Menulis tanpa membaca, mungkinkah?

10 Sep 2015 | Cetusan

blog_videocontent

Pernahkah kamu mendengar petuah bijak bahwa untuk bisa menulis kita harus banyak-banyak membaca?

Percayakah kalian pada petuah tersebut? Tidak bisakah menulis tanpa membaca??Jika percaya saatnya kamu mempertanyakan dan menggugat kembali kepercayaanmu itu.

Dalam dua tahun terakhir hanya ada lima buku yang berhasil kulahap hingga tuntas toh aku tetap menulis dalam konsistensi yang ajeg dan kualitas yang? entahlah tapi kian hari kian banyak pembaca yang datang ke blog ini!

 

Masih relevankah kita membaca?

Mari kita memulainya dengan bertanya pada diri sendiri, ?Masih relevankah sebenarnya kita untuk membaca??

Supaya lebih dibatasi, membaca di sini adalah membaca artikel dengan panjang minimal 100 kata maupun buku.

Kapan terakhir kamu membaca dengan batasan seperti itu? Adakah kamu menemukan kesulitan untuk melakukannya?

Bagiku sulit!
Beberapa kali membeli buku, mereka lantas hanya teronggok di rak hingga berdebu.

Beberapa kali menemukan artikel menarik di Facebook. Sebelum mulai membaca kalimat pertama, aku scroll dulu ke bawah.. mengukur berapa panjang artikel. Kalau terlalu panjang, langsung aku tutup dan tinggalkan begitu saja.

Aku, entah dengan kalian, semakin lama semakin merasa tak nyaman untuk membaca sesuatu yang terlalu panjang dan alasan terbesarnya adalah kehabisan waktu.

Bagiku, kehidupan ini kian hari kian menyodorkan banyak hal untuk kita akses untuk kita kerjakan sementara ia tidak menawarkan perpanjangan waktu, hanya 24 jam dalam sehari, cukup tak cukup, terima jadi!

Jadi relevankah membaca pada masa kini?
Untuk dilakukan setiap hari, bagiku tidak relevan. Membaca bagiku kusejajarkan dengan berlibur ke rumah nenek di hari Lebaran; sesuatu yang mewah. Maksudku, sekali waktu kita perlu ?liburan? dari rutinitas harian yang terhimpit waktu dan membaca adalah bagian dari liburan itu.

 

Video

Lalu dengan karakteristik ‘waktu yang sempit’ konten seperti apa yang layak diakses, tetap berisi tapi tak makan waktu? Video jawabnya.

Menurut penelitian bertajuk Video Statistics: The Marketer?s Summary 2014 pada tahun 2017 nanti 74% dari seluruh trafik internet adalah video!

Selain itu ada beberapa fakta menarik tentang video dari penelitian yang sama, di antaranya adalah:

65% dari orang yang menonton video di internet menghabiskan lebih dari ? konten. Artinya, kalau kita suka nggak sabaran baca artikel dan cuma sekian detik lalu memutuskan keluar seperti yang kujelaskan di atas, nyatanya orang nonton video lebih sabar.

33% dari pemilik tablet PC menonton video setidaknya satu jam per hari pada device mereka

Dan ini yang paling menarik, 72.1 juta pengguna smartphone menonton video dari gadget mereka setiap bulan pada 2013 dan berkembang menjadi 86.6 juta pada 2014.

 

Video lebih menarik ketimbang teks?

Menurut Mbak Liraz Margalit Ph.D, seorang ahli penelusur online consumer behavior, konten video menarik karena otak kita 60 kali memrosesnya lebih cepat ketimbang saat kita membaca tulisan.

Hal ini terjadi karena ketika kamu membaca, otakmu harus bekerja memvisualisasikan apa yang kamu baca setahap demi setahap sedangkan ketika nonton video, indera matamu telah mendapatkan visualisasi langsung sehingga otak tinggal menerima secara cuma-cuma!

Karena lebih cepat masuk otak pula, video bisa menyentuh dan menimbulkan kelekatan kita pada konten video tersebut.

Contohnya ada pada kasus ISIS.
Pernahkah kalian berpikir kenapa ISIS bisa sedemikian menggentarkan dan kegentaran itu tersebar ke seluruh dunia?

Karena video yang mereka sebar. Melalui video mereka menebar pesan kekejian dan kengerian itu sehingga otomatis membuat kita gentar.

Bayangkan jika mereka merilisnya dalam bentuk blog tertulis? Perlu berapa penerjemah untuk menyampaikannya ke seluruh dunia? Tapi video, tanpa penerjemah ia mampu mengungkapkan pesan dengan lugas; tanpa persepsi lain yang mungkin lahir.

 

Theatre of Mind

Pertanyaannya sekarang, bisakah kita menulis tanpa banyak membaca dan berbekal video yang kita tonton? Tentu bisa, aku contohnya!
Mau tau caranya?

Nanti dulu, sebelumnya kita harus membedah petuah tadi. Bagiku, petuah ?membacalah jika ingin menulis? itu tercipta saat belum ada media-media bentukan lain yang bisa diakses.

Oleh karenanya, supaya lebih peka jaman, aku lebih suka membahasakannya sebagai demikian, ?jika ingin menciptakan dan membagikan informasi pada sesama, terbukalah terlebih dahulu pada informasi-informasi yang ada?

