Nilai uang

28 Feb 2011 | Cetusan

Beberapa waktu silam, temanku, sesama Indonesian yang sekarang tinggal di Kanada, menceritakan kepadaku via YM tentang bagaimana ia selama perjalanan karirnya hingga sekarang menilai nilai uang gaji dan impiannya.

Demikian yang bisa kurangkum dari ceritanya,
22 tahun silam, ketika masih kuliah di salah satu universitas negeri terkemuka di Yogyakarta, ia ‘nyambi’ bekerja sebagai asisten sebuah mata kuliah terkait bidang matematika dan bergaji 75 ribu sebulan. Dengan gaji ‘sebesar’ itu ia menganggap bahwa gaji 1 juta rupiah adalah sesuatu yang sangat besar!
1 tahun sesudahnya, ia memberanikan diri bekerja sebagai guru les matematika tingkat SMP/SMA di sebuah lembaga pendidikan terkemuka di kotanya. Untuk itu ia digaji 150 ribu sebulan dan pada saat itu ia menganggap gaji 1 juta rupiah masih sesuatu yang didambakannya!
20 tahun silam, masih merasa tak cukup dengan uang yang ia dapatkan, ia lantas mencoba mengadu nasib sebagai penyiar radio. Kebetulan dia memang memiliki suara empuk nan menggemaskan. Aku tak tahu berapa hitungan gaji per jamnya, tapi dalam sebulan, ia digaji 200 ribu sebulan dan pada saat itu, gaji 1 juta rupiah tetap dan tetap menjadi impiannya.
19 tahun silam, temanku tadi rupanya pandai membaca situasi. Ketika bisnis master of ceremony (MC) menggejala, ia lantas melebarkan sayapnya tak hanya bersiar di media udara tapi juga dalam acara-acara hajatan manten hingga khitanan, ia menjajakan diri sebagai MC. “Alhamdulilah, Don.. waktu itu bisa dapet 40 ribu sekali acara!”

“…atau memang rasa tidak puas yang akhirnya membuat kita merasa terlecut untuk memperbaiki kemampuan bekerja kita…”

2 tahun sesudahnya, barangkali karena ordernya membanjir, ia lantas melepaskan pekerjaan sebagai guru les Matematika dan membangun usaha sebagai MC profesional. Untuk itu ia mempekerjakan banyak teman-temannya sebagai pembantu administrasinya. Yah, namanya juga awalan, ia lantas menggaji dirinya sendiri sebesar 250 ribu rupiah saja, sebuah kemunduran kalau dilihat dari nilai uang, tapi ia percaya bahwa satu kemajuan harus diawali dengan prihatin dan ini ia anggap sebagai prihatinnya.
Tak terasa tiga tahun bisnis itu berjalan begitu mulus, temanku tadi lantas merasa berada pada titik jenuh lalu berbekal tabungan dan usaha yang telah berjalan mulus, ia memutuskan untuk merantau ke luar negeri untuk memperdalam ilmu MC-nya. Kanada adalah tujuannya. Pada titik itu, angka 1 juta rupiah bukan lagi impiannya…
Hidup sebagai mahasiswa perantau, ia nyaris ‘kehabisan nafas’ karena hidup berbekal tabungan dan setoran dividen perusahaan yang sebenarnya dikirim dengan lancar namun karena beda currency membuat semua tampak tak terlalu berarti baginya. “Terlebih saat krismon… aku nyaris putus asa. Tapi pilihan telah kutetapkan sementara untuk pulang juga sayang…”
Keadaan lalu memaksa dirinya banting stir. Sedianya ilmu MC yang ditimbanya akan dibawa pulang untuk dipraktekkan di Indonesia, namun karena krisis moneter melanda dan orang berpaling dari kepentingan-kepentingan sekunder semacam penyediaan MC, ia memilih mendalami ilmu lamanya, Matematika dan untuk mengongkosi kuliahnya, kali ini ia memilih bekerja paruh waktu di sela kuliahnya. “Gajinya tak seberapa…” ujarnya menyebut suatu angka yang kupikir itu adalah angka yang sangat jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan dulu… dan apa yang ia dapatkan sekarang.
Dasarnya memang ia orang cerdas, tak sampai tiga tahun, kelarlah kuliah Matematikanya, gelar master didapatnya.
Keajaiban, begitu tukasnya, terjadi!
Ketika visa belajarnya mendekati habis masa berlaku, tiba-tiba profesor yang bekerja di universitas tempatnya bekerja memanggilnya untuk menawari kerja.
“Sebagai asisten saya! Berminat?” kata sang profesor singkat.
Kontan ia tak menolak.
Setelah mengabarkan kabar baik ini kepada sanak saudara di tanah air, ia lalu memutuskan untuk mengambil tawaran dan mulailah ia bekerja.
“Gaji awalku 8000 dollar!” ujarnya dan ini mengagetkanku.
“Wah, banyak sekali?” tanyaku.
“Hehehe, itupun dulu… sembilan tahun silam!”
“Lha sekarang?”
Ia tak menjawab.. hanya menyeringai lebar terwakili oleh emoticonnya yang terbahak-bahak tiada henti.
“Ayolah… tak kan kuberitahu pada yang lain!” pintaku.
“Hehehe… tak baiklah… lagipula untuk apa kamu tahu?”
“Dan untuk apa pula kau sembunyikan?” sergahku…
“OK… baiklah kalau begitu… “
Ia lalu menyebutkan sebuah angka dan hingga tulisan ini kutuangkan aku masih bergidik menghitungnya.
Pikiranku lantas melayang-layang. Mana yang lebih tepat, nilai uang yang cenderung turun, keadaan ekonomi global yang terus membaik (sehingga perusahaan mau-maunya selalu menaikkan gaji kita), atau memang rasa tidak puas yang akhirnya membuat kita merasa terlecut untuk memperbaiki kemampuan bekerja kita tak peduli bagaimana keadaan ekonomi dan kecenderungan turun-naiknya nilai uang?
Ah, kutititipkan jawabannya pada sebuah entah…

