Munir: Buatku, seni tattoo itu lebih menyentuh

29 Sep 2014 | Cetusan

blog_munir

Tattoo adalah simbol dan orang memaknainya dengan berbagai cara.

Rezim Soeharto dan kroni-kroninya dulu konon menggunakan tattoo sebagai tengara apakah seorang bisa dicap sebagai gali (gabungan anak liar/preman) atau bukan. Kalangan agamis menerjemahkan tattoo sebagai hal yang dilarang karena dianggap rajah tubuh sementara kalangan bisnis hingga kini bahkan belum sepenuhnya bisa move on dari stigma bahwa tattoo identik dengan ketidakteraturan dan pemberontakan.

Jogja sebagai kota seni dan budaya pun memiliki perjalanan sendiri dalam khasanah dunia pertattooan. Aku ingat betul, pertengahan 90an silam, saat rezim Soeharto berkuasa sangat jarang orang secara terbuka menyatakan diri berprofesi sebagai tattoo artist. Kawan kuliahku dulu ingin bertattoo dan untuk itu ia harus melakukan janji diam-diam dengan seorang tattoo artist di selatan Jogja yang berpraktek di kamar pribadinya. Atau kalau mau ‘aman’, tattoo bisa dilakukan di beberapa salon yang menggunakan kedok tattoo alis sementara kalangan berduit memilih terbang ke Bali karena di sana relatif lebih dimaklumi karena statusnya sebagai pusat wisata dengan tamu-tamu kebanyakan dari mancanegara.

Reformasi lalu bergulir dan orang seolah berpesta pora dalam keriuhan berlabel kebebasan. Tattoo studio bermunculan bak cendawan di kota-kota dengan background seni budaya yang kuat seperti Bandung dan Jogja.

Mereka datang seolah sebagai simbol lepasnya belenggu selama ini dan kehadirannya lambat laun turut mengubah pandangan masyarakat tentang tattoo itu sendiri. Kalau selama itu tattoo banyak disembunyikan di balik lengan kaos dan baju, diplester supaya tertutup, kini orang berlomba pamer tattoo bahkan menambah koleksi tattoo dengan varian-varian design yang baru, warna-warna yang lebih menantang dan tentu lokasi-lokasi pada bagian tubuh yang lebih terbuka. Kalau dulu kita berpikir tattoo adalah milik gali/preman, kini orang bertattoo berkeliaran di sekeliling kita bahkan orang terdekat kita pun barangkali adalah salah satu kolektor tattoo, sebutan untuk orang yang ditattoo.

Nah, bicara soal dunia tattoo di Jogja, tak afdol rasanya kalau tak menyebut nama Munir Kusranto. Mungkin ia bukan sang pemula, tapi eksistensinya dengan bendera Toxic Tattoo Park, studio yang dikelola bersama Ajeng, istrinya, membuatnya memiliki reputasi besar yang dihargai banyak orang tak hanya di Jogja tapi juga di tingkat Indonesia serta mancanegara. Beragam penghargaan diraihnya dari dalam maupun luar negeri dan tak hanya itu, hal yang menurutku unik dari diri seorang Munir adalah bagaimana ia memandang tattoo sebagai passion dan bisnis dalam kacamata yang berbeda.

Secara pribadi aku mengenal Munir cukup dekat.
Aku mengenalnya sejak 2003 saat pertama kali aku berkunjung ke studionya untuk minta dirajah. Lalu hubungan baik terjalin membuatku bolak-balik ke studionya untuk nambah dan nambah tattoo lagi. Ya, aku memang pernah berada dalam fase ketagihan untuk menambah koleksi tattoo di tubuhku.

Ketika aku memutuskan untuk pindah ke Australia, hubungan kami tak mandeg di situ.
Selain aktif berkomunikasi lewat social media, dalam beberapa kali kesempatan Munir dan Ajeng kerap datang ke Sydney untuk mengikuti eksebisi tattoo terbesar di Australia dan kami sering meluangkan waktu bersama tentu dengan anak istriku juga.

