Akhirnya aku percaya bahwa “kerasan” itu adalah soal tahapan, soal proses yang nggak akan pernah kita bisa ukur pada titik-titik dan saat-saat tertentu saja. Bisa jadi hari ini kalian bilang krasan di kantor baru tapi besoknya sudah mulai eneg dan mau muntah setiap melihat gedung kantor kalian.
Kalaupun ada orang yang bilang bahwa ia sudah kerasan maka bisa jadi ia adalah orang paling ngawur dan sok tahu sedunia yang meringkas ” segala jawaban” yang mungkin akan berbeda di masa datang dengan sesuatu yang sifatnya sesaat.
In a way, kalau demikian adanya, akulah salah satu orang terngawur dan sok tahu sedunia itu!
Baru menginjak hari keenam, 6 November 2008 aku telah berani memasang status di YM! ku dengan tulisan:
“MULAI KERASAN DI SYDNEY, I LOVE THIS CITY!”
Tapi aku bukanlah tipikal orang yang tak sadar ketika melakukan satu “kebodohan” seperti itu.
Meski terkesan gegabah, tapi satu hal yang kusimpan dan kupaku kuat-kuat ke permukaan hati dan otakku adalah, bahwa pada hari ini aku telah berani berdeklarasi demikian, which is kalau sampai di satu hari ke depan aku tak kerasan aku akan mengungkit-ungkit hari ini pada diriku sendiri bahwa aku telah pernah mengabarkan ke penjuru dunia bahwa aku kerasan, maka haruslah aku konsisten dan kerasan betulan!
Di pagi yang seperti biasa dinginnya itu, saat masih di tempat tidur Joyce dengan hangat memelukku dan berucap “Nanti sore kamu ke city ya. Jemput aku kerja trus kita jalan-jalan..ini kan kamis malam, late nite shopping.”
Sesaat itu juga, mendadak sontak ada aliran energi hangat yang merasuki tubuhku dan “Jrengggg!” mataku berbinar-binar, optimis menyambut hari dan kuyakinkan benar bahwa aku menjadi seperti itu karena istriku dan BUKAN karena kata-kata “Shopping” nya..
Lagipula yang namanya shopping itu bukan berarti harus membeli sesuatu.
Apa yang dulu sering diceritakan istriku ketika kami masih berjauhan tentang late nite shopping adalah tentang jalan-jalan di pusat perbelanjaan setiap kamis malam karena khusus hari itu nyaris semua pertokoan di seantero Sydney buka sampai malam, tak seperti hari-hari lainnya yang rata-rata hanya buka sampai jam 6 sore saja. Lalu setelah puas jalan-jalan biasanya dilanjutkan dengan makan di restaurant yang kelas menengah lalu pulang.
Jadi sekali lagi, shopping di sini bukan berarti harus membabi buta untuk rakus membeli apa saja.
Ya, sebenarnya kalau uang ada dan tidak ada kebutuhan yang menggunung di depan tak mengapa,
tapi kalau ada uang tapi kebutuhan tampak terbayang-bayang di depan siapa pula yang tega membeli barang-barang tak terlalu penting pada saat-saat seperti ini ?
Maka jadilah.
Setelah lebih dari 8 jam beradu muka dengan Apple Powerbook-ku untuk menyelesaikan pekerjaan dan menulis bab baru bagi calon bukuku, aku bergegas mandi. Pada istriku tadi pagi aku bilang bahwa tak sampai pukul 5.30 pm aku akan telah berada di muka pintu kantornya di Sydney.
Pukul 3.30 pm tepat aku telah berjalan kaki keluar rumah mengenakan pakaian yang sejak tiga hari yang lalu kukenakan terus-menerus.
Jorok karena mengenakan pakaian yang itu-itu terus?
Terserah, tapi satu hal yang pasti yang telah kupelajari di sini, ketika air yang kita habiskan per liternya telah diberi harga maka anugerah yang terbaik adalah pada saat kita tak harus mencuci pakaian untuk sekali pakai karena keringat yang jarang tumpah. Yep, cuaca dan tingkat kelembaban di sini sangat beda, Man, dengan apa yang ada di Indonesia. So, berbekal Rexona for Men Roll On Sprayed Deodorant dan Lacoste Parfume, aku sudah sangat pede untuk memulai hari yang telah terlanjur berjalan begitu jauh menjelang sore itu.