Sebarluaskan!

20 Komentar

  1. Memang rasanya sulit untuk menemukan kata puas ya, karena puas itu relatif. Hanya kita sendiri yang bisa menentukan kapan kita puas dan kapan kita masih ingin dan ingin lagi.

    Balas
    • Betul… dan puas itu tak kan pernah datang… ia hanya sebuah hantu yang tak tampak, makanya kita terus mengejarnya :)

      Balas
  2. Hahahaa…. aduh lembah hitam bo’.
    Sepertinya banyak alumni lembah hitam nih…
    Sejujurnya aku tadi langsung buka excel untuk menghitung-hitung berapa rupiah yg didapatnya. Bukan main. Itu angka yang rasanya akan susah aku capai kalau aku hanya mengandalkan pekerjaanku sebagai pegawai.
    Kalau menurut aku sih, karena nilai uang yang cenderung turun, rasanya setiap orang jadi cemas akan masa depan sehingga berusaha terus dan terus menambah pundi2… maklum udah mikirin anak…

    Balas
  3. Mentor ku sekarang pernah bilang bahwa fokus to point than you will got the coin :D
    Kl fokus pada nilai gaji aku pikir kok ya rada ironic ya Don, bisa jadi 8000$ ndak jauh beda dengan 1 jt IDR 10 tahun yg lalu
    Tapi ya tetep aja 8000$ akeh :D
    tapi ini ada sedikit wisdom dr kamarmandi Cina – cina itu :
    Banyak se orang pinter cari duit tapi yg bakal jadi pemenang adalah yang pinter mengelola duit , dan itu sedikit.

    Balas
      • eh aku setujahhh dengan kata mentornya juga hehehe…

        Balas
  4. ah, emang rumit. ekspetasi manusia selalu berubah2. tergantung bagaimana ia memandang hidup dan bagaimana ia mengonversikan kenyamanan dengan uang yg ia miliki. entahlah, aku pun sempat merenung2 ttg hal semacam itu. dan kupikir, batasnya adalah langit.

    Balas
  5. mengko dhisik Don… rasane kok aku kenal karo koncomu iki yo… initial RDB… yo opo ra ?
    melu seneng yen awake sukses, bisa nggawa jeneng apik negara lan bangsa…
    AMDG

    Balas
  6. Keinginan hampir-hampir tak ada usainya, Om. Selalu saja orang setelah dapat yang ini, ingin dapat yang itu, setelah peroleh yang itu, ingin bisa meraih yang “inu”, dan seterusnya dan seterusnya. Tapi, kalau keinginan itu dibarengi dengan etos kerja yang “aduhai”, semua dapat di raih, seperti yang Ignaz bilang seseorang yang berinitial RDB itu!
    Salam kekerabatan.

