Mimpi Tunggonono Membubarkan Parlemen

28 Agu 2008 | Cetusan, Tunggonono

Alih-alih rencana kongkow bareng Tunggonono ke coffeeshop sebelum berangkat ke Australia terlaksana,
lha wong ketemu muka di kantor dengan orang yang dulu pernah begitu dekat denganku itu saja sulit!
Kami sama-sama sibuk. Aku sibuk dengan pekerjaan, penyelesaian kuliah, dan persiapan migrasi, sedangkan Tunggonono yang sekarang lebih rapi karena berseragam dan
tak berjambang tak berkumis itu juga selalu sibuk, kalau nggak nerima dan ngantar tamu ke front officer di front desk,
memandu parkir mobil-mobil yang lalu lalang keluar masuk kantor atau memelototkan mata ke delapan penjuru mata angin untuk sekadar memastikan bahwa semuanya aman.

Hingga semalam, mungkin sangking kangenku padanya, pertemuan dengan Tunggonono pun tercipta meski hanya di alam mimpi.
Dalam tidur lelapku, ia hadir di sana …

Penampakannya aneh, tak seperti pada kenyataannya. Ia tak tampak ndeso apalagi bodo.
Ia mengenakan jas kuning kecoklatan layaknya jas almamater, bercelana jeans, mengenakan kaos bertuliskan “Freedom For Our Country” dan di kepalanya terikat sebuah kain merah
putih mirip dasi Pramuka jamanku muda dulu.
Aku pun terkagum-kagum dibuatnya.
“Weh… njanur gunung Nggon dadananmu itu kok bolehnya setil nan mbois!”

Ia yang kupikir akan tersenyum dan njawab glenyengan ke aku seperti biasanya, we lha kok malah njawabnya keras betul.
“Loh.. Si Bos. Ya harus begini ini! Mahasiswa jhe!”

Blaik!
Tunggonono?
Mahasiswa?

“Lho Nggon, kamu mahasiswa mana jhe kok aku malah baru tahu?”
“Heh! Saya ini mahasiswa pokoknya! Si Bos aja yang ndak pernah tanya dan perhatian ke saya!” tangannya mengepal-ngepal dan tatap matanya nyalang.

“Ouwww.. OK, OK! lha njuk mau kemana jhe ini?”
“Demo, Bos! Demo!”
“Oh”
“Mau ke parlemen! Mau nuntut parlemen dibubarkan!”

Horotoyo!
Kok jadi begini ini?
Berdasarkan pengalamanku yang sudah-sudah, Tunggonono ini selalu meminta “lead” dariku kalau sudah omong soal pulitik beginian.
Tapi, meski hanya di alam mimpi, kenapa ia jadi seperti ini?

“Lha kenapa mesti dibubarin, Nggon?”
“Halah Si Bos ini nggak peka! Apa ndak pernah mbaca koran? Percuma langganan kalau cuma dijadikan bungkus kacang! KURUPSI, Bos! KURUPSI!”
“Siapa yang kurupsi?”
“Itu, anggota parlemen itu!”
“Lha bukannya udah wajar?”
“Loh! Si Bos ini kok aneh.. kurupsi kok dibilang wajar tho?”
“Loh.. lha iyo kan orang butuh duit tho Nggon, wajar tho?”
“Wajar piye tho? Lha itu duit negoro jhe! Duit rakyat, duit saya dan duit panjenengan! Pokoknya parlemen itu mesti bubar, Bos!”

Wah, saya pun jadi grusa-grusu mendengarnya.
Bukan! Bukan karena saya pengen ikut kayak tahun 1998 dulu berhiruk-pikuk bersama teman-teman seangkatan,
tapi lebih karena khawatir bagaimana jadinya kalau yang demo itu Tunggonono yang adalah preman ndeso yang kadang zonder perhitungan kalau sedang nggebuki orang.

“Tapi kan semua harus pakai jalan damai tho, Nggon? Ndak bisa mbubarin parlemen pakai cara barbar dengan demo nan anarkis gitu! Parlemen kan yang memilih juga kita lewat Pemilu!”

“Lho, jangan nuduh, Bos. Kami mau demo yang nggak anarkis kok. Lagipula aku golput kok! Golput! Jadi aku dulu ya nggak ngerasa milih mereka!”

Wah kojur tenan batin saya.
“OK! OK! Tapi apa cuma karena korupsi njuk parlemen meh kamu bubarin?”

