Menjadi tuna untuk menjadi baik?

5 Mei 2010 | Cetusan

Pernah suatu waktu ketika SMP dulu, seorang teman sekelas menganggapku sombong hanya karena aku tak menyapanya pada sebuah perjumpaan di suatu sore di trotoar jalan dekat rumahku.?Aku sendiri awalnya bingung karena mana mungkin aku bertingkah demikian sedangkan dia adalah teman baikku, ini jelas bukan tabiatku!
“Iya! Waktu itu aku naik mobil bareng Papaku dan aku ngeliat kamu jalan kaki sedang menatap ke arah mobilku tapi kamu tak menyapaku!”
Aku terdiam sejenak hingga…ah …mendadak aku teringat sesuatu.
“Lidya, waktu itu aku pasti sedang tak berkacamata, kan?” Lidya, nama temanku yang gemulai nan ayu itu.
“Eh, barangkali…. emangnya kenapa kalau kamu tak berkacamata? Tak kelihatan kah?”
“Iya!”
“Ah, tak mungkin.. kamu boho…@@@**@**@**@**@*….” Temanku tak mempercayaiku…
Sejak saat itu, cerita di atas menjadi semacam titik balik bahwa ketika sedang tak berkacamata, alangkah lebih baik bagiku untuk menyapa orang lain terlebih dahulu siapapun dia ketimbang mendiamkannya karena barangkali sebenarnya aku bertemu dengan teman namun karena alasan ‘tak berkacamata’ lantas secara tak sengaja tak kusapa? Duh…bisa panjang urusannya!
Pada kenyataannya, kacamata bagiku semenjak 22 tahun silam adalah hal terpenting yang tak bisa kutinggalkan sama sekali.?Tanpanya, duniaku adalah dunia yang kabur, blury. Detail raut wajah lawan bicara secantik apapun bakalan tampak kabur meski kulihat dalam jarak sedikit lebih jauh dari satu meter sekalipun jika tak berkacamata. Selain itu, memperhatikan lubang selokan kecil di pinggir jalan tanpa kacamata sama sulitnya ketika aku harus membaca koran dengan jarak lebih jauh dari sepuluh centimeter dari mataku.
Nah, beberapa hari silam aku mengalami kejadian unik terkait dengan kacamata dan keterbatasan penglihatanku itu tadi.
Ceritanya bermula dari rusaknya karet pengganjal (earshock) frame kacamataku beberapa waktu lalu.
Dan sialnya, ketika aku tanyakan ke optik untuk membeli earshock yang baru, mereka kehabisan stock dan harus memesannya hingga ke Melbourne selama lebih kurang seminggu.?Maka jadilah, untuk menghindari lecet di pangkal telinga karena gesekan besi frame (ya, frameku memang terbuat dari besi solid bukan plastik) dengan kulit, aku memilih untuk tak terlalu sering mengenakan kacamata kecuali ketika bekerja, membaca dan mengendarai mobil.
Hingga suatu waktu di masa itu, aku menjadwalkan diri untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk anak seorang teman yang sedang sakit dan dirawat di sana.?Karena tak menggunakan kacamata, aku berjalan perlahan-lahan sepanjang koridor rumah sakit menuju kamar tempat anak temanku dirawat.
Dalam keadaan kabur, demi tak terjadinya hal-hal yang pernah terjadi yang kuceritakan di awal tulisan ini, aku memilih untuk menyapa hampir semua orang yang berpapasan denganku melalui senyum, kerling mata berbinar serta sapaan “Hi!” yang meski tak terlalu keras kuucapkan tapi cukup terdengar.?Hari itupun berlalu dan tampaknya akan menjadi hari yang biasa saja.
Tiga hari sesudahnya atau sehari sesudah earshockku datang dan aku sudah berkacamata lagi, aku kembali menjenguk anak temanku itu tadi.?Kali ini tentu berbeda. Dalam perjalanan menuju koridor, aku tak lagi berjalan perlahan-lahan. Semua sudah tampak jelas dan tak blury lagi. Oleh karenanya, akupun memilih untuk tak menyapa setiap orang yang berpapasan denganku. “Untuk apa?” gumamku… toh sekarang jelas yang mana kawan dan yang mana yang tak kukenal!
Hingga tiba-tiba, sesaat sebelum masuk ke bangsal tempat anak temanku tadi dirawat, seseorang menyapaku dari belakang, “Hey!”?Aku menoleh dan sejenak terdiam karena merasa tak mengenal orang itu. Seorang pria, perawakannya tak terlalu tinggi dengan tubuh yang agak gemuk, gempal tepatnya.?Kulitnya legam, kalau boleh menebak barangkali ia berasal dari Asia Tengah sana.
“Hey, how are you, Sir?” sapanya. Ah, benar dugaanku… aksennya sangat India sekali, kental!
“Hey kabar baik. How about you?” ujarku basa-basi sambil membalik setengah badan dan berharap ia tak memperpanjang basa-basinya sehingga waktuku tak terbuang percuma bersamanya.
Tapi yang lantas terjadi justru berbeda dengan harapanku.?Ia menghampiriku lantas mengajakku berbincang sekian lama.?Terus terang pada awalnya aku jengah untuk mendengarnya bercerita tentang bagaimana malangnya nasih anaknya yang mengalami kecelakaan jatuh dari pohon di depan rumahnya beberapa waktu silam.?Akan tetapi yang lantas mengulik syaraf ingin tahuku adalah, darimana ia bisa dan mau menceritakan semuanya kepadaku, orang yang tak dikenalnya itu.
Eh, tapi sebentar, apakah ia benar-benar tak mengenalku?
“Excuse me… , i know it sounds so silly, tapi bagaimana sih kita bisa berkenalan… sorry lho!” ujarku.
Bukannya marah, pria itu malah tertawa terbahak-bahak entah menertawakanku atau ucapanku.
“You know what…. aku tahu pertanyaan ini pasti akan keluar darimu, Orang Muda!” Damn! Dia memanggilku orang muda…. *ah good though, toh jadi tak tampak tua.
“Begini… kamu ingat tiga hari yang lalu saat kamu melewati lorong ini?”
“Hmm.. iya…”
“Ketika itu aku sedang kalut… sangat takut karena keadaan anakku sangat memprihatinkan dan aku takut kehilangannya sedangkan aku hanya seorang diri bersama anakku. Istriku sedang berlibur ke India.”
“Hmmm..”
“Lalu tiba-tiba kamu lewat di depanku, berjalan perlahan-lahan dan menyapaku dengan manis dan menyapa ‘Hi'”
“Hmmm… ”
“And you know what? Kamu adalah orang pertama yang menyapaku hari itu. Sapaanmu itu membuatku tenang meski hanya sesaat… tapi ya, once again, itu membuatku tenang..”
Aku terdiam….
“Jadi… anak muda…” Damn! Anak muda lagi! “Kamu sudah tahu dan ingat kan? Kamu orang baik, jarang ada orang semuda kamu yang mau menyapa orang lain yang belum kamu kenal sekalipun!”
Tak seberapa lama, orang itupun pergi meninggalkanku karena anaknya membutuhkannya.
Ia berlari-lari kecil meninggalkanku yang masih terdiam seribu bahasa.
Sekonyong-konyong, aku jadi malu dengan semesta sekitarku.?Bagiku ini memprihatinkan, memalukan sekaligus memilukan dimana aku harus menjadi seorang yang ‘kekurangan’, seorang yang menyandang ‘tuna’ terlebih dahulu untuk berbuat sesuatu yang baik dan mudah dilakukan. Aku harus tak berkacamata dan menatap dunia dalam pandangan kabur terlebih dahulu untuk sekadar membagi senyum dan mengucap “Hi” dan… lihatlah, betapa hal itu menyenangkan hati orang lain!

