Nek Lulusan De Britto Njuk Ngopo?*

7 Jul 2023 | Cetusan

Sebagai penyuka film detektif khas Amerika, satu adegan khas yang paling melekat di benak adalah ketika seorang detektif dengan pakaian parlente berlari tergesa-gesa mengejar musuh. Di tengah pengejaran ada kerumunan orang yang tentu tidak tahu menahu pengejaran itu. Si detektif lalu menunjukkan tanda identitas dan berteriak “FBI!!!” mereka sontak bubar sesuai permintaan.

Sebagai alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta, sebelum tahun 2019 aku juga sering melakukan hal yang kurang lebih sama. Ketika berkenalan dengan orang-orang baru, dalam kalimat-kalimat awal aku selalu menyebut,  “Aku ini lulusan De Britto!” dan berharap orang-orang disekelilingku menyahut, “Wah! Pantesan! Kamu keren ternyata lulusan De Britto ya!”

Menjadi alumni De Britto memang membanggakan, jangan salah! Sekolah Katolik nan unik di kota yang dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta! Bukan sekolah calon imam bukan pula sekolah kejuruan tapi muridnya semua pria!  Rambut boleh gondrong dan di hari-hari tertentu kita boleh mengenakan baju bebas asal berkerah dan celana panjang serta minimal sepatu sendal.

Cara pendidikannya, sejauh yang kutahu dan kurasakan dulu, berbeda dengan sekolah lain. Pengembangan karakter dan proses menemukan diri siswa menjadi inti yang tersirat dalam berbagai interaksi yang terjadi baik antara siswa dengan guru di kelas, siswa dengan staff selain guru dan tentu saja interaksi antar-siswa. Selalu ada cerita-cerita unik yang terjadi dan dibawa dari sana dan barangkali itu juga yang membuat hubungan antar-alumni tampak solid bahkan jauh setelah mereka (dan kami) lulus dari De Britto.

Kukatakan tampak solid karena nyatanya gak semua solid. Ada yang benar-benar solid meski aku tak tahu apa dasar kesolidan itu? Hanya gara-gara satu SMA?

Ada yang  solid-solid tai ayam dan tak sedikit juga yang musuhan atau diam-diam memusuhi entah karena urusan hutang, janji yang tak terpenuhi atau apalah-apalah lainnya. Di titik yang paling membuat alis mata mengernyit adalah ketika ada seorang kawan dekat mengabariku bahwa aku banyak yang memusuhi hanya gara-gara aku bersuara lantang dan….“Kawan-kawan nggak suka sama kamu karena kamu itu  kebanyakan nggaya di social media! Suka selfi di lift pake jas! Pamerrr!”

Lalu apa yang mengubahku di tahun 2019 sehingga aku tidak lagi melulu menggunakan jargon “Aku alumni De Britto” ketika berkenalan dengan orang-orang baru di Indonesia melalui social media?

Tidak ada yang signifikan sebenarnya selain bahwa aku melakukan permenungan tentang identitas diri, siapakah aku ini sebenarnya?

Aku adalah Donny Verdian!
Memang benar aku alumni De Britto tapi ada banyak hal lain yang bisa dipakai untuk mengidentifikasikanku sebagai seorang Donny Verdian. Aku seorang suami. Aku seorang ayah. Aku seorang Jawa. Aku seorang Australia yang lahir di Indonesia.

Aku seorang Katolik. Aku seorang design consultant yang punya hobi ngeblog (maka aku layak dipanggil seorang blogger) dan mengkreasi musik maka aku gak keberatan kalau dibilang sebagai musisi.

Jadi, ketika aku selalu menggunakan identitas sebagai alumni De Britto, bagaimana dengan identitasku yang lainnya?

Adakah orang akan tahu bahwa pekerjaan designku baik karena aku lulusan De Britto?

Adakah orang percaya bahwa aku ini seorang suami yang setia dan ayah yang baik melulu hanya karena aku pernah dididik di De Britto?

Sebaliknya, aku juga tidak mau mengeliminasi maupun menutupi kelemahanku hanya dengan identitas ke-de britto-an itu.

Sehebat-hebatnya aku, sebangga-bangganya guru-guru di De Britto karena pernah punya anak didik sepertiku, aku punya cacat, aku punya cela! Aku tidak sesempurna bacon visi, misi dan arah dasar pendidikan De Britto itu sendiri dan aku tahu diri! 

Aku nggak mau seperti kawan yang ketika hendak ikut tender proyek lalu menambahi embel-embel “lulusan De Britto” hanya karena dia tahu bahwa yang memutuskan siapa yang akan jadi pemenang tender nanti adalah sesama alumni juga! 

Aku nggak mau secemen kawan lain bahwa karena sama-sama lulusan De Britto maka aku berhak untuk menerima diskon dari produk yang kubeli dan ternyata produsennya adalah… sesama alumni De Britto.

Aku mau diterima dan diakui karena aku adalah seorang Donny Verdian yang belajar dan bekerja keras sebagai hasil didikan almamater yang salah satunya adalah SMA Kolese De Britto Yogyakarta.

Kalian salah kalau kebanggaanku terhadap De Britto sudah hilang maka aku menuliskan ini semua. Rasa banggaku pada De Britto saking tingginya sudah melebur menjadi api hidup yang baru akan padam ketika jasad ini mati.

Bukan pula karena aku merasa sudah besar, sudah sukses tinggal di Australia! Sudah jadi superblogger Indonesia! Sudah verified di Spotify sebagai artis dan sudah “centang biru” di Instagram padahal gak bayar dan gak juga ngebajak akun orang! 

Ini semua lebih tentang cara pandang dan penyampaian saja. Bahwa cara pandangku tentang kebanggaan terhadap De Britto gak perlu diucapkan tapi menjadi cap dalam karya-karya nyataku.

Karena bukankah semboyan kita masih tetap sama, Ad Maiorem Dei Gloriam? Bahwa semua yang kita lakukan ini untuk kemuliaan Allah yang lebih besar di muka bumi ini?Pekerjaan-pekerjaan ke-Allah-an menurutku harus dilakukan dalam senyap dan tidak banyak koar “debritta-debritto” karena kalau demikian sebenarnya yang mau dimuliakan dan dibesarkan itu Allah atau diri kita?

Aku ingin menutup tulisan ini dengan sebuah pengalaman unik…

Di awal dekade 2000an dulu aku pernah terlibat dalam pembangunan sebuah perusahaan IT di Jogja bersama empat kawan lain sesama alumni De Britto.

Perusahaan didirikan, aku bertahan hingga delapan tahun kemudian sebelum akhirnya pindah ke Sydney, Australia.

Pada suatu hari, kalau nggak salah di tahun ke-2, seorang front officer mengetuk pintu ruang rapat dimana di dalamnya kami berempat sedang berunding tentang perusahaan. 

“Mas-mas semua, maaf mengganggu, ada telepon untuk Mas ****…” Matanya tertuju pada kawanku.

“Dari siapa?” Kawanku bertanya balik dengan ketusnya mungkin karena merasa terganggu meski aku tahu dasarnya memang begitu, ketus.

“Dari… duh siapa tadi namanya aku lupa karena dia menyebut terlalu cepet tapi yang pasti dia bilang kalau dia alumni De Britto.” front officer itu tampak ketakutan.

‘Alumni De Britto? Apa urusane? Njuk ngopo?” kawanku tadi membalas masih dengan ketus dan anehnya tiga yang lain dari kami yang ada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak….

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.