Tapi ada satu hal yang sangat membuatku terperanjat pada saat aku keluar dari rumah siang itu.
Suhu yang biasanya berkisar di bawah 20 derajat dengan angin dingin yang menusuk hingga ke tulang siang itu tiba-tiba berubah ganas dan menggarang!
Aku sendiri tak pernah percaya seratus persen dengan termometer yang ditunjukkan oleh jam SUUNTO Vectorku tapi whatta hell… angka “40” tertera di sana! Ini bahkan jauh lebih panas dari Jogja yang beberapa saat sebelum kutinggalkan dulu pernah menyentuh angka 36 – 37 derajat celcius!
OMIGOD, 40 derajat celcius di terik matahari yang tampak menjorok tanpa satupun awan bisa menahannya. Sementara angin yang biasanya tak ada rasa malu untuk menyembur siang itu tak tampak batang hidungnya.
Aku yang sudah terlanjur membawa sweater di backpack merasa kecewa karena aku membawa barang yang sepertinya tak akan pernah kupakai hingga malam nanti.
Satu-satunya hal yang kusyukuri siang itu adalah bahwa aku tak lupa membawa sunglass.
So, dengan sedikit mencari tempat teduh di bawah pepohonan aku tak sabar menanti bus 601 ku lewat dan mengantarkanku ke Parramatta.
Lima belas menit telah berlalu, suhu belum beranjak turun dan bus pun belum pula beringsut datang.
“Gila! Baru kali ini aku ngerasain waktu ngaret di sini!” gumamku dalam hati.
Aku menggerutu untuk supir bis 601 yang seharusnya sudah ada di situ pukul 03.39 pm tapi bahkan sampe sekarang, belum juga datang.
Tuhan rupanya mengerti rintihanku. Entah barangkali Ia tersentil dengan pesan yang kutulis lewat Klepon website ini tentang suhu yang meninggi tidak menyenangkan, maka bus 601 pun datang dan praise Him juga karena bukan tipe bus reot yang kemarin kunaiki melainkan bus baru dengan AC yang menggelontor kencang di atas setiap seatsnya.
Aku segera beranjak naik dan seperti biasa “One way to Parramatta, please!”
Kusodorkan uang 20 AUD kepada sopir gondrong di depanku.
“Do you have 5 or 10 dollars?”
O god, aku lupa mengambil uang logam 2 dollar-an di atas meja kamarku dan tampaknya sopir itu sangat tidak senang dengan besarnya satuan uang yang kuberikan karena itu berarti ia akan banyak kehilangan uang logam kembaliannya kepadaku.
Tapi tak seberapa lama akhirnya si supir itupun takluk dengan kekerasanku :)
“Sorry, thats all i have..” kusunggingkan senyum dan akhirnya ia mengembalikan kembalianku beserta tiketnya. Saat itu juga aku tiba-tiba jadi ingat mbak-mbak kasir di sebuah toko serba ada di Jogja yang waktu itu pernah menggerutu dengan hal yang sama lantas memberikanku kembalian yang kalau ditotal tetap masih kurang 500 rupiah karena hanya ditukar dengan empat buah permen yang tak terlalu kusuka aroma dan rasanya.
Anyway, Parramatta kurengkuh tak sampai 30 menit di jalan sementara matahari tampak semakin kokoh dan cuaca panas semakin tergambar dari setiap bule yang semakin seksi saja dalam cara mereka berpakaian menghadapi terik. Hal pertama yang harus kulakukan sebelum pergi ke City adalah menuju tempat percetakan foto untuk mencetak foto guna keperluan exchange visa. Maka akupun menuju ke sana.
Aku punya kenangan yang cukup “memalukan” dengan toko yang saat itu kudatangi.
