Menolak tawaran kerja travelling

8 Jan 2015 | Cetusan

blog_travelling

Melamar pekerjaan lalu mendapatkannya, di Australia dan dimanapun di seluruh penjuru dunia adalah sesuatu yang biasa.

Tapi ditawari posisi pekerjaan tanpa kita melamarnya lalu terlibat dalam diskusi berkepanjangan karena iming-iming gaji dan fasilitas yang tak berkesesuaian adalah sesuatu yang luar biasa!

Aku bersyukur kepada Tuhan karena pernah dan sedang berada di posisi tersebut selama enam tahun belakangan tinggal dan bekerja di Australia.

Pertama kali hal ini terjadi sekitar satu tahun sesudah aku pindah ke sini. Sebuah start-up company menawariku posisi pekerjaan yang cukup ?menggemaskan?, menjadi front-end technical leader sekaligus pemegang saham.

Sayang, setelah tiga kali meeting kami tak juga mencapai kata sepakat untuk gaji bulanan yang kuterima.

Lalu yang kedua terjadi sejak beberapa bulan lalu hingga kini.?Ada sebuah perusahaan web agency di utara Sydney menawariku pekerjaan sebagai project technical leader dengan konsentrasi pada implementasi e-commerce menggunakan teknologi Java (Hybris framework). Pemilik perusahaan tersebut mengenalku dari rekomendasi mantan manajer di sebuah perusahaan tempatku bekerja dulu.

Pertemuan pertama berjalan lancar. Ia belum berani ?buka harga?, hanya menjelaskan seluk beluk perusahaan dan keingintahuannya mengenalku lebih dalam dari sisi yang ia tahu dari mantan manajerku tadi.

Pertemuan kedua diadakan lewat web-conference. Kali ini bukan dengan sang pemilik tapi dengan salah satu senior developer yang kalau akhirnya aku masuk ke perusahaan itu akan menjadi anak buahku nantinya.

Tak lama sesudahnya, tiba-tiba menjelang Natal, sang pemilik perusahaan mengirim email kepadaku menjelaskan progress ?pendekatan? itu.

Selain diiming-imingi gaji yang lebih besar dari gaji yang kuterima sekarang, ia juga menawarkan sesuatu yang mungkin ditunggu-tunggu banyak orang: kerja travelling!

Ya! Kerjaan yang ia tawarkan adalah mengelola beberapa proyek perusahaannya yang tersebar di Amerika Serikat, Canada, New Zealand, Singapore dan banyak lainnya!

Pada bagian akhir emailnya, ia menuliskan bahwa kalau aku mau, tinggal telpon dan mulai kerja pada hari pertama kapanpun aku memutuskannya!

Aku lantas mengambil waktu sejenak untuk merenung dan berpikir, melepaskan segala ego tentang kesombongan, harga diri dan kekayaan duniawi. Permenungan itu kuawali dengan pertanyaan pada diriku sendiri, ?Apa yang kudapat dan apa yang akan hilang ketika aku mengiyakan tawaran kerja yang menggiurkan itu??

Hingga akhirnya, tentu juga setelah berkonsultasi dengan istriku, aku berkeputusan untuk menolak tawaran itu!

Mungkin kalian akan berkomentar, ?Goblossss kenapa nggak kamu ambil? Kan bisa jalan-jalan kayak travelling blogger yang dikit-dikit pamer paspor, pamer tiket pesawat dan pamer foto mereka di tempat wisata terkemuka??

Inilah point-point yang kujadikan sarana untuk mengambil keputusan.

 

Family

Kebersamaan dengan keluarga secara fisik menurutku adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai apapun termasuk dengan teknologi conference jarak jauh tercanggih sekalipun dan tambahan lembaran-lembaran dollar berapapun jumlah banyaknya!

Setiap hidup dibatasi waktu dan kita tak pernah tahu kapan waktu akan memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai. Kalau aku mengambil kesempatan kerja travelling itu, bagiku sama saja membatasi waktu yang secara alami telah terbatasi.

Alasan lain, mengikuti dan membantu perkembangan anak dan berbagi kasih dengan istri selain mengasyikkan, menurutku juga adalah salah satu dari tugas dan janji yang pernah kuucapkan di Gereja ketika menikah dulu!

 

Pelayanan Gereja

Mungkin kedengarannya religius sekali? Benar! Aku memang sedang berusaha membangun komitmen untuk hidup lebih baik sesuai tatanan ajaran yang kuanut, Katholik.

Selain mewajibkan diri dan keluarga untuk pergi ke perayaan ekaristi mingguan, aku juga menyediakan diri untuk membantu pelayanan dalam bidang musik dan organisasi.

Jadi, kalau aku mengambil kesempatan untuk pekerjaan tadi, mungkin aku tetap akan bisa ke gereja karena hampir di seluruh tempat di muka bumi ini mudah menemukan Gereja Katholik tapi kesempatan untuk melakukan pelayanan agak mustahil untuk dilakukan karena pola hidup yang berpindah-pindah.

 

Home

Seekor burung yang jago terbang pun ingin punya sesuatu yang dianggap sebagai rumah. Bukan rumah dalam bentuk gedung (house) tapi rumah dalam multi-segi.

Aku ingin bertumbuh, menua dan menghabiskan usia di satu tempat bersama orang-orang yang kukasihi dan mengasihiku. Enam tahun silam, aku yang sebelumnya mengira Jogja akan menjadi ?home?-ku, memutuskan pindah ke Sydney dan sejak saat itu, aku berjanji sekaligus meminta kepada Tuhan untuk dibuat kerasan dan feel hommy di kota ini. Masak sekarang harus pergi lagi tanpa anak-istri?

