Kamu punya hutang?
Aku punya! Nggak terlalu banyak lagi, gak seperti dulu dan nggak kepada orang tapi kepada bank meski sebenarnya bank itu ya sebenarnya dimiliki oleh orang atau perkumpulan orang juga! Mau bantu bayarin hutangku? Serius? Hehehe, nggak usah… thanks but no thanks. Mending kamu pakai untuk ngurusi keluargamu dulu atau… kamu pakai untuk membantu teman yang mungkin punya hutang ke teman lainnya.
Percayalah, hutang pada teman itu lebih menyesakkan daripada hutang ke bank! Hutang ke bank, kalau tak bisa nyicil atau melunasi, sangsinya jelas! Kalau nggak denda lengkap dengan bunganya ya penyitaan harta kekayaan! Hutang ke teman? Waduh! Kadang menyisakan kisah kolosal yang terjadi tak hanya terkait antara kita dan dia, tapi juga kita dan dia dan temannya dia dan temannya temannya dia yang ternyata adalah temannya temannya kita atau temannya temannya pacar kita! Ribet!
Aku sendiri punya riwayat hutang-berhutang yang tak terlampau baik sebenarnya. Ada masanya dimana aku terpuruk pada kombinasi keadaan yang menyesakkan; kondisi ekonomi orang tuaku morat-marit ditambah lagi dengan pola penanganan keuanganku yang juga tak kalah morat-maritnya. Akhirnya hidup hanyalah sekadar gali lubang tutup lubang. Hutang ke Si A, tahu nggak bisa bayar balik, hutang ke Si B untuk membayar hutang Si A. Hutang Si A lunas buru-buru harus menentukan siapakah Si C yang bisa dihutangi untuk membayar hutang Si B. Begitu terus-menerus…
Ketika aku tak sanggup membayar tagihan, aku memilih menghindar. Bersembunyi. Kalaupun ketemu di jalan cepat-cepat berbalik arah atau kalau nggak, bergerak secepat mungkin menutupi muka. Pokoknya jangan sampai ketahuan dan ada percakapan semacam, “Eh, Don! Kemana aja loe? Utangmu kok belum dilunasi?” Kalau lagi sendirian sih OK, bisa dihadapi, tapi kalau pas lagi boncengan dengan pacar? Muka mau ditaruh dimana, kan?
Lalu akhirnya datang kesempatan untuk berubah. Aku memutuskan untuk tak lagi berhutang! Atau kalaupun harus dan tak terhindarkan, aku berusaha untuk mengatur tenggat pembayaran dengan sebaik mungkin sesuai kesepakatan.
Nggak gampang, berat sekali! Apalagi diri ini sudah terbiasa dengan yang namanya nafsu. Nafsu membeli ini dan itu, nafsu menghabiskan uang untuk hal-hal yang sebetulnya tak terlalu penting.
Ujian berikutnya pun datang. Aku jadi pihak yang dihutangi.
“Don, pinjam uang boleh, Bro?”
Jawabku atas pertanyaan seperti itu biasanya amat tegantung. Tergantung pada situasi dan tergantung pula pada siapa yang hendak berhutang.
Kalau memang sedang pas-pasan ya jelas nggak bisa berbuat banyak selain menolak. Tapi katakanlah punya uang, aku juga tak sembarang.
Misalnya yang hutang adalah kawan yang tak terlalu dekat, kecuali amat mendesak, aku akan menolak dengan halus.
Mungkin kalian akan bilang, “Don, kamu nggak tahu diri! Dulu waktu masih miskin dan bokek juga hutang ke sana kemari, kenapa sekarnag menolak dihutangi?”
Begini.
Pertama, karena ia seorang kawan yang tak pernah dekat lalu tiba-tiba mendekat untuk berhutang, kenapa aku dan bukan yang lainnya? Kedua, karena aku tak mau kehilangan kawan. Kawan yang semula tak terlalu dekat akhirnya harus jadi musuhan karena telat bayar hutang lantas kukejar-kejar itu sama buruknya dengan kehilangan kawan hanya karena perbedaan pilihan calon gubernur jagoan dalam Pilkada mendatang!
Kalau yang hendak meminjam itu kawan dekat, aku lebih kuat lagi menolaknya. Kenapa? Lagi-lagi karena aku tak ingin kehilangan sahabat. Lebih murah mana, nilai nominal uang atau persahabatan itu sendiri?
Tapi, nah ini ada tapinya. Kalau kawan dekat tiba-tiba hendak hutang, aku akan tanya baik-baik apa yang membuat ia memutuskan untuk meminjam uang? Jika hal itu terkait dengan misalnya orang tua sakit, gaji habis karena harus dikirim ke adik yang studi di kota lain, aku akan memilih untuk memberikan ia bantuan, sebisaku dan semampuku. Aku tak akan minta untuk dikembalikan meski ia bilang, “Nanti kalau aku udah longgar pasti kukembalikan, Mas!” Bagiku, sumbangan atau bantuan itu tak untuk ditagih karena setiap uang yang kuhasilkan punya nilai sosial yang harus digunakan orang-orang di sekeliling dalam takaran tertentu pastinya.
Nah, bagaimana dengan kalian?
Apakah kalian biasa berhutang ke orang lain, bank atau bahkan rentenir? Bagaimana juga kalian mengelola hubungan dengan orang yang berhutang pada kalian? Adakah kalian setengah mati menagih hutang? Atau akhirnya karena sulit ditagih kamu memilih melupakan keduanya, ya si penghutang dan uang hutangannya itu sendiri? Atau, tega pakai debt collector?
Yuk berbagi informasi!
Terima kasih banyak tulisannya, Om Doni.