Bulan Februari 2008 yang lalu, ketika bahasa Inggrisku masih sangat “tarzan” aku pernah mempermalukan diri sendiri di situ. Ketika itu aku datang dengan membawa kamera yang berisi foto-foto hasil jepretanku. Lalu akupun bertanya ke penjaganya tentang bagaimana cara mencetak. Si bapak penjaga yang kuingat betul saat itu berusia 40 tahunan itu lantas menunjuk mesin cetak otomatis dan menjelaskan dalam Bahasa Inggris yang waktu itu kudengar sangat cepat. Merasa blank, akupun hanya berujar “What?” Sekali lagi ia mengulang mengucapkan hal yang sama dan sekali lagi pula aku hanya bisa berujar “Whattt????”
Hingga akhirnya dari bola matanya kulihat ada rasa kecewa karena pesan yang ia sampaikan tak kunjung bisa kumengerti. “OK.. Do… You.. Know…” Satpam itupun mengucapkan kata-katanya secara sangat terpatah-patah, seperti seorang ibu yang tengah mengajari anak 15 bulannya mengeja kata “Pe-la-ngi”.
Hah memalukan!
Setelah menyelesaikan order, aku bergegas menuju ke stasiun Parramatta yang bisa kuakses melalui basement Westfield itu juga. Pada saat itu waktu telah beranjak menuju pukul 04.30 pm.
Naik kereta di sini terutama dari Parramatta menuju city sebenarnya tak beda jauh dengan kalau kita naik Prambanan Ekspress di Jogja – Klaten – Solo sana. Ya orang-orangnya, ya kereta apinya sendiri.
Kebanyakan orang multi ras tinggal di daerah Parramatta. Mulai dari Lebanesse, Vietnamesse, Indian, orang-orang Jepang, Cina, Thailand hingga Indonesia, semua ada di sini. Jadi, naik ke dalam kereta seperti saat itu sama halnya dengan memandang ke seluruh antero bidang gerbong dan mendapati kepala berambut hitam yang mendominasi.
Adapun yang berbeda, ya kalian tahu sendirilah, kebersihan dan fungsionalitas setiap hal yang sangat dijaga dengan baik di sini. Aku enggan bercerita detail karena aku tak mau membuka keburukan bangsa di sini, tapi satu hal yang kupercaya bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk bangsa manapun dan kapanpun untuk berlaku lebih baik lagi. Akur kan ?
Empat puluh menit terlalui di atas kereta dengan tiket seharga 4.60 AUD, dan stasiun TownHall menjelang.
Sesampainya di stasiun yang letaknya di bawah tanah itu aku segera bergabung dengan lautan manusia yang bergerak cepat ke sana kemari. Aku naik ke arah QVB melalui tangga berjalan, lalu keluar menuju perempatan besar TownHall untuk antri menyeberang.
Suasana city sore itu benar-benar sibuk.
Ribuan orang berlalu lalang di trotoar, sementara mobil-mobil bergerak tersendat mengikuti arah-arah jalan yang bersliweran. Matahari mulai condong dan sinar emasnya menyentuh ujung Town Hall serta ranting dedaunan berwarna jingga yang bertiup-tiup dimainkan angin dan burung yang beterbangan. Beberapa turis tampak sibuk mengambil gambar di QVB yang antik itu, sementara beberapa pemuda dan pemudi kongkow-kongkow asyik di depan Town Hall dan di emperan QVB, berpelukan. Inilah Sydney!
Aku menikmati benar pemandangan itu, mencoba kembali bersyukur dan bersyukur untuk kedua bola mataku yang diijinkanNya melihat semua ini.
Aku berjalan tiga blok ke depan hingga tibalah aku aku di depan pintu kantor Joyce tepat pukul 5.20 pm.
Istriku tampak di balik pintu, tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku. Segera ia berpamitan dengan kolega-koleganya lalu melangkah keluar dan menggamit tanganku.
“Mau kemana kita, sekarang?” tanya istriku.
“Hloh… lha ndak tahu, kamu maunya kemana?” Kukecup keningnya lembut.
“Makan! Hihihihi.. tapi dimana ya?”
“Hmm kalau kamu tanya aku, aku pilih di Parramatta aja, Hon.”
“Kenapa?”
“Karena aku tahunya cuma Parramatta hahahaha!”
“Dasar!!!”
Joyce mencubit perutku yang mulai menyembul lagi setelah sebulan lebih tak menyentuh gym.
“Ya udah kalau kamu maunya ke Parramatta, sekarang kita balik aja ke sana naik kereta.”
