Merapi

11 Nov 2010 | Cetusan


Apa yang terlintas dalam benakmu ketika mendengar kata ‘Merapi’?
Sebagai orang kelahiran Klaten, kota administratif yang terletak sekitar 25 kilometer arah tenggara Gunung Merapi, ingatan paling awalku tentang Merapi adalah bahwa ia selalu menemani tatkala aku diboncengkan Mama di atas sepeda jengkinya, pergi ke gereja pada setiap minggu pagi. Gereja itu, Gereja Katholik St Maria Assumpta, terletak di tepi barat laut kota, sehingga bersama Merbabu ‘saudaranya’, Merapi bertengger begitu indah di utara gereja.
Aku selalu bertanya kepada Mama, mana yang Merapi dan mana yang Merbabu karena bagiku kedua gunung yang bersebelahan itu sama saja, sama-sama menjulang dan bertengger yang saking dekatnya seolah hanya berbatasan dengan sawah-sawah yang menghampar hijau di depan sana.
Nek Merbabu ki sing ora ono kebule..(Kalau merbabu itu yang tidak mengeluarkan asap – jawa)” ujar Mama sambil terus mengayuh jengkinya, suaranya terdengar disela deru kendaraan bermesin yang berlalu-lalang.
Oh.. dadi nek Merapi ki sing metu kebule terus yo, Ma? (Oh, jadi kalau Merapi itu yang selalu berasap ya, Ma – jawa)” tanyaku yang lantas diiyakan Mama.
* * *
‘Kecintaanku’ kepada Merapi menjadi-jadi ketika aku pindah domisili ke Jogja sejak 1993.
Saat tinggal di asrama SMA Kolese De Britto yang terletak di kawasan Papringan, Sleman, kebetulan kamarku menghadap ke arah utara dan waktu itu bangunan-bangunan tinggi di sekitar asrama belum bermunculan seperti sekarang ini. Mau tak mau, setiap pagi, hal pertama yang kulihat ketika membuka pintu kamar adalah Merapi. Ia seperti menjadi lekatan bagi Jogja bahwa ketika kamu memandang ke sisi utara dan ada gunung Merapi, maka kamu berada di Jogja.
Pernah suatu waktu aku berlibur ke Bali. Pada pagi pertama saat bangun pagi dan membuka kamar hotel, betapa terkejutnya aku ketika tak menemui Merapi di depan sana.
Aku sempat berpikir kemana perginya Merapi hingga beberapa saat akhirnya aku sadar bahwa aku sedang tidak ada di Jogja.
Ketika mahasiswa, masih di Yogya, aku bukanlah mereka yang berasal dari kelompok pecinta alam.
Beberapa kali memang aku naik gunung, tapi itupun kalau sedang niat saja, oleh karenanya aku belum pernah sekalipun naik ke puncak Merapi (satu hal yang pada akhirnya membuatku iri karena aku belum pernah ke sana)…
Interaksi terdekatku dengan Merapi hanya terjadi hingga ‘batas’ Kaliurang saja.
Nyaris setiap akhir pekan aku selalu menghabiskan waktuku untuk sekadar menghabiskan beberapa poci teh tubruk – gula jawa yang dijual di kaki gunung Merapi itu bersama sobat sambil menikmati dinginnya udara yang mengalir ke permukaan lalu lantas menjelang dinihari memutih membentuk embun… Saat ufuk timur merekah jingga, diiringi seruan adzan Subuh dan kokok ayam jantan, ia mewujud menjadi titik air yang menyegarkan dan itu semua adalah pertanda bahwa aku harus turun kembali ke Jogja…
Pernah pula suatu waktu aku dapat order untuk mengerjakan situs web Museum Ullen Sentalu yang letaknya juga di Kaliurang.
Demi memperoleh ‘pencerahan ide’, Pak Thomas, salah satu pengelola museum jawa itu lantas membebaskanku untuk berkunjung ke sana untuk ‘menimba’ sisi-sisi yang bisa kucurahkan ke dalam karyaku untuknya. Akupun tak menyia-siakan kesempatan itu. Beberapa kali aku ‘naik’ ke Kaliurang tanpa tujuan selain hanya merasakan atmosfirnya yang menyegarkan dan segera setelah ‘kenyang’, aku lantas turun ke Jogja dan kurasai saat itu, sisi-sisi yang harus kutaruh di dalam karyaku itu telah ikut turun pula bersamaku.