 

Zona nyaman

Aku sangat mengenal diriku sendiri.

Aku adalah tipe pekerja yang akan selalu berusaha mencintai pekerjaanku?sebaik-baiknya. Aku membayangkan jika aku menerima pekerjaan tadi, kecintaanku pada pekerjaan akan berlipat ganda karena selain digaji besar, keliling dunia, aku juga akan mengerjakan hal yang kusukai sesuai bidangku.

Yang kukhawatirkan kecintaanku itu lalu menyusutkan perasaan cintaku kepada keluarga dan berakhir pada perasaan ?nyaman kalau sendirian? dengan terus berlindung pada tameng ?ah yang penting gue kirim duit ke anak-istri!?

Kalau hal itu terjadi, aku berpikir bahwa aku akan menjadi sosok yang paling sulit dikendalikan termasuk oleh diriku sendiri. Aku akan sangat sulit untuk menyudahi kenyamanan itu dan ketakutanku yang paling sangat adalah jangan sampai Tuhan sendiri yang turun tangan untuk menyudahinya dengan caraNya yang meski kutahu lemah lembut, tapi karena kekerasan hatiku sendiri semua malah jadi tampak menyakitkan?

No? No? Big no!

 

* * *

 

Tentu alasan-alasan itu tak berlaku umum bagi semua orang. Aku hanya menuliskan apa yang menjadi bahan permenungan sebelum akhirnya aku membuat keputusan.

Sekarang aku sedang menanti dan berharap-harap cemas terhadap bujuk rayu apalagi yang akan mereka kirimkan kepadaku.

Nikmati saja sambil melanjutkan hidup…

Sebarluaskan!

9 Komentar

  1. Good decision Don, aku dulu pernah juga kerja di perusahaan multinasional, yg namanya travelling ke dalam dan ke luar negri udah sering. Pertamanya seneng, terus lama-lama bosen, terus capek, terus berharap gak usah travelling sering-sering. Ada enaknya sih, jaman itu hotel 1 orang 1 kamar jd bisa ajak keluarga, kalau pas pengen travelling sama keluarga sih gak nolak hehe

    Ujung-ujungnya family number one kok, seperti yang di curhatan temen-temen senior kita di sini:
    http://www.quora.com/What-is-the-biggest-lesson-you-have-learned-in-the-corporate-world semoga bisa jadi salah satu perenungan kalau nanti ada rayuan-rayuan yang lebih maut :)

    Balas
  2. Ditawari posisi pekerjaan tanpa kita melamarnya itu aku pernah dapat dari LinkedIn dan mereka datang ke Jogja untuk interview. Seminggu dari interview dapat email cinta dan ticket ke Malaysia. Dan sekarang ini aku lebih sering travelling urusan kerjaan daripada ngoding lagi.

    Om pertanyaan aku sederhana; Kapan akan keluar dari Zona Nyaman?

    Balas
  3. Jauh dari keluarga itu gak enak mas. Pernah mengalami kurang lebih 1 tahun, ketika aku di Pekanbaru, dan istri di Jakarta. Sebulan sekali “mudik”.

    Pada saat meminang seorang gadis, tujuannya adalah untuk menemani menjalani hari-hari. Masa mau ditinggalin?

    Tapi aku tetep salut dengan keputusan sampeyan, gaji dan fasilitas yang sedemikian wah mampu ditolak. Aku belum pernah soale mendapat tawaran semacam itu, mungkin juga aku akan goyah :)

    Balas
  4. Memilih. Memutuskan. Tak semua orang bisa padahal punya pilihan. Lain halnya kalau tak punya pilihan :D
    Poin kedua, tentang gereja, itu menyentuh… It’s about sangkan paraning dumadi :)

    Balas
  5. Suka banget sama tulisan yg ini. Terutama alasan utamanya FAMILY. Semoga dibaca sama Sonny & jadi bahan pertimbangan deh buat memutuskan kerja travelling itu.

    Balas
  6. Ini bukan good decision bro..

    Ini GOLD decision.

    Keluarga, teman, masyarakat dan Tuhan adalah hal-hal yang paling membuat hidup kita bermakna. Kedekatan fisik itu gak akan tergantikan oleh Skype atau Line, bahkan kalau broadband nya paling kenceng sekalipun.

    Pada saat aku berpulang nanti, aku juga lebih ingin dikenang sebagai suami, ayah dan teman yang selalu siap untuk membantu sesama.

    Pamer paspor dan tiket tidak menjadikan siapa kita, tapi perbuatan kita.

    Balas
  7. Terima kasih atas sharing-nya Pak…Inspiring!!!!

    Salam

    Simon Rafael

    Balas
  8. Aku kerja travelling dan motifnya bukan untuk pamer (bahkan hampir setahun lebih gak pernah cerita tentang perjalananku kemanapun). Kulakukan karena aku senang travelling, ketemu orang baru, suasana lain dan pandangan lain. Mungkin itu egoku tapi keluargaku juga menikmatinya, mereka senang mendapat cerita yg mungkin tidak didapat dari sumber informasi lain.

    and I’m a family man!

    Balas
  9. Aku sekaranh berada dalam posisimu dulu, Mbah. Ada yang menggemaskan dan sekarang sedang menimbang-nimbang.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.