Maka, pengalamanku hari itu merambah City tak selama yang kubayangkan. Kami segera turun kembali ke bawah, menuju Town Hall Station lalu kembali menaiki kereta menuju arah Parramatta.
Tiba di Westfield, Parramatta 30 menit setelahnya, cuaca yang tadinya panas itu telah mulai melemah, angin dingin mulai berdesir kuat dan kencang ke sana kemari.
Tempat pertama yang dituju Joyce adalah East Way. Istriku sangat menyukai bubble tea buatan East Way dan oleh karenanya akupun jadi ketularan menyukainya. Ia memilih Earl Grey Tea plus Milk sementara aku mengambil Mango Green Tea dengan takaran gula yang hanya separuh dan seperti biasa, tanpa es.
Sambil menikmati bubble tea, kamipun berjalan ke arah percetakan foto untuk mengambil pesanan yang sudah jadi. Foto terambil dan hasilnya cukup memuaskan meski ternyata telalu besar karena aku salah melihat tanda (inch) yang kupikir adalah satuan dalam centimeter.
Dari situ lantas kami berjalan menuju ke arah Vodafone untuk melihat-lihat harga plan cap nomer GSM.
Aku yang kebetulan banyak terlibat dalam internet merasa perlu untuk mulai memikirkan mengambil paket koneksi internet cepat sehingga bisa membantu mempercepat pengerjaan beberapa proyek yang sedang kukerjakan.
Setelah melihat kesana kemari akupun tertarik dengan penawaran Blackberry Bold yang dibundled oleh Vodafone dalam satu paket berkomitmen 24 bulan. Maksudku, kalau kita bersedia membayar sekian puluh dollar untuk menggunakan jasa layanannya, maka Vodafone memberikan secara cuma-cuma (ataupun sedikit biaya tambahan as instalment fee) handset yang kita maui.
Namun sayang, ketika kami menuju ke kasir, aku kurang membawa beberapa perlengkapan dokumen sehingga aku harus kembali ke sana beberapa hari sesudahnya.
Ketika kami keluar dari Vodafone, tepat di depan kami terpampang counter Three (3) yang adalah juga provider yang dipergunakan Joyce selama ini.
Kami lantas mampir ke sana dengan tujuan semula adalah untuk menanyakan siapa tahu Three memiliki offering yang lebih baik kepadaku ketimbang Vodafone. Namun karena mereka ternyata belum menyediakan layanan Blackberry, pada akhirnya Joyce yang malah banyak bertanya kepada para penjaga counter.
Setahun yang lampau, Joyce mengambil plan dengan handset DOPOD yang diberikan secara cuma-cuma.
Lalu karena beberapa bulan kemarin ia mendapatkan brosur penawaran untuk mendapatkan handset secara cuma-cuma, maka saat itu pula ia menanyakan ulang kepada para penjaga.
Tak menunggu waktu lama, kami pun dihadapkan pada pilihan-pilihan handset yang bisa dibawa pulang secara cuma-cuma. Pada awalnya aku tak begitu “ngeh” bagaimana mungkin ia mendapatkan handphone gratis tanpa harus membayar instalment fee dan tanpa harus menukar DOPOD lamanya hingga akhirnya akupun menyadari bahwa hal itu benar, dan akupun semakin terbengong-bengong…
Joyce pun memilih, dan atas saran dan pertimbangan dariku, ia memutuskan untuk mengambil Nokia seri E71 lalu kami melenggang pergi begitu saja.
Malam telah semakin larut. Matahari sudah cukup lama menghilang dan udara Sydney seperti menjadi sosok yang amnesia. Ia seperti lupa bahwa tadi siang ia bisa begitu gahar dan malam ini kembali disajikan suhu dingin yang membuat kulit merinding dan gigi ber gemreletak tak keruan.
“Kamu udah laper, Hon?” tanya Joyce padaku.
“Iya. Kamu laper?”
“He eh, banget… Kamu mau makan apa?”
Wajah Joyce tampak bersinar-sinar terlebih setelah ia mendapatkan handphone secara gratis tadi.
“Apa aja deh… Thai, Vietnam, atau apapun.. Manut.”