Dan mungkin justru karena saking dekatnya itu, janjian interview dengan Munir selalu gagal dan tertunda.
Sebenarnya sejak aku merilis tulisan-tulisan yang mengisahkan tentang sejarah tattoo-tattooku dalam serial Hikayat Tattoo, aku telah berencana untuk mengunggah sebuah tulisan tentangnya. Tapi hal itu tak pernah terlaksana karena setiap kami berjumpa baik secara langsung di sini maupun di jendela messenger, yang ada kami malah asyik bertanya kabar satu sama lain.

Tapi niatku akhirnya terlaksana juga beberapa waktu silam. Di tengah obrolan kami yang ngalor-ngidul melalui jendela WhatsApp, aku ‘nembak’ Munir untuk ku-interview dan iapun mengiyakan.
Bagiku, pribadi seorang Munir dalam kaitannya dengan pencapaian dan pandangannya terhadap tattoo membuatnya layak untuk kuangkat sebagai tokoh muda Jogja dan kali ini, panggung blog ini kuserahkan kepadanya.

Simak petikannya…

Bagimu tattoo itu berarti apa dan bagaimana?
Dari dulu sampai sekarang dan sepertinya untuk selamanya, aku menganggap tattoo itu keren. Itu yang terutama!
Tattoo itu salah satu bentuk simbol budaya yang teruji dari masa ke masa. Tattoo juga bisa jadi status dan perlambang. Ciri khas manusia secara personal maupun komunal.

Maksudnya dengan ungkapan simbol budaya yang survive itu bagaimana?
Budaya tattoo kan sudah berabad-abad umurnya tapi hingga sekarang masih eksis…

Tapi sebagian orang masih menganggap tattoo sebagai hal yang negatif. Apakah hal ini sudah berubah?
Berubah tapi dikit hahahaha….

Kenapa?
Ya di satu sisi nyatanya preman memang suka tattoo.
Tapi sebenarnya menjadi baik dan buruk itu kan pilihan dan jalan hidup seseorang, bukan dari ber-tattoo atau tidaknya, kan?

Kamu mulai aktif menjadi tattoo artist sejak tahun berapa?
1996. Tapi mulai benar-benar serius tahun 1998.

Aku ingat dulu kamu pernah bercerita kepadaku bahwa studiomu pernah digeruduk orang karena pekerjaanmu dianggap melanggar norma agama?
Iya, itu kejadian tahun 2000 silam.?Tapi kalau kupikir-pikir hal itu sangat wajar sebenarnya karena aku memandang sebagai tarik-menarik energi saja hahaha…

Come on, yang detail dikit dong!
Jadi waktu itu bulan puasa. Lalu ada ‘mereka’ yang kebetulan sedang bergerak dan beredar di kampung di sekitar studioku.

Mereka itu siapa?
Hehehe.. Aku tak bisa menyebutkannya di sini…

Lalu?
‘Mereka’ mampir ke studio dan menyarankanku untuk menutup tempat usahaku. Tapi aku nggak tutup kan aku cari duit, kalau tutup ya nggak makan, kan? Hahaha…

Persuasimu bagaimana ketika menghadapi mereka? Kamu menolak untuk tutup secara frontal gitu?
Enggak. Aku tidak menolak tapi juga tak mengiyakan sarannya. Flat-flat saja karena intinya aku cuma punya niat untuk cari uang untuk membiayai hidupku. Titik.

Lalu mereka berhenti mendatangimu?
Setelah tiga kali kami ngobrol-ngobrol, sejak saat itu ‘mereka’ nggak pernah datang lagi…

Sekarang mari kita bicara tattoo dari sisi bisnis. Rentang waktu pasca reformasi hingga kini kan banyak sekali tattoo studio dan tattoo artist bermunculan di Jogja tapi banyak pula dari mereka yang akhirnya rontok di tengah jalan. Menurutmu kenapa hal ini bisa terjadi?
Aku memandang semua bisnis itu harus diatur dan dipelajari terus-menerus perkembangannya.