Nah, dengan begitu, kita tak perlu canggung lagi karena membaca dan menulis hanyalah salah satu sarana untuk menerima dan menyampaikan informasi.

OK, sekarang kuberitahu caranya supaya kalian tetap bisa menulis meski hanya dengan menonton video.

Syaratnya adalah theatre of mind.

Kalau kalian amati tulisanku di atas, dari apa yang dibilang oleh Mbak Liraz bahwa ketika membaca kita memvisualisasikan tulisan dalam otak sedangkan menonton video kita cukup menyaksikan.

Konsep theater of mind menurutku adalah merenungkan kembali video yang kita tonton lalu mereka ulang visualisasi di dalam otak. Jangan puas dengan visualisasi yang ditawarkan video, reka ulang dan kreatiflah seakan kamu adalah sutradara video tersebut!

Simak gambar ilustrasi yang kubikin barusan di bawah ini.

Bagan atas adalah ilustrasi bagaimana otak membangun visualisasi dari teks yang kita baca. Bagan bawah adalah bagaimana otak kita rangsang untuk membangun visualisasi versi kita meski ada visualisasi yang tercipta otomatis dari video yang kita tonton.

Bagan atas adalah ilustrasi bagaimana otak membangun visualisasi dari teks yang kita baca.
Bagan bawah adalah bagaimana otak kita rangsang untuk membangun visualisasi versi kita meski ada visualisasi yang tercipta otomatis dari video yang kita tonton.

Aku pernah dan sering melakukan hal ini, salah satu contohnya adalah saat aku menulis tentang Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua narapidana terpidana mati yang dieksekusi akhir April 2015 silam.

Aku tak membaca terlalu banyak berita-berita tentang mereka karena tak punya waktu. Aku hanya mengakses penggalan-penggalan video pemberitaan mereka di Youtube.

Dari sana aku merenung. Menghadirkan sosok Andrew dan Myu yang kutonton di Youtube ke dalam otak lengkap dengan bagaimana mereka berekspresi tersenyum dan gundah.

Lalu membayangkan bagaimana mereka berdua dipindahkan dari Denpasar ke Nusakambangan pada pagi buta dengan tangan dan kaki diborgol. Lalu bagaimana mereka menunjukkan ekspresi ketika dikabari bahwa hari pembunuhan mereka berdua telah ditetapkan.

Berlanjut kepada bagaimana mereka menghadapi jam-jam terakhir sebelum akhirnya mereka dibawa ke Lapangan Linus Buntu pada malam yang gulita untuk dimatikan secara terencana.

Setelah aku mendapatkan semua visualisasi ulang ke dalam otak, aku bersicepat mencari laptop dan menumpahkannya dalam bentuk tulisan ini dan kalian baca dengan penuh antusias!

Mudah, kan?

Lalu bagaimana tantangan konten developer termasuk blogger dalam menyikapi tantangan ini??Perlukah tetap harus menulis? Berapa panjang sebaiknya? Atau berganti peran jadi video maker atau berhenti sama sekali memproduksi konten dan duduk sebangku dengan para penyembah trend masa kini??Nantikan tulisanku senin depan!

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Bagi saya membaca tetap memberikan sensasi yang berbeda dengan nonton video. Dengan membaca membuat pikiran bisa berkelana yang dituntun bahan bacaan. Kalo nonton video hal itu tidak saya dapatkan. Jadi membaca tetap hal yang wajib dilakukan bagi saya. Bahkan saya mewajibkan diri saya dalam sebulan bisa menamatkan minimal dua buku.
    Kalo orang lain cukup membaca e-book, saya tidak mendapatkan “kenikmatan” kalo cuma membaca e-book.

    Balas
  2. Suka apa tidak suka format dalam penyampaian sebuah pesan dalam medium apapun akan terbagi dalam preferensi-preferensi yang dipilih oleh para konsumer. Jadi setidaknya pertanyaannya akan berbalik pada si content creator/pemilik blog, format seperti apa yang ingin dieksplor? Atau dari sudut pandang lain, pertanyaannya bisa jadi audiens seperti apa yang ingin dilayani?

    Jika pertanyaan tersebut bisa dijawab maka dari jawaban tersebut akan bisa ditentukan format seperti apa yang sebaiknya digunakan.

    Hanya menurut saya jika secara konsisten si blogger/content creator bisa menghasilkan konten-konten yang berhasil menarik minat banyak orang untuk datang dan mengonsumsi, maka profil audiens akan secara otomatis terbentuk regardless formatnya apapun. Audiens akan menurunkan ego mereka terhadap format karena kontennya sangat menarik.

    Saya ingat blog nya Seth Godin yang sampai saat ini masih menggunakan platform Typepad dan tanpa domain khusus. Kontennya selalu teks, paling jauh ia memberi kita link. Well memang sih kita tidak bisa serta merta langsung jadi seorang Seth Godin. Ada proses pencapaian yang panjang tentunya.

    Kira-kira begitu mas Donce…:-P

    Balas
  3. Dan aku baru kemarin, menyelesaikan membaca 1 buah novel. tuntas! Hal tsb terakhir terjadi 4 atau 5 tahun yang lalu.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.