Kami lantas berlabuh ke sebuah Thai Food yang terletak di gerai pinggir halte bis.
Aku menyantap.. ah aku lupa namanya, pokoknya daging sapi yang dicampur dengan sejenis kwee tiau serta ditaburi daun-daun basil (kemangi) di atasnya.
Disajikan secara panas, lalu kutambahi dengan beberapa sendok cutted chilli yang dari aroma dan rasanya membuat semacam “gerakan perlawanan” terhadap rasa dingin yang menggigil.
Satu jam kira-kira kami di sana, dan sesudahnya kami pun beringsut beranjak ke warung kopi, menyeruput satu long black coffee.
Berdiskusi dengan Joyce kuakui adalah sesuatu yang sangat menarik.
Aku merasa tak salah pilih istri karena aku mendapati dia sebagai orang yang sangat open mind dan tidak mau ketinggalan jaman meski jauh pula dari kesan memaksakan diri untuk sok-update seperti beberapa yang dulu kukenal.
Di selasar itu kami berbicara banyak hal. Mulai dari kawan-kawan kerjanya, pengalamannya ini dan itu hingga hal-hal yang sedang terjadi di tanah air.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10.20 pm sedangkan besok belum lagi weekend.
Kami berjalan bergandengan menuju ke tempat parkir, mengambil mobil lalu berkendara pulang ke rumah.
Joyce memutar lagu-lagu lama Indonesia era 80-90an. Mulai dari “Semoga” nya KLa, “Kau yang Terindah” Java Jive dan masih banyak lagi mengalun menemani kami di tengah jalan yang semakin sepi.
Sementara di atas sana bintang berkelip menemani rembulan yang menggemuk besar, kukeluarkan mobileku dan pada status YM! nya kutuliskan apa telah kutuliskan di atas:
“MULAI KERASAN DI SYDNEY, I LOVE THIS CITY!”
Berciuman!
Ya, Simba dan Joyce sedang berciuman…:)
Sunday morning @ Pauls House
Hehehe late night shopping.. dulu waktu pertama ke Sydney juga kagum dgn kemalesan bule yang masi sore2 kok udah tutup toko :P
Btw oohh itu tho Simba (di posting juga hehehehe, makanya gue komen nehh) Hi Joyce!
Bukan bulenya yang males tapi kita yang terlalu nafsu belanja tiap hari kaleeeee…:)
Gw jadi bayangin itu bule kali bakalan eneg ngeliat kita bahkan di Indo sekarang mulai punya budaya midnite shopping ya.. huahuahua…
Pantes bule putih, tidur sorean mulu *gag nyambung mode is ON*
ahhhhh memang lain yang masih pengantin baru. jalan-jalan tanpa tujuan saja seakan special date.
makanan Thai…yummy… hati-hati berat badan don…
salam pada joyce juga simba
EM
Berat badan? Jangan kawatir, besok mau nge gym lagi hahaha!
Hi senangnya……ikutan senang mendengar Donny udah mulai krasan.
Memang sebetulnya menikah itu indah Don, asalkan ketemu dengan pasangan yang cocok…
Jawab tuh pertanyaan DM di blognya dia (menanggapi komentarku di krisis identitas), tentang merger dua hati.
Foto-fotomu semoga menggugah temanmu untuk segera mengikuti jejakmu…
(salam buat Joice)
Ibu, saya sudah bales di blognya DM, semoga dia tersadar ahuahuahuahuaua…
Salam nanti saya sampaikan Ibu, Joyce sedang bekerja sekarang. Hehehehe…
Sip,am very happy for you!
Kerasan? Hihihi…jangan-jangan kamu lebih kerasan di Tana Samawa…
Kalem Don, menjadi kerasan itu kan berproses dan saya yakin kamu orang yang bisa beradaptasi dengan mudah (ih sok tahu ya).
