Minta Maaflah Sebelum Dimaafkan

22 Apr 2008 | Cetusan

Satu kata termasuk yang terindah di antara semua kata yang ada menurutku adalah maaf.
Bagiku, orang yang mau mau meminta maaf adalah bumi yang rendah hati dan orang yang memaafkan adalah langit yang mengungkungnya dengan penuh kesetiaan.

Kemarin siang ketika sedang sibuk memikirkan pekerjaan seperti hari-hari sebelumnya, tiba-tiba aku dikagetkan oleh “BUZZ” dari seorang kawan lama.

“Tumben loe bisa minta maaf ke orang?!”

“Heh? Maksudmu? Lha kok tiba-tiba nge-buzz dan bilang begitu?”

“Dasar Jawir hahahahahah! Ituhh.. di blog loe, loe minta maaf ama si Yulia gitu?”

“Heh? Yang mana..?”

“Ditulisan loe soal Prostitusi itu!”

“Oh… iya, iya. Lha emang knapa? Ndak boleh tho buat minta maaf gitu?”

“Ya itu diluar kebiasaan loe ajah! Tapi baguslah kalau loe bisa begitu!”

Aha! Intinya cukup jelas, teman tadi mengungkapkan kekagetannya melihat saya secara terbuka dan lapang dada mau meminta maaf atas kekeliruan yang telah kulakukan secara sengaja.
Setelah kupikir memang betul juga. Secara administratif, aku punya kuasa untuk tidak mempublikasikan pendapat seorang teman baru, Yulia, tersebut, akan tetapi aku mempublikasikannya! Dan sudah barang tentu konsekuensi yang mesti kuhadapi adalah meminta maaf lalu mengedit beberapa tulisan yang memang tidak terlalu senonoh ditinjau dari satu sudut pandang sehingga membuat tulisanku tak terlalu seimbang.

Kejadian itu secara tak sengaja justru membuatku belajar banyak lagi tentang arti kata maaf.
Merasakan betapa maaf adalah sesuatu yang begitu mahal untuk kita dapati sekarang ini.
Semakin jarang aku mendengar ucapan maaf secara tulus setiap orang bersalah pada kita, demikian juga sebaliknya, semakin jarang pula kita berani untuk meminta maaf kepada mereka yang menurut kita telah kita cederai dengan kesalahan.

Butuh kesadaran serta ketulusan yang mampu menguatkan lidah untuk berucap maaf ataupun memaafkan.
Kesadaran adalah ketika kita mau set back ke belakang menilik apa yang mungkin memang benar-benar salah dan ketulusan adalah ketika kita mau mengangkat salah itu dan mengungkapkannya dengan maaf pada saat sekarang.
Tanpa dua hal itu tadi, kupikir maaf dan memaafkan hanya akan menjadi kerak yang tak terucapkan yang karam ke dalam hati entah sampai kapan atau untuk selamanya.

Jadi, Mbak Yulia…
Terimakasih untuk mengingatkan saya sebab secara langsung Anda telah membuat saya merenungkan kembali kata yang tergolong terindah, maaf.

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Ini konferensi pers ini? ;))

    Balas
  2. Wah, saya jadi harus komentar lagi nih :) Terimakasih telah berbesar hati. Padahal di komentar saya justru saya minta maaf kalau pendapat saya menyinggung hehe tenang mas, saya suka kok tulisan2nya. Cerdas :) Dan saya salut untuk “minta maaf” nya yang tentu saja, bukan ditujukan pada saya, bukan? ;)Tetap menulis! (dan saya akan tetap membaca)

    Balas
  3. @DM: Salah satu nguri-uri kabudayaan kenarsisan adalah dengan menunjukkan semuanya ke khalayak termasuk permintaan maafnya hahaha

    @Yulia: Yeah! Hihihihi….

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.