Nah masalahnya sekarang tattoo sekarang kan makin keren karena orang semakin terbuka pikirannya terhadap stigma-stigma lama. Hal ini membuat orang banyak tertarik untuk menjadi tattoo artist tanpa mereka banyak berpikir bahwa sebenarnya nggak setiap hari ada orang datang untuk bertattoo.
Ibaratnya, orang buka warung makan saja, nggak setiap hari rame padahal kebutuhan orang yang paling utama, salah satunya adalah makan hahahah….

Lalu caramu mengakali bisnis ini hingga bisa sesukses sekarang ini bagaimana?
Aku nggak pernah mikir untuk sukses. Aku cuma fokus karena takaran sukses itu hanya akan jadi beban urip. Enjoy wae, Paklik hahahha…

Tapi kan pasti tetap ada usaha nyata yang membuat kamu tetap eksis hingga kini?
Ya, intinya jangan berhenti belajar dan tetap berkarya. Karya yang harusnya makin bagus karena penggemar tattoo sekarang makin cerdas.

Tapi tantangan bahwa nggak tiap hari orang bikin tattoo tadi menarik. Caramu mengatasinya?
Ya harus pintar-pintar menyisihkan duit biar terhindar dari bencana kelaparan hahaha…

Ada pikiran untuk buka usaha lain?
Selama tattoo masih bisa menghidupi kami sekeluarga, kami akan fokus ke tattoo saja.

Yang bikin beda antara seni tattoo dengan cabang seni yang lain itu apa?
Buatku, seni tattoo itu lebih menyentuh.

Piye yo, bagiku intim karena ada interaksi langsung antara seniman dan kolektor (tattoo) lebih intens hahaha… Selain mendapatkan uang, aku juga mendapatkan kepuasan dan percaya nggak, setiap tattoo membawa cerita yang masing-masing berbeda dan sangat membangun hidupku.

Oh ya? Bagaimana kok bisa begitu?
Ya! Rata-rata orang bikin tattoo itu punya alasan yang kuat kenapa memilih gambar tattoo tertentu, warna tertentu dan kenapa di lokasi anggota tubuh tertentu pula. Nah, dalam proses penyampaian alasan itu, aku kadang terlibat diskusi yang menarik dengan kolektor tattoo dan bagiku itu sangat membangun hidupku. Hidupku jadi kaya akan hal-hal yang kadang baru kutahu saat itu…

Ok sekarang mari kita mbahas tentang kotamu. Jogja gimana menurutmu sekarang?
Semua kota berkembang termasuk Jogja, Paklik…

Tapi semakin nggak nyaman kan perkembangannya?
Ya mau dibilang apa? Jogja nyatanya memang kota yang asoy nan menarik jadi orang-orang tertarik untuk berdatangan itu ya wajar dan lumrah kan?
Nah saat Jogja makin padat, disitulah muncul gesekan. Wajar, kan?

Sebagai orang Jogja kamu melihat dan merasakan perbedaan?
Yo jelas beda. Yang jelas jalan raya makin padat merayap dan mulai terlihat wajah-wajah orang Jogja yang tegang hahaha…

Kalau begitu, dimana asiknya Jogja?
Ya tetap asik lah, masih banyak masyarakat Jogja yang eling akan ke-jogja-aannya. Masih banyak orang yang ingat bahwa hidup itu bersama dengan orang-orang lain dan harus tepa selira.

OK ini pertanyaan terakhir. Banyak orang berpendapat tattoo dilarang beberapa agama. Bagaimana pendapatmu?
Wah! Skip dulu lah, ada pertanyaan lain? Hahahaha..

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.