Sebarluaskan!

51 Komentar

  1. hi !

    Balas
  2. Howalah, tak pikir jadi tuna, tuna ikan tuna… ternyata tuna sebagai “cacat” hihihi.
    Apik men to ceritane, kayak e sedikit mbok fiksikan ya? :) ah- yang penting tulisannya tetep bagus, bertuah dan berbijak.
    Aku disini juga lumayan sering menyapa orang yang gak kenal, tapi bedanya, nggak ada yang ingat, kuingat dan diingat lol…

    Balas
    • Aku nggak pernah bisa lepas dari jerat fiksi.
      Setiap cerita yang kusampaikan di sini selalu didasari kisah nyata tapi demi banyak hal yang harus dilindungi, aku fiksikan di beebrapa sisi.
      Tapi percayalah, fiksiku tak mengubah banyak isi cerita :)

      Balas
  3. justru dari momen seperti ini kita bisa sadar bahwa keramahan kita bisa membahagiakan orang lain. Nice post dab!

    Balas
  4. Makanya, kacamatanya dicopot aja coz kalo kacamatanya dah dipake dikau kembali seperti semula, jalan cepat cepat…hihi…tapi jempolah DV! Like it lah! :))

    Balas
  5. Lah ternyata dah ada di paragraf terakhir… :p

    Balas
    • Hahahaa.. gw suka dengan kata-kata loe “Like it lah”
      Kayak orang Singapore ajah :)

      Balas
  6. Menyapa -sesederhana pun- ternyata mampu membangun hubungan yang sangat dalam antarsesama. Salam kekerabatan.

    Balas
  7. Menyapa -sesederhana pun- ternyata mampu membangun komunikasi yang sangat dalam antarsesama meski belum saling mengenal. Salam kekerabatan.

    Balas
  8. OOT dulu…
    Beberapa hari yang lalu, aku mengantar teman operasi Lasik di rumah sakit mata terkenal di Jogja. Alasannya melakukan itu karena sudah capek tergantung dengan kacamata dan kebetulan uangnya sudah cukup untuk melakukannya. Ketika melihat proses operasinya, terbersit kengerian di hatiku. Apa jadinya jika operasi itu gagal dan sinar laser yang dikenakan ke mata tiba-tiba meleset…? duh… :(
    Tapi, syukur operasi itu berjalan dengan lancar dan sukses, sehingga sekarang kawanku itu tak perlu lagi berkacamata…
    Don… terkadang memang perlu sedikit kesusahan dalam diri kita dulu untuk bisa melakukan kebaikan. Meski apa yang kau lakukan itu karena “keterpaksaan” keadaan, tapi menurutku itu sebuah tindakan luar biasa… Salute for that!

    Balas
    • Wah, saya nggak pernah tertarik untuk Lasik, Uda..
      Alasan saya simple, yang pertama mahal hahahaha.. yang kedua, setelah 22 tahun saya merasa lebih cocok berkacamata.. Orang bilang mata saya sipit banget kalau lepas kacamata hehehe..:)

      Balas
  9. bagus bgt ceritanya,penuh makna…jd pengen menyapa smua orang,hihi….

    Balas
  10. sungguh pengalaman yang sangat bermakna..

    Balas
  11. disaat kita tiada cela, terkadang ucap syukur dan berbuat baik hanya sekedar senyum tulus kita lupakan, padahal dampak sapaan dan senyum tulus sangat luar biasa seperti yang di cerita ini

    Balas
    • Betul, Bung..:) Makasi, komentarnya sangat dalam ;)

      Balas
  12. wakaka …. ternyata tanpa kacamata, mas donny malah bisa lebih ramah kepada siapa saja, hehe … kