* #sama :P
it is. ya tanpa komitmen lah, namanya juga bukan kisah cinta :D
waw, clbk. hihihi :D
dibilangin bukan kisah cinta kok ngeyel toh masnyaaa :p
simbok dgn segala cerita didalamnya ^_^ … always love how you tell the stories mbok :)
nuwun didut :D
Ihh co cweet banget Mbok :D
Suka banget gaya ceritanya Mbok
ah gak manis juga kok. tapi jg gak pahit. biasa aja. it happens, rite? :)
Venus, cerita yang manis…bukankah kadang kita punya pertemanan seperti ini dalam kehidupan sehari-hari?
indeed, bu. indeed :)
Mbok, ketemuan, yuuuk! Kita cerita-cerita :’D Anyway, aku senang kalau kamu bahagia :’) *peluk*
awwwww so sweet :)