Mudahnya beragama di negeri non-agamis

8 Nov 2016 | Cetusan

Rozzelle, 5 November 2016.
Di kawasan inner west of Sydney berjarak empat kilometer dari pusat kota itu, aku dan keluarga menikmati sabtu sore. Mengudap kopi, melihat anak-anak menikmati ice cream, sementara angin sepoi berhembus mendinginkan terik seharian.

Ramai orang berlalu lalang sore itu. Ada yang berbelanja buah dan sayuran di local grocery, ada yang mengamat-amati lapak barang second hand yang digelar di taman seberang, ada pula yang kongkow-kongkow asik dengan pacar ataupun sendirian membaca buku dan menikmati snack sore di atas rerumputan taman.

 

Ini adalah tahun ke delapan aku tinggal di negeri nan sekuler, Australia dan kian hari aku kian mensyukuri kesempatan ini; untuk ada dan tinggal di sini.

Sehari sebelumnya, aku penat memantau linimasa terkait demo besar 4 November 2016 di Jakarta.

Karena nila setitik, ratusan ribu massa meluap di jalanan protokol ibukota meringsek ke depan istana. Susu sebelanga pun koyak meski semoga tak rusak, mereka mengejar Ahok yang dianggap menista agama, tapi ketika sudah dituruti kemauannya, isu ter-eskalasi ke tingkat berikutnya: turunkan presiden!

Kenapa agama begitu mudah dijadikan bahan pergunjingan? Karena Tuhan, yang digambarkan di sana tak tampak ‘batang hidungNya’.
Tuhan tak kasat mata dan hal ini dimanfaatkan oknum untuk menjadi tuhan bagi kepentingannya dan syahwatnya masing-masing. Persis seperti apa yang dikatakan gubernur berdarah cina itu, mereka membohongi memakai dalih-dalih keagamaan…

***

Tak jauh dari rumah tempat tinggalku di sini ada sebuah gereja yang tinggal tunggu waktu untuk dihancurkan lalu di atasnya akan dibangun apartemen elit. Sebagai orang yang mencoba hidup dalam tata aturan agama, aku tentu merasa terpukul, prihatin karena rumah Tuhan diringkus meski di sisi lain aku justru ditantang untuk mengambil nilai positif dari yang diperbolehkan terjadi olehNya.

Sekulerisme

Gereja yang akan dirubuhkan dan baliho tentang apartemen yang akan didirikan…

Gereja itu memang sepi dari umat, posisinya berhadap-hadapan dengan gereja yang biasa kudatangi setiap akhir pekan. Tapi sejak kantor pemasaran apartemen itu dibuka, sejak baliho besar berisi rekayasa bangunan yang hendak dibangun dimunculkan, mendadak gereja jadi ramai meski tidak untuk berdoa dan memuji Allah tapi untuk menguji sejauh mana uang yang didapat mampu menebus petak-petak apartemen yang ditawarkan.

Agama mungkin memang makin ditinggalkan di sini tapi kebebasan beragama tetap dijunjung tinggi. Meski memiliki akar kristiani eropa yang begitu kuat, Australia adalah negara yang pemerintahnya menolak campur tangan agama apapun ke dalamnya.

Di negara ini, seperti halnya orang bebas telanjang, media juga seolah bebas menelanjangi tokoh-tokoh agama. Saat ada seorang pastor yang diduga terkait kasus pelecehan seksual, media begitu keras menggiring dan menyudutkan. Bahkan seorang kardinal sekelas George Pell yang ditunjuk Vatikan membawahi divisi ekonomi kepausan pun harus mengalah pulang ke Australia untuk memberikan keterangan (dan bukannya tak mungkin ditingkatkan statusnya jadi tersangka) terkait kasus pelecehan seksual yang dituduhkan kepada pastor bawahannya saat ia masih bertugas di sini.

Menyedihkan? Terserah masing-masing pribadi menanggapi tapi ketika bicara soal hukum, negara yang punya kuasa.

Di Australia, agama dikembalikan ke ranah pribadi masing-masing, orang tak peduli apakah agamamu itu mayoritas atau minoritas, menyembah satu tuhan atau sejuta tuhan, setebal apa kitab sucimu, selama kehadiranmu dan kebiasaanmu beragama tak merugikan orang lain kamu bebas memeluknya.

Orang menjalankan agama seperti halnya orang memilih mobil di sini dan seharusnya di mana saja. Secinta-cintanya kamu pada mobil, tak perlu memenuhi percakapan dengan teman hanya soal mobil melulu. Tak perlu juga mengomentari mobil orang lain lagipula bukankah hidup ini tak hanya soal mobil?

Justru kalau mobilmu bagus, buktikan bahwa ia bisa kamu kendarai dengan baik pula sehingga kamu bisa lebih tepat waktu? Bisa pula kau pergunakan mobilmu untuk memberi tumpangan pada orang lain serta mengangkut orang sakit ke rumah sakit jika diperlukan misalnya? Kalau enggak? Percuma bicara mobil.

Barangkali itulah yang membuat kehidupan beragama di australia cukup baik dan orang tak bergeming tentang agama yang dinista, bagaimana Yesus dijadikan umpatan, dijadikan cacian, dianggap fiksi dan ketinggalan jaman.

Marah? Jika boleh memilih tentu marah, tapi untuk apa? Bukankah lebih baik membuktikan bahwa meski dijadikan umpatan, kita muridNya sanggup berbuat baik termasuk bagi yang mencaci dan mengumpat?

Rozzelle, 5 November 2016.
Matahari semakin condong ke barat dan angin makin kencang menerpa… Aku menengadah ke langit dan bersyukur karena Ia tak pernah menghentikan berkatNya terhadap negara sekuler ini, negara yang sistem pemerintahannya kerap dianggap momok dan musuh modern bagi penganut agama-agama padahal siapa tahu Tuhan justru sedang berencana untuk mengubah perilaku kita dengan menggunakan sekulerisme itu sendiri?

Siapa tahu…

blog_sekulerisme_01

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.