Moment itu adalah salah satu momen terbaik yang bisa raup dari interaksiku dengan ‘tanah’ Merapi. Hingga sekarang ketika aku menuliskan semua ini, anganku masih sanggup membayangkan segarnya udara yang kuhirup di atas sepeda motor yang mengantarkanku turun ke bawah di sore hari, rindang pohon menghijau yang memagari jalanan berliku ketika sinar matahari menjelang redup ke peraduan menyelinap di antara dedaunannya; dan kabut mulai mengulas ke bawah, suara muazzin masjid menyuarakan adzan, bebek-bebek yang rapi berbaris menyusuri rumput di pematang, nenek-nenek yang tersenyum pulang ke rumahnya setelah menjual hasil bumi ke kota adalah sebuah potret tentang kesempurnaan hidup yang sederhana namun menyegarkan.
Aku sempat terperanjat dengan ‘perangai’ Merapi pada Mei 2006.
Ketika gempa yang menggoncang Jogja itu terjadi, aku barangkali adalah satu dari sekian ribu penduduk Jogja yang mengira bahwa gempa itu adalah ‘ulah’ Merapi.
Setelah susah payah keluar dari rumah ketika gempa mengirama, pandangan kutujukan ke arah utara, tempat dimana Merapi berada…
Tiga minggu sesudahnya, setelah lelah membantu para korban gempa, aku bersama kawan-kawan akrab naik ke Kaliurang untuk melepas lelah, menyewa villa dan menginap di sana semalam lamanya. Kami begitu menikmati malam itu ditemani televisi beserta siaran langsung Piala Dunia 2006 di dalamnya, berpiring-piring makanan, berbotol-botol minuman beralkohol serta bergumpal-gumpal kegembiraan.
Menjelang pagi baru kami terlelap dan terbangun ketika sebuah gedoran mengguncang villa kami.
“Turun! Turun! Turun!” teriak mereka yang ada di luar villa yang kemudian kami tahu mereka adalah penduduk asli Kaliurang.
Kami terkejut sangat dan berpikir apakah ada gempa susulan yang lebih besar barangkali?
Sesaat ketika kami membuka pintu, tersadarlah kami bahwa permukaan jalan, ranting-ranting pepohonan serta atap-atap rumah telah memutih, berabu.
“Ayo gek ndhang mudhun! Merapi njebluk! (Ayo! Buruan turun! Merapi meletus! – jawa)” papar salah satu warga yang mengomando.
Hari terakhir ketika aku pergi meninggalkan Jogja untuk pindah ke Australia, akhir Oktober 2008.
Di dalam lambung pesawat yang kutunggangi, di antara sesak dan isak pedih yang kurasakan karena meninggalkan kota tercinta lengkap dengan orang tua, adik serta teman-teman dan sejuta kenangan yang pernah ada, sesaat setelah pesawat mengangkasa, Merapi adalah titik terakhir yang tak kulepaskan pandangku padanya hingga ia benar-benar tak tampak lagi dari penglihatanku. Pada saat itu, pada pucuknya yang mengepul… yang kemebul itu, aku berjanji bahwa ketika kupulang nanti, aku akan kembali menginjak tanahnya, tanah Merapi, apapun yang terjadi…
Beberapa waktu silam, beberapa saat setelah Merapi memulai erupsi besarnya, aku memangku Odilia, anakku yang belum setahun usianya dan belum lagi mengenal dan ‘menyentuh’ Merapi. Sambil menyimak televisi Indonesia yang kutangkap siarannya melalui parabola menyiarkan tentang duka yang begitu mendalam terkait dengan ‘bencana’ letusan Merapi.
Di antara sesaknya dada dan mata yang memanas mengiba, aku menggenggam tangan Odilia, kuarahkannya lengan dan telunjuknya ke arah televisi
“Sing metu kebule kae Ndhuk… Kae Merapi! (Yang berasap itu Nak… Itu Merapi! – jawa)”

Sebarluaskan!

