Milih mana, kebanjiran apa kepanasan?

31 Jan 2013 | Australia, Cetusan

Perilaku alam memang selalu mengesankan.
Di saat kalian yang di Jakarta menderita karena banjir dari hujan yang berkepanjangan, kami di Sydney yang berada 5500 km di selatan Jakarta, dilanda badai tropis yang menyengat.

Perhatikan perubahan suhu per-jam-nya.

Perhatikan perubahan suhu per-jam-nya.

Rekor hari dengan suhu tertinggi di kota Sydney yang bertahan sejak 1939 pun terpatahkan. Hari itu, Jumat 18 Januari 2013, suhu menembus 45.3 derajat celcius di pusat kota dan 46 derajat celcius di beberapa daerah lainnya di sekitar kota atau 0.1 derajat celcius lebih tinggi dari catatan tahun 1939 (klik di sini untuk melihat bagaimana Sydney Morning Heralds melaporkan kejadian tahun 1939 itu).

Jangan tanya bagaimana panasnya! Luar biasa! Yang paling sensasional adalah perasaan panas yang tak hanya datang dari atas tapi juga segala arah termasuk dari tanah/aspal.

Parahnya lagi, udara kering dan tak terlalu lembab membuat panas semakin terasa karena tubuh seperti tak diijinkan untuk mengeluarkan keringat. Tak hanya itu, tingkat humiditas yang sangat rendah juga menjadikan banyak titik api bermunculan di hutan-hutan (bush) di sini.

Puncak panas terjadi sekitar pukul dua siang dan mulai menurun menjelang sore, sekitar pukul enam. Setelah matahari tenggelam pukul 20.00 (kalau musim panas di sini matahari bertengger sampai selama itu sejak jam 6 pagi!) suhu telah semakin turun hingga 22 derajat ditingkahi angin dingin dari kutub selatan. Kedatangannya juga mengarak awan tebal ke daratan dan jadilah hujan pada tengah malam membuat pagi harinya terasa begitu sejuk dengan langit biru dan tanah yang masih basah seolah lupa pada panas yang memanggang sehari sebelumnya.

Nah, jadi kalian yang biasa mengeluh pada banjir, maukah kalian mengalami suhu sepanas yang kami alami kemarin? Sebaliknya, kalian yang mengeluh suhu panas di sini, apa lebih menyenangkan bagi kalian untuk berkubang air hujan dan banjir di Jakarta?

Dari dulu, sekarang dan selamanya, perkara ketahanan hidup memang menyoal pada sekuat apa kita mampu bertahan dan beradaptasi terhadap kondisi yang ada. Tak pernah kurang dan tak pernah pula lebih.

Sebarluaskan!

10 Komentar

  1. aku tahu gimana tuh rasanya panas sumpek begitu… apalagi kalau sempat ke lapangan tenis, itu bisa double double panasnya… bikin sumpek.

    kecepatan dalam beradaptasi terhadap satu lingkungan dan permasalahan adalah kunci untuk tetap bertahan hidup.. begitulah makhluk hidup berevolusi…

    Balas
  2. milih kesejukan

    Balas
  3. Jadi kita yang mesti beradaptasi ya?

    Balas
  4. wuihhh, sampe 46 derajat.
    memang dilema kalo keadaan kaya gitu, ga boleh ngeluh ya om.

    Balas
  5. Biasanya sih, manusia tetap MENILAI enak kondisi yang jauh dari dirinya, tapi tetap MEMILIH kondisi yang dekat dengan dirinya…..

    Balas
  6. Kalo saya sih ndak milih dua-duanya, soalnya kedua opsi terasa tidak menyenangkan. Mungkin lebih prefer ke komentarnya demityang2an, “lebih memilih kesejukan”, jawaban yang aplikatif.

    Balas
  7. “Dari dulu, sekarang dan selamanya, perkara ketahanan hidup memang menyoal pada sekuat apa kita mampu bertahan dan beradaptasi terhadap kondisi yang ada. Tak pernah kurang dan tak pernah pula lebih”

    Aku setuju sekali dengan kalimatmu itu, Don..
    Yang jadi soal bukanlah pada fenomena alamnya, tapi pada bagaimana cara kita menghadapinya..

    So, apakah sekarang masih panas membara juga di situ, Don?

    Balas
  8. Kalau di Pontianak ‘hanya’ pernah sampe 35 deh. itu aja udah panas banget >.<

    Balas
  9. Di Jakarta kalau panas, tertinggi 33 derajat…udah panas sekali. Herannya, saat pergi beribadah ke Makkah, walau di atas 40 derajat, panas tak terasa, mungkin karena khusuk beribadah.

    Pilih mana…tentu pilih yang sekitar 26-26 derajat deh….terlalu dingin badanku nggak kuat.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.