“Nggak cuma itu thok, Bos! Si Bos ini nggak gaul sih… Parlemen itu kerjanya cuma tidur di sidang, mbikin skandal esek-esek!”
“Weh jangan gitu tho, kan nggak semuanya kayak gitu. Mereka juga berjasa mbikin undang-undang lho.”
“Halahhh… ya mbikin undang-undang, ya ngangkat pejabat…itu semua rata-rata ya pake pelicin, Bos! Kurupsi! Kurupsi!”

Saya cuma bisa ndomblong mendengar Tunggonono yang seperti sedang pemanasan berorasi di depan saya, mantan bosnya.

“Lagipula Bos, kata Pakdhe Ibra*, republik yang didirikan dengan mengandalkan pembagian kekuasaan dalam eksekutif, yudikatif dan legislatif seperti yang itu tidak efisien dan hanya menghasilkan kerusakan.
Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas!**”

“Oh, lha kok gitu? Trias Politika itu kan ajarannya Mbah Montesquieu tho?
Terbukti apik kok resepnya, mangkanya saya dari tadi bertanya-tanya kenapa kamu bilang parlemen harus dibubarkan, Nggon!?”

“Halah! Dengar dulu, Bos! Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan 5 tahun sekali. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang
sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur baur lagi dengan rakyat, seharusnya
mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat!***”

“Oh…?”

“Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka
wakili!***”

“hhhh”

“Dengan sendirinya parlemen akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan. Akhirnya, parlemen tak lebih dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol!
Mereka adalah para jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar. Anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya
tinggi!***”

“Sik-sik.. Aku salut dengan penjelasanmu kuwi, Nggon. Tapi kalau begitu kan kuncinya ada pada piye caranya supaya mereka tetap keep in touch dengan rakyat yang memilihnya, tho? Nggak perlu
sampai dibubarkan tho?”

“Iya! Tapi apa itu sudah mereka lakukan secara efektif dan efisien? Apa waktu selama periode mereka itu masih kurang untuk melakukan itu semua, hayo?” Tunggonono tersenyum sinis.
Bibirnya yang legam diangkatkan sebagian.

“A…a… ya piy…” Aku yang tak siap dengan “serangan” seperti itu pun hanya bisa tergagap-gagap tak keruan.

“Bener kan?!” Sergah Tunggonono cepat.
“Udah gitu, parlemen itu mahal diongkos Bos, jadi mending bubarin aja tho!”

“Sik tho.. sik tho! Kalau cuma itu alasannya ya mbok jangan dibubarkan, kasihan mereka dan keluarga mereka juga tho bakal kehilangan penghasilan. Jangan kesusu gitu tho!”

“Welahh.. si Bos ini, kok bolehnya toleran kebangetan. Apa ya mereka itu mikir perut saya, mbakyu saya, simbok saya dan bapak saya?
Apa mereka itu ya mikir gimana susahnya cari makan? Apa mereka itu ya mikir gimana edan-edannya harga BBM yang pada naik itu di mata rakyat?
Wes lah Bos… keburu kesiangan, aku tak cepat-cepat berangkat dulu ditunggu rekan!” Lalu tubuhnya pun berlalu dari hadapan saya begitu saja.
Saya pun tercekat, tiba=tiba ada perasaan yang mendesir di dada mendengar omongan Tunggonono yang terakhir ini tadi.

Tak lama aku pun terbangun dan memastikan itu sebuah adalah mimpi yang nyatanya tak terjadi, meski desiran di dada itu tetap ada dan terjadi…

*Nama panggilan Ibrahim Datuk Tan Malaka
** Kutipan dari Majalah TEMPO Edisi Khusus Kemerdekaan, 11 – 17 Agustus 2008, Republik dalam Mimpi Tan Malaka, Hal 72
*** Kutipan dari Majalah TEMPO Edisi Khusus Kemerdekaan, 11 – 17 Agustus 2008, Republik dalam Mimpi Tan Malaka, Hal 73

Sebarluaskan!

26 Komentar

  1. Jadi kepikiran, kalo Ndoro-ne ke Ngostrali njur gimana kelanjutan si Tunggonono?, akankah dengan sangat sadis di-layukan begitu saja karakter ini..

    Balas
    • Entahlah, aku juga masih bingung, Pokoknya either si Tunggonono tetap tinggal di Jogja dan aku masih berhubungan dengannya, atau ia kuceritakan ikut pindah ke Australia. Yang jelas tak kan kulayukan, Pak. Tenang saja.

      Balas
  2. Keren tulisannya, Mas!
    Keprihatinan Anda, keprihatinan semuanya!

    Balas
  3. Aiih…. Tunggono is back !! kemana aja dia selama ini? ;)

    Balas
  4. @Tanti: Ndak kemana-mana, lagi sibuk ngangsu lan umbah-umbah di belakang, Mbak.