17 Komentar

  1. kalimat terakhirnya marai nggregel, mas…

    Balas
  2. aq menitikkan air mata membaca alinea terakhirmu mas..

    Balas
  3. top markotop bro…

    Balas
  4. hm..Odi, gmana kesanmu tentang merapi? *menyusut airmata dengan tissue

    Balas
  5. apa kabarnya ya tempat ngeteh poci kita dulu? :(

    Balas
  6. Nanti kalo pulang kampung di schedule-kan untuk jalan2 ke Merapi sama Odi juga yah Mas :-)

    Balas
  7. Sayang saat ini telah hilang, orang-orang yang memiliki “pengetahuan lebih” tentang Merapi seperti Mbah Maridjan, Mbah Pujo, Kinahrejo dengan hutan Kina-nya, Kali Gendol telah menjadi Kawah gendol, Bahkan Cangkringan porak poranda di sekitar Kali Opak. 15KM dari puncak.
    Saya memiliki kenangan dengan Merapai, Kinahrejo dan Mbah Pujo sejak 2002. Mbah Pujo orangnya ramah, tanpa pamrih, suka bercerita tentang Merapi, rumahnya selalu terbuka bagi siapa saja. Cukup sedih mengetahui semuanya tinggal kenangan saja.

    Balas
  8. Argh… kalimat penutupmu itu Don… dahsyat!
    Terakhir aku ke lereng Merapi pada Lebaran kemarin bersama keluarga. Kami bermain di Kalikuning seharian dan berakhir di Bebeng. Ternyata, kunjunganku itu merupakan kali terakhir melihat hijaunya rerumputan di sana. Semoga semua segera kembali pulih…

    Balas
  9. kalimat seorang mama ke anakny akhirnya nurun ke sampean, hahahaha, *great*
    salam kenal,

    Balas
  10. kalimat terakhirmu Don, DAHSYAT!!!
    begitu indah kamu me-link-kan Odilia dg neneknya!!

    Balas
  11. Semoga merapi gak batuk lagi

    Balas
  12. Mengharukan Don…seneng ketemu orang yg bisa sama2 merasakan kecintaan pada Merapi.. Aku dadi smkn kepengen mulih..

    Balas
  13. meski merapi masih ngeri, mengerikan; namun memang banyak yang berpandangan sama. bagi mereka yang merasa merapi adalah tanah kampung leluhurnya, apapun yang terjadi merapi tetaplah tanah yang akan selalu mereka jaga.

    Balas
  14. Ah…
    terharu aku bacanya.
    Semua orang sedih sepertimu tapi tidak semua orang punya cinta yang sama dalamnya dengan dirimu…

    Balas
  15. Merapi memang sudah menjadi teman bagi penduduk dilingkungan sekitarnya.
    Saya mengenal Merapi karena di daerah ke arah jalan Kaliurang ada Sendik BRI…sering ada kegiatan disitu. Dan teman-temanku banyak yang ambil rumah di daerah Cangkringan, Kaliurang saat pensiun menjelang….sekarang semua berantakan.
    Merapi..indah saat masih tenang
    Menyeramkan ketika sedang batuk…
    Semoga Merapi cepat tenang ya Don.

    Balas
  16. aku sedih moco postinganmu sing iki, Mas…
    oiya, Merbabu kuwi nang buri ne omahku lho hehe…

    Balas
  17. Wow … dahsyat! Makasih untuk ‘pencerahan’ ini …

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.