Menemukan kalimat “in a way” disini. Jadi teringat dengan seorang teman yang tinggal di Melbourne, butuh waktu lebih dari sebulan buat mencari padanan bahasa Inggris untuk penggunaan kata “secara” dalam bahasa Indonesia yang akhir-akhir ini salah kaprah…Katanya kira-kira begini, “secara” baru sepuluh tahun ninggalin Indonesia kok udah gak kenal bahasa sendiri? ;))
Ah ini cuma intermezzo… Jangan lupa jaga kesehatan semuanya :)
waktu itu kan saya ada didalan bis itu mas, kok ga ngomong sih kalo butuh uang kecil…, xixiix kaburrrrr :P
Oh ya..? Kamu kok ada dimana-mana… Tuhan atau hantu hihihihi
Akhirnya kerasan juga. Lagian siapa sih yang nggak kerasan kalau selalu berdekatan sang buah hati tersayang. :D
Mas Rafki, kalau ndak salah buah hati itu hal yang identik dengan anak dan saya belum punya anak hahaha…
sek..sek…dab !
ada yg ngganjel.., lha wong diatas selalu cerita naik bis, naik kereta, kok ujug2 penutupnya mengambil mobil…
apa di ostrali selain bisa dapat handset gratis, bisa dapat mobil gratis juga ? :D
Nggak Mas, nek kuwi memang kami ada mobil kok.
Tapi untuk keperluan sehari-hari yang ndak perlu2 banget naik mobil ya kami naik bus.
Seperti misale nek bojoku meh ngantor atau aku pergi ke kantor administrasi gitu ya mending numpak bis utowo kereto.
Nek lungo-lungo adoh koyo kondangan, atau mlaku-mlaku menyang city sing baline mesti bengi banget which is kuwi ra ono bis maneh, yo aku numpak mobil.
Irit tapi realistis, ada tapi nggak foya-foya
Ngono!
akhirnya selesai juga bacanya, … kali ini kok ngga ada sesi abg hehehe…
btw. semoga tetap diberi kekuatan untuk menghadapi hal-hal yang bisa membuat ngga kerasan …
*saya juga lagi seneng denger lagu era 80-an nih .. nicky astria .. “lagi-lagi uang” :)
Hehehehe.. kalau Nicky Astria lebih suka yang “Cinta di Kota Tua” :)
Makasih doanya!
Jangan lupa sun cream SPF30+!
Wajib hukumnya, otherwise jadi deh tuh Donny panggang…hehehe
Wah belum beli tuh… besok deh aku beli hahaha
Mumpung ini baru pinggirannya Summer ya…!
Lagian cari parkir mobil susah…ya ngga, pak? :p
Bukan soal susahnya, Bu.. tapi soal MUAHALLNYAAA ahuahuahuaa…. kebangetan ih!
Wah… sudah hari keenam yah?
Hari-hari kedepan pasti penuh tantangan, kesempatan dan pengalaman baru.. betapa menyenangkan…:)
Pasang foto2 lokasinya lebih banyak dong Don.. pengin tahu neeh…
Hehehehe, ya nanti kufoto-foto yah…
gimana gak kerasan. kan dah ada hon2nya. salam ya. eh, disana ada yang namanya pale richard gak? hahaha…
Pale Richard ngga ada.. yang pada paleloe peyang!
Hahahah … Buruan lulus Feb, salam untuk anak2 kampus!
wah saya ikut berdoa mudah mudahan kerasanya sampe lama
tentu karena belahan hati ada selalu
dan ada tugas yang Tuhan berikan untuk anda di sana to
selamat
syukurlah kalau sudah mulai kerasan, mas donny, apalagi ada mbak joyce yang selalu setia menemani. itulah dinamika pasangan hidup. saling memotivasi dan memberi arti ttg makna hidup yang sesungguhnya. salam hangat!
Wah, nggawe tumpeng, Don. Undang tetangga-tetangga sebelah. Huehehe.
hehe..tapi iya kok.. yg lagi pacaran masuk thn keempat aja masih suka begitu, ada suatu waktu lagi nge-date rasanya kyk lagi pdkt kyk jaman duluu.. dan itu rasanya senenggggg bangett dehh!! hehehe… doain aku terus ya bro :)
oke,oke…..wis mudeng aku :D
wahahahaha saya datang lagi setelah kegilaan jadwal yang mencekik XD
oya apik lah don selamat menikmati summer yah.
Jadwal apa jadwal hahahahaha..
Summer yang ngga nggenah summernya Mon.
Salam dari jauh ya!
wah sip don! gek bancakan hehehe..