    Balas
  5. Akhirnya muncul juga…:))

    Balas
  6. Salam kenal :) mau baca2 tulisan yang lain dulu ya Mas… dipanggilanya Mas ya?

    Balas
    • Mas boleh :)
      Tapi saya lebih nyaman dipanggil DonnyVerdian atau DV saja… Ah tapi itu sebenarnya tak penting.

      Balas
  7. Tunggonono = Tunggulah?
    Wah mantep iki! :D

    Balas
  8. Semoga Donny jika di Aussie tulisannya tetap kritis. Australia nya dimana? Anak sulungku sempat mengikuti kuliah di University of Queensland selama 3 semester, kerja sama UI intl-UQ

    Balas
    • Ibu, saya nanti akan menetap di Sydney, NSW

      Balas
  9. Serba syulit…. parlemen dibiarkan… semakin “amburadul”, parlemen dibubarkan….. rakyat ngga punya perwakilan, sehingga pemerintah bisa sewenang2. Memang seperti tarik tali kolor tambang… huehehe….

    Balas
  10. duh isinya bener-bener… lucu sekaligus menyentil… jadi inget kalo aku jg golput, jadi merasa ndak pernah memilih :P

    Balas
    • Walah, kenapa nggak pernah memilih? Mendingan milih aja atuh, sapa tau jadi bagus negaranya :D

      Balas
  11. duh isinya bener-bener… lucu sekaligus menyentil… jadi inget kalo aku jg golput, jadi merasa ndak pernah memilih :P

    Balas
  12. test 123

    Balas
  13. dsadsa dsadsa

    Balas
  14. Ngomong apa sih Don? Akyu tak mengertiiihh……

    Balas
  15. Tunggonono betul: kalau anggota parlemen bersih, pasti dianggap aneh…

    Balas
  16. Wah.. postingannya agak kekiri-kirian… huehueheuhue

    Balas
    • Kok kiri tho?
      Lebih tepatnya ekstrim kiri Bung! Hahaha!

      Balas
  17. pas muncul…lam kenal sadja… eh..udah kenalan dink.. :)

    Balas
  18. saya kok jadi bermimpi agar negeri ini melahirkan banyak tunggonono, mas donny, hehehe :lol: berpandangan lugu dan polos, tapi visioner. kira2 idealisme tunggonono itu masih tetep bisa bertahan nggak ya, mas, ketika dia dapat kursi di senayan? kekekeke :grin:

    Balas
    • Konon, orang pertama di masa Orde Baru yang berteriak tentang perubahan sikap para wakil rakyat yang semula adalah demonstran pemihak rakyat ialah Soe Hok Gie.
      Gie memrotes kawan-kawan lamanya yang sudah mulai hanyut dalam arus hedonisme dan nikmatnya menaiki mobil Holden kala itu..
      Theres nothing new under the same and old sun, Pak :)

      Balas
  19. yah… doaku buat si tunggunono2 di luar sana.
    Satu yang saya kagumi… mereka bisa begitu hebat ketika ngomong mengenai idealisme untuk indonesia tercinta. dan untunglah ini bukan 98. kalo ini masi 10 th yang lalu deuh.. kasian si tunggunono… pasti dia dah ompong2 kena popor senapannya pak polisi.
    oh well… tunggunono, walaupun misalnya kau cuma karakter fiksi… percayalah bahwa membubarkan parlemen akan menciptakan anarki yang lebih marak. ya tentu aja kalo kamu maunya chaos ya silakan. cuma kalo ngga ya tempuhlah cara yang civilized.
    dan tunggunono, idealisme memang bullet proof (kaya quotenya felem v for vendetta), cuma idealisme itu ngga bisa ngasi makan orang yang lapar… sadarlah bahwa penindaklanjutan jauh lebih baik daripada demo.
    jadi tunggunono… jadilah orang yang bisa ngasih makan keluarga sebelum kamu turun ke jalan. mulai dari dirimu sendiri dalam setiap pembaharuan.
    — cuma sekedar bas-bus aja koq nggon, jangan dimasukin di hati kalo itu nyulek harga dirimu sebagai aktifis. walaupun itu fiktif belaka:D

    Balas
    • Namanya Tunggonono, Bos.. bukan Tunggunono :)
      MERDEKA!!!

      Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Tempe | TemuKonco - […] Awalnya pengen ikutan “ng-Umar Kayam” seperti Mas Donny di sini atau Mas Yudha di sini. Tapi ternyata saya tidak…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.