    Balas
  7. yang dikerjakannya perlahan tapi pasti ya, salut banget, bisa sesabar dan setabah itu akan apa yang dijalaninya. hehe…

    Balas
  8. Nilai uang cenderung turun karena kebutuhan yang cenderung naik. :D

    Balas
  9. yah, namanya juga manusia mas, pasti selalu ingin yang berlebih. Mungkin dia ingin save banyak untuk masa depan anak2 dan masa tuanya nanti ya, jadi sah-sah aja kalau dia nargetin gajinya naek trus ke level2 yang woww, fantastis..asal pengelolaannya bener aja..hehe
    Tapi mungkin ada benarnya, harus punya target peningkatan kualitas diri yang mungkin akan direpresentasikan melalui gaji sebagai bentuk apresiasinya..
    Gajiku??hmm cukup untuk kebutuhan sehari2 dan bisa menabung sedikit2 udah cukuplah..hehe..tak muluk2

    Balas
  10. Manusia mana ada puasnya, klo sudah dapet 1 juta pengan nambah 2 juta. klo sudah dapet 2 juta pengen nambah 4 juta. Sebenernya klo di paksain jadi 2 juta bisa.. itu kan cuma masalah gaya hidup. Semakin deberi gaji banyak semakin berubah gaya hidup dan semakin kita teriming-iming oleh gaya hidup yang lebih menjanjikan… :D

    Balas
  11. Hanya sedikit berbagi, Don…. dulu waktu masih di Jakarta, aku bergaji cukup untuk hidup sehari-hari, bayar kos, dan lebih dari separo untuk nabung (kupaksakan harus nabung). Ditambah dengan memberi les privat sana-sini dan again, itu masuk tabungan bank juga, aku sudah merasa cukup.
    Setelah pindah ke Balikpapan yg biaya hidupnya lebih tinggi dari Jakarta, tetep saja kami harus pandai mengolah uang spy benar-benar terpakai untuk hal yang benar-benar perlu. reregan ediannn kabeh nang kono!
    Terbiasa berhemat, kami pindah ke Sulsel… oh well, di sini jauh lebih murah! kalau mau berfoya-foya jadilah! tapi itu dia, Don… nggak ada apa2 di sini, zonder mall, zonder bioskop, zonder Alf*mart dan sejenisnya… dan begitulah manusia, selalu ada hal yang tak terbeli dengan uang. Di kota besar spt Jakarta dan Balikpapan, ada uangnya, ada barangnya, tapi sayang tak terbeli karena terlalu mahal (eman-eman berkombinasi dengan pelit hihihi…)
    di daerah, (jadi) berlebih uang, tapi tak ada kemewahan dan hiburan yang bisa dibeli…
    gaji besar? impian semua orang tuh! cukup nggak cukup tergantung dari kondisi masing-masing orang…

    Balas
  12. USD$ 8000????
    waw…fantastis….

    Balas
  13. yen sembilan tahun silam wae semono saiki jadi piro jal? sangar koncomu, mas ;)

    Balas
  14. Aku kok beda ya Don. Menurutku, kebutuhan manusia akan uang/materi itu ada batasnya. Kalau semua kebutuhan sudah cukup, uang yang adapun tak terpakai. Jadi untuk apa punya uang berlimpah-limpah?
    Coba, kita makan kan ada batasnya, punya uang berlebih pun kalau perut sudah kenyang, mosok masih mau makan lagi. Kebutuhan akan rumah, mobil, dan lain-lain, juga ada batasnya. Kalau berlebih, akhirnya juga tidak akan sempat kita nikmati. Punya rumah lebih dari dua misalnya, kapan mau menempatinya? Punya uang milyaran di bank yang nggak pernah dipakai, apa bedanya dengan nggak punya?
    Makanya aku heran, orang yang korupsi sampai puluhan milyar itu mau buat apa sih uangnya?

    Balas
  15. Don,
    Setelah usiaku sekarang ini, saya bertanya pada diri sendiri, apa sih sebetulnya keinginan kita.
    Uang 8000 USD besar untuk di Indonesia, tapi kalau di LN, biaya hidup juga lebih mahal, dan mungkin juga kebutuhan lain yang selama ini tak terpikirkan oleh kita di Indonesia.
    Jadi, kesimpulannya, nilai uang itu relatif….
    (yang saat ini pendapatan jauh menurun, tapi kebahagiaan meningkat, karena bisa menikmati waktu lebih banyak….)

    Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Nilai uang ? Donny Verdian - Nilai uang ? Donny Verdian... [...]Aku tak tahu berapa hitungan gaji per jamnya, tapi dalam sebulan, ia digaji 200 ribu…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.