Nggak dipercaya orang? Lemesin aja…

23 Feb 2022 | Cetusan

Nggak dipercaya itu bisa dipicu oleh beberapa hal.

Bisa jadi karena kamu memang pernah melakukan satu kesalahan dan hal itu membuat orang lain jadi tidak percaya bahwa kamu tidak akan mengulanginya lagi di masa depan.

Bisa juga mungkin bukan kesalahan yang pernah diperbuat, tapi di mata orang kamu dianggap tidak bisa membuat satu hal yang impresif, yang meyakinkan bahwa kamu adalah orang yang bisa dipercaya.

Bisa pula terjadi, ada orang nggak dipercaya karena penampakan fisiknya. 

Ada? Ada! Aku contohnya!
Aku bertatto dan punya hobi body modification, membuat lubang di telinga cukup besar, sekitar 2.6cm lebarnya. Karena dua hal ini aku sulit dipercaya orang ketika aku bilang bahwa aku ini cukup intens melakukan banyak hal terkait pelayanan keagamaan. “Badan tattoan dan bolong di telinga kayak preman gitu kok pelayanan! Nggak mungkin lah!”

Ada juga alasan seseorang tidak dipercaya karena faktor suku, agama, ras dan antar-golongan. Jangan tanya, “Emang ada?” sebelum kamu membuka kembali lembaran catatan kelam negeri tahun 1966-an. Disitu kamu akan banyak melihat berbagai stigma yang lahir hanya karena seseorang adalah anggota bahkan Partai Komunis Indonesia alias PKI!

Dan sebetulnya masih banyak ‘bisa jadi’ lainnya yang sepertinya nggak akan muat kalau dituliskan di sini.

Kenapa orang tidak percaya (dan kenapa pula orang percaya) karena kita tidak bisa mengetahui sedalam-dalamnya hati dan sejauh-jauhnya pikiran seseorang. Maka kepercayaan jadi alat atau sarana untuk mengenali hati dan pikiran tersebut. 

Karena masing-masing orang berbeda, maka percaya-tidak percaya itu jadi sangat subyektif dan ini harus kita pahami demi kewarasan diri kita masing-masing. Jangan sampai sakit hati karena kita tidak dipercaya orang lain. Jangan pula gede kepala kalau suatu ketika kita merasa dipercayai… karena segala sesuatunya bisa berubah tanpa banyak ba-bi-bu…

Tapi bagaimanapun juga, dipercaya orang adalah hal yang harus kita usahakan selama hidup. Karena selamanya pula, kita berdampingan dengan banyak manusia lainnya…

Orang perlu dipercaya oleh bank supaya bisa mendapatkan kredit rumah.

Orang perlu dipercaya oleh pacar, orang tua-nya pacar, pakde-nya pacar, paklik-nya pacar, adik-nya pacar, kucing-nya pacar, anjing-nya pacar supaya bisa naik ke pelaminan!

Lalu bagaimana? 

Bagaimana supaya bisa dipercaya?

Bersikap otentik

Kuncinya ada pada perilaku yang otentik. Otentik berarti tidak dibuat-buat karena segala sesuatu yang palsu, pada akhirnya akan terbongkar dan ketika terbongkar hilanglah kepercayaan.

Dan.. jadi tidak otentik itu sejatinya melelahkan!

Pernah dulu dekat sama cewek. Supaya cewek itu tertarik, aku yang misuhan/banyak mengumpat, memutuskan untuk tidak mengumpat di depannya.

Awalnya bisa dan si cewek mulai terpikat.

Sebulan berlalu, ketika udah mulai boleh pegangan tangan tiba-tiba aku kelepasan mengumpat, “Eh asu! Bajingan!”

Si cewek kaget tapi dia malah membelaku, “Nggak papa, Sayang! Kamu cuma kelepasan! Aku tahu kamu kok.. kamu aslinya nggak misuhan dan anak baik!”

Di titik itu, aku bukannya senang karena dia berhasil kuperdaya tapi malah jadi pengen muntah. Bukan muntah karena kenaifannya tapi muntah karena jijik pada betapa tebalnya celak dan kedok yang kukenakan untuk menyembunyikan otentitasku sendiri!

Lho tapi kalau kamu nggak menyembunyikan otentitasmu yang misuhan seperti itu, siapa yang mau?

Sebenarnya banyak hahaha! Tapi demi menyelesaikan tulisan ini, janganlah membahas soal itu dulu! OK?

Kembali ke… laptop!
Enggak menyembunyikan otentitas adalah kunci, kan? Maka mari kita memperbaiki diri sehingga tanpa perlu pasang kedok, otentitas kita sudah baik adanya.

Memperbaiki otentitas diri

Memperbaiki diri diawali dari niat. Kalau percaya Tuhan, mintalah kepadaNya supaya diberi niatan itu. 

Setelah punya niat, tentukan framework atau himpunan nilai dan aturan untuk kita jadikan sebagai patokan dari perbaikan diri itu. Salah satu framework yang kita dalami adalah agama. Bahwa menurut agama mengumpat itu tidak baik dan dosa. Maka aku belajar untuk membikin betul pelan-pelan melalui proses jatuh dan bangun…

Tapi… nah ini ada tapinya…
Tapi ketika kita sedang berproses untuk lebih baik, terkadang kita malah runtuh ya karena seperti kutulis di atas tadi, kita merasa ingin muntah melihat perubahan diri sendiri dan menganggap diri sendiri yang sedang berproses itu selayaknya topeng yang tidak otentik, topeng yang munafik!

Apalagi kalau udah ada kawan dekat bilang, “Cieeeee, sekarang aktif ke gereja! Cieeee sekarang ngomongnya Puji Tuhan melulu…. Huh munafik lu!”

Capek, kan? Banget!

Dipercaya sejak dari keluarga

Yang terakhir, rasa dipercaya itu harusnya ditumbuhkan pada mulanya melalui keluarga.

Aku harus bersyukur karena dulu tumbuh dalam keluarga yang begitu mendukung untuk memberikan kesempatan kepadaku tampil otentik dan layak dipercaya.

Pernah waktu kelas 4 SD, aku yang berambut tipis dan merah merengek kepada Mama untuk minta dikeriting di Jatmiko Salon, waktu itu kami tinggal di Kebumen. 

“Tapi mengko nek kowe ra seneng hasile piye, Le?” tanya Mama.

Aku membalas, “Aku pasti seneng, Ma! Aku wes kepengen banget!”

Mama memberiku kepercayaan!

Sepulang dari salon, di atas becak sebenarnya aku sudah hilang akal karena menyesal. Aku dengan jidat lebar, super kurus, rambut tipis dan merah lalu dikeriting ternyata… jelek banget! Bagaimana aku besok harus ke sekolah? Bagaimana aku besok harus menjelaskan ke teman-teman kenapa aku keriting dan kenapa aku tampak makin hancur?

Tapi Mama menguatkanku. 

“Apik kok, Le! Tur nek kowe ora seneng, ra nganti sesasi mengko wes ilang obat keritinge, rambutmu lurus meneh!”

Betapa lembut hati dan baik percayanya Mamaku itu! Karena aku tahu, dia sebenarnya punya opsi untuk bilang, “Makanya, apa Mama bilang! Kamu sih bla bla bla bla!” Dari situ aku tahu aku dipercaya pada setiap keputusan yang kuambil.

Tapi pernah pula aku dicabut kepercayaannya oleh Mama dan Papa. Waktu SMP aku ketahuan nonton film bokep! Mereka marah sangat besar. Aku tidak pernah melihat mereka teriak-teriak begitu keras selain saat itu. Tapi kesempatan kembali diberikan dan aku memanfaatkan sebaik-baiknya kepercayaan itu (bukan dengan cari cara supaya nonton bokep lagi dan nggak ketahuan ya hahaha…) 

Pemberian kesempatan itu tampak ketika aku pertama kali pacaran tahun 1996. Mama dan Papa begitu percaya bahwa aku tidak akan menggunakan pacaran sebagai praktikum main bokep! Dan ya aku memang nggak ngapa-ngapain sama pacarku yang pertama itu! Nyatanya memang demikian meski mungkin kalian tidak percaya, ya tidak apa-apa hahahaha… 

Nah, masih soal pacaran dengan pacar pertamaku itu, hingga tiba suatu saat ketika salah satu Om-ku yang entah becanda atau serius, nuduh aku bilang, “Kamu sama pacarmu kalau gituan dimana, Don?” 

Yang kuingat dari momen itu, mukaku memerah, mataku sebak berkaca dan bibirku bergetar… Aku hanya menggumam, “Who the hell are you sampai kamu menuduhku sementara Papa dan Mamaku begitu percaya kalau aku tak melakukan hal itu?”

Tapi ya momentum yang kuceritakan terakhir ini jadi penanda awal yang memaksaku belajar bahwa dunia ini memang nggak hanya berisi Mama dan Papaku yang selalu percaya! Aku harus siap untuk tidak dipercaya dan selalu beranggapan bahwa bisa saja orang lain pun bilang ke aku, “Who the hell are you, Donny, sampai aku harus percaya kepadamu?” 

Nggak enak banget, kan? :) 
Ya dienakin… Dilemesin aja…

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.