Nge-buzz untuk kemaslahatan orang banyak, boleh kan?

8 Okt 2012 | Cetusan, Digital, DKK, OKTOBZER

Aku mengenal sosok ini justru setelah aku pindah ke Australia.?Padahal kalau sejak di Jogja aku sudah kenal, barangkali akan ada banyak sekali sesi tatap muka dengannya.

Menurutku, ia bukan tipe orang yang ‘mudah disukai’ pada komunikasi pertama. Pada tahap komunikasi kedua? Barangkali kalian memutuskan untuk tak usah mengenalnya lagi! Apalagi kalau kalian hanya mengenalnya lewat tulisan dan linimasanya.

Padahal, orangnya menurutku sih biasa-biasa saja.
Ia cenderung kritis karena keadaan lingkungan sekitar, kota dan negaranya memang butuh untuk dikritisi. Orang seperti dia kupikir cocok untuk dijadikan sebagai parameter sejauh mana pemerintah mampu bekerja. Kok bisa? Ya, selama ia masih kritis, berarti ketidakbecusan ada di satu sisi dalam roda kerja pemerintah. Simple kan?

Tapi percaya saja, sifat inilah yang membuatku merasa ?cocok? meski kecocokan di sini bukan berarti tanpa argumentasi.?Beberapa kali aku konfrontasi dengannya di timeline maupun tulisan-tulisannya; tapi aku jadi ingat kata salah satu sahabatku dulu, persoalan-persoalan yang ada di antara dua orang teman itu justru yang membuktikan seberapa kuat mutu pertemanan itu sendiri.

So, ladies and gentlemen, tak perlu kebanyakan cocot lagi, inilah Blontank Poer!

Aku memanggilnya sebagai Lik, Paklik, bahasa Jawanya Om.?Seorang peracik kata dan juga teh beraroma melati, Blontea yang pernah kutemui secara nyata dalam liburan di Indonesia, Juli kemarin.

Berbincang dengannya selalu membuatku berpikir topik apa yang harus kudiskusikan padanya selanjutnya?

Interview inipun sebenarnya juga berawal dari sekadar ?haha-hihi? belaka antara aku dengannya di jendela chatting.?Lalu terbesit untuk kujadikan tulisan, maka santun kutuliskan email padanya, mohon ijin untuk ‘mewawancarai’nya. Tak seberapa lama kemudian, tiba-tiba di jendela chat, ia pun muncul sembari menawarkan diri, “Hahaha! Apa yang nggak buat kamu, Don! Ayo, kita mulai.. mau ngobrol apa?”

Sementara masih bingung menjawab mau ngobrol apa, mataku tiba-tiba menoleh ke timeline Twitter yang lagi penuh dengan aneka brand dijajakan oleh buzzer.. maka jadilah aku teriak padanya, “Ayoh! Kita ngobrol soal buzzer!”

Dan terangkumlah interview tersebut seperti di bawah ini:

Halo, Lik!
Halo!

“aku buzzer sebab aku suka nge-buzz sesuatu yang kuanggap penting untuk orang kemaslahatan orang banyak, dan masa depan bangsa Indonesia yang beragam ini”

To the point dulu, Lik! Karena kita ngomong soal buzzer, aku mau tanya, kamu buzzer apa bukan? Hayo!
Dalam pengertian umum, YA, aku buzzer sebab aku suka nge-buzz sesuatu yang kuanggap penting untuk orang kemaslahatan orang banyak, dan masa depan bangsa Indonesia yang beragam ini. Boleh, kan kalau kujawab demikian?

Hahaha, ok Lik! Jaman sekarang banyak orang ngga suka buzzer! Menurutmu kenapa hal itu bisa terjadi? Apa karena mereka iri dan dengki dengan penghasilannya saja atau?
Tanyakanlah pada dirimu sendiri, Don! Kamu benci mereka?

Nggak.. aku membenci perbuatan oknum-oknumnya. Sebentar, ini kok malah kamu yang mewawancarai aku, to? Ok lanjut, Lik!
Persisnya aku gak tahu… Kalau aku sih kurang sreg dengan ‘tidak jujur’-nya sebagian dari?mereka dalam menyebut apa yang ditulisnya itu, sebagai iklan atau bukan iklan. Itu dulu.

“…para buzzer itu seharusnya memberi tanda pada setiap tweet/postingnya bahwa ini adalah iklan dan yang lain bukan!”

Maksudmu?
Maksudku, para buzzer itu seharusnya memberi tanda pada setiap tweet/postingnya bahwa ini adalah iklan dan yang lain bukan!

Tapi apa itu bisa ?jalan?? Kawanku, seorang buzzer juga, dia bilang cara seperti itu dibenci sponsor!
Terserah kalau begitu. Soal itu ya urusan pribadi antara buzzer dengan sponsor!

Lho, sik tha. Gimana kalau ada juga yang bilang, “Mau ngomongin yang baik2nya aja ya ngga papa.. itu kan bagian dari kontrak!” Piye, jal?
Lho, begini… Penyimak (lebih suka menyebut demikian dibanding sebutan follower/pengikut) juga punya hak diperlakukan dengan baik, setidaknya dianggap setara sebagai teman diskusi

Tapi nek mereka bilang, “Lho, ya kalau ga suka tinggal unfollow!” piye, Lik?
Kalau asumsiku begini, orang mau menyimak linimasa kita itu punya harapan dapat teman diskusi atau dapat informasi yang mereka minati.?Mereka sudah meluangkan waktu untuk membaca dan keluar duit untuk bayar bandwidth. Jadi ya harus kita apresiasi, dong!?Kalau berkilah bisa unfollow atau mute, menurutku itu kecongkakan.

“Kalau berkilah bisa unfollow atau mute, menurutku itu kecongkakan.”

Jadi, buzzer yang begitu itu bisa dikatakan congkak?
Iya! Berteman di linimasa itu seperti membuka ruang silaturahmi. Dalam konsep Islam, memutus tali silaturahmi itu dilarang. Ketika seseorang buka akun twitter, maka sejatinya ia membuka diri untuk bersilaturahmi. Andai akunnya gembokan, dia akan punya alasan untuk menerima/menolak permintaan pertemanan. Jadi, konsekuensi dari silaturahmi, ya mesti saling menghargai, setara, sanggup menerima perbedaan (pendapat).

Wah begitu ya?! Hmmm, baiklah kalau demikian sih sepertinya akan jadi perdebatan yang tak ada habisnya. Jadi, gimana kalau kita ngomongin jalan tengah saja? Piye menurutmu solusi ?sama enaknya??
Solusinya bukan enak nggak enak kok, Don.. Tapi fair dan nggak fair.

Kalau aku lebih suka yang fair. Dalam artian begini, aku pernah dapat tawaran jadi buzzer dengan tarif sekian ratus ribu per twit. Aku mau dengan catatan, yakni boleh pakai tagar #promo atau #adv atau #iklan. Kebetulan, agensinya mau, ya sudah, aku menerimanya.?Yang penting, dengan ada tagar itu, aku berharap penyimak linimasaku tahu kalau itu pesan berbayar. Kalau ada link di twit tersebut, orang lain diasumsikan sudah punya kesadaran dalam mengambil keputusan untuk membuka atau mengabaikannya.

Di blog-ku juga ada beberapa postingan berbayar. Tapi prinsipnya sama, asal tidak didikte harus begini-begitu, gak ada masalah buatku. Artinya, aku tetap merdeka dalam membuat review, walaupun aku tahu dalam batas mana berkompromi. Sebab sebuah produk atau brand memerlukan penyebarluasan sisi-sisi positifnya.

Tapi, dengan kemerdekaan me-review, kita bisa menunjukkan di mana sisi kekurangan/kelemahan. Itu penting sebab konsumen cerdas butuh informasi memadai berupa product knowledge. Pada sisi ini, brand sejatinya juga dapat keuntungan berupa masukan untuk perbaikan dari kekurangan-kekurangan yang ada.

Tapi kemerdekaan itu kan nisbi? Mereka, para sponsor itu, toh maunya tetap diunggulkan, to? Omzet kita turun nanti!
Omzet? Aku gak mengenal kosakata itu dalam beraktivitas online. Bahkan, ketika tehku mulai digemari orang karena social media, aku pun tak menggunakan akunku untuk nge-buzzer-i produkku.

Begitu juga, ada banyak testimoni positif soal tehku, di blog atau Twitter. Aku pun tidak serta-merta me-RT. Selain gak suka narsis, aku juga ingin menjaga linimasaku tidak kotor, mengganggu. Kan, tidak semua orang suka teh?

“Akan tiba suatu masa, ‘buzzer’ harus cari cara yang lebih smart dan fair karena tuntutan netizen yang cerdas.”

Aku berpikir pemerintah sudah saatnya mengatur dan memberi tata regulasi tentang bagaimana baiknya jadi seorang buzzer ditinjau dari sisi tata kramanya. Gimana menurutmu?
Menurutku gak usah! Negara/pemerintah tak perlu campur tangan dalam hal beginian. Terlalu remeh.

Lagian, aku yakin, kian cerdas netizen, mereka akan tahu juga, kok, mana yang perlu dipercaya dan mana yang tidak.

Akan tiba suatu masa, ‘buzzer’ harus cari cara yang lebih smart dan fair karena tuntutan netizen yang cerdas. Tidak jarang kita lihat, orang justru merespon negatif kampanye sebuah produk dari twit yang hendak menampilkan sisi positifnya.?Itu alamiah kok. Social media memberi ruang terbuka, demokratis. Yang kelewat lebay akan disanggah, begitu pun yang nyinyir seperti kita, Don, juga akan ada yang memberi pencerahan? :p

Hahahaha! #Okesip Tapi aku masih ngotot, masa nggak perlu regulasi sih, Lik? Iklan di tivi dan mainstream media lainnya aja bisa disaring dan disekap kalau nggak baik, masa Buzzer hanya ?diserahkan? pada ruang terbuka nan demokratis?
Ya biar netizen saja yang membuat konsensus tak tertulis!

Negara biar ngurus dirinya sendiri yang belum beres-beres sampai sekarang. Kementerian Kominfo, misalnya, perlu lebih fokus dulu ngurus pemerataan akses internet hingga pedalaman Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Papua, Aceh dan di mana saja, supaya kesenjangan digital tidak memperparah masa depan ke-Indonesia-an.

Itu lebih mendesak menurutku.

Mendesak? Mendesak supaya putaran rejeki buzzer makin tinggi karena makin banyak pemirsanya ya, Lik?
Hehe, lambemu! Aku ra ngomong ngono, lho! :)

Sebarluaskan!

12 Komentar

  1. Haha Seru obrolan bareng, Pak De. Jadi banyak pencerahan. Tapi aku banyak setuju sama yang di omongkan pak de…

    Balas
    • Sip! Aku hanya mencoba memberi ruang kepada para buzzer untuk bicara tentang hakikat buzzer itu sendiri, termasuk Paklik Blonty :)

      Balas
  2. haha, keren diskusinya.. aku hanya bisa manggut2 dulu karena belum pernah praktek jadi buzzer berbayar, kalo free apa perlu pake tagar khusus?

    Balas
  3. diskusinya keren, Donny…
    aku setuju poin ini: pemerintah nggak perlulah bikin regulasi tentang buzzer.. terlalu remeh.

    Dan negara/pemerintah meributkan “komunitas kecil” begini akan terlihat konyol (menurutku lho..) lebih baik mengurusi komunitas yang lebih besar yang masih tertindas kemiskinan, kebodohan, kepicikan primordialisme, korupsi dan beribu issue sosial lainnya.

    Balas
  4. to buzz or not to buzz, that is the question

    – Shakespito

    Balas
  5. Ya, sebenarnya saling jaga diri saya deh kalau gitu ya.. setuju tuh sama pak Dhe, lama lama juga orang tambah pinter dan pandai menyaring informasi.
    Asyik jadi boleh asal asalan lagi… :)

    Balas
  6. Menurutku gak usah! Negara/pemerintah tak perlu campur tangan dalam hal beginian. Terlalu remeh.

    Hehe,
    Sipp… sepakat dnegan Pakdhe…
    Alasannya bukan pada sebatas “remeh”nya saja. Lebih dari itu adalah kemerdekaan berpikir cerdas pada netizens itu tetap dibutuhkan tanpa harus selalu dopageri pada “aturan” yang tak jarang justru malah mengkotak-kotakkan antar netizens. (wong gak ana aturan ya wis kotak2 kok ding:) )
    Dan akan lebih parah adalah pada ketakutan ‘penyalahgunaan’ yang lazim terjadi di negeri ini, dimana aturan yang sedianya dibuat sebagai “rule” kebaikan namun justru tak jarang malah dijadikan alat oleh penguasa… Nuwun…

    Balas
  7. Percakapan diantara dua orang ‘nyinyir’, dan saya tau kalau Pakdhe Blontank ngga seperti yang lain. Udah lama jadi follower-nya, dan aku rasa ngga pernah (atau mungkin terlewat) soal iklan2 itu. Apalagi penulis blog ini,… jangan ngarep, kecuali balik arah 280 derajat :P

    Balas
  8. Promosi: jasa nge-buzz, 1 juta per tweet.
    “Emang follower-mu brp?”
    Sewu.
    “Halah, follower sithik kok larang.”
    Sithik mbok ben, sing penting kemaki sik, su..!

    Balas
  9. wahahaha, pertanyaan terakhir kayaknya menohok banget :D

    Balas
  10. tetapi memang semakin banyak buzzer menerima pekerjaan dia harus smkn kreatif terhadap konten tweetnya biar makin enak dibaca oleh followernya.

    Sayangnya tidak banyak buzzer yang seperti itu :| .. kebanyakan dari mereka masih merasa ‘malas’ untuk membuat konten tweet yang lebih karena merasa itu sudah apa adanya seperti mereka sendiri, pdhl dgn menerima bayaran sih harusnya kualitas tweet mereka hrs dinaikkkan juga.

    Hmm kebetulan ak sdg mengamati salah satu influenzer yang sdg menerima byk job buzzing, tp krn tweet2 dia di create dgn sebegitu bagusnya seperti iklan (aku gak tau bilangnya apa) follower diapun menerima tweet dia sbg ‘iklan’ dgn baik, kenapa bisa aku bilang baik krn jumlah klik dari tweet2 dia sangat baik, itu berarti konten tweet dia diterima oleh followernya.

    komen kok panjang-panjang yo hihihi … yapokoknya gitulah =))))

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.