Aku nggak tahu istilah mana yang lebih tepat untuk menggambarkan keadaan ini, ‘ngadalin’ atau ‘ngakalin’, tapi yang pasti siasat seperti ini tentu tak bisa dibenarkan sama sekali.
Seorang Camat di lingkup Kabupaten Jombang, Jawa Timur diduga membawa mesin presensi sidik jari (finger print) di kantor kecamatan selama berlibur bersama sebagian pegawai lainnya ke Telaga Sarangan, Magetan.
Tujuannya? Barangkali supaya tetap terdeteksi ‘masuk kerja’ walaupun yang dikerjakan adalah berlibur.
Hal ini mengingatkanku pada saat masih di Jogja dulu. Aku menerapkan tata aturan absensi yang ketat kepada anak buahku. Setiap pegawai kuberi toleransi keterlambatan satu menit untuk setiap hari kerja. Kalau sampai total akumulasi keterlambatan dalam sebulan lebih dari 22 menit (1 menit kali 22 hari kerja dalam sebulan) maka aku tidak akan memberikan tambahan gaji.
Sebenarnya kalau dipikir secara nalar hal ini menyesakkan. Bayangkan, ketika kita terlambat menggaji karyawan, mereka akan protes, tapi kebalikannya, ketika mereka terlambat menyelesaikan pekerjaan dari jadwal, mereka minta pengertian. Bahkan supaya mereka tak terlambat masuk kerja, kita harus menstimulasinya supaya tepat waktu. Ironis, kan?
Tapi anyway, mari lanjutkan ceritaku dulu.
Sistem absensi waktu itu kubuat dengan cara login ke aplikasi yang diinstall ke komputer. Tak seberapa lama, sistem jebol. Ada karyawan yang nitip absen dengan menggadaikan informasi loginnya ke pegawai lain. Sistem kembali kuperbaiki. Login karyawan diintegrasikan dengan login activedirectory yang artinya kalau sampai masih berani nitip absen, resikonya pegawai lain bisa melihat detail informasi, file-file dan semuanya dari milik si pegawai.
Lagi-lagi, mereka tetap memilih menitip absen dengan resiko di atas hanya demi tambahan uang yang sebenarnya tak terlampau banyak juga. Bahkan ada satu-dua yang lebih kreatif dalam ngakalin.. eh ngadalin yaitu datang pagi-pagi benar, login lalu pulang lagi untuk masuk lebih siang.
Teknologi dan piranti pendukung, secanggih apapun memang tak bisa dijadikan sebagai tumpuan solusi. Persoalannya ada di dalam otak, mentalitas masing-masing pengguna.
Kalau bakatnya untuk menjadi maling lebih besar, mau diberi piranti secanggih apapun ya tetap aja mereka akan berusaha membobolnya. Sebaliknya, kalau seseorang bisa mengerem nafsu untuk nyolong, tak perlu piranti canggih bahkan tak perlu diawasi, seseorang tetap akan bisa masuk kerja tepat waktu dan ketika tak tepat waktu ya akan melaporkan diri secara sukarela bahwa dirinya terlambat dan tak berhak atas penghargaan yang diberikan kepada mereka yang lebih disiplin.
Kalian setuju dengan opiniku?
Oh ya, link tentang peristiwa di Jombang itu bisa disimak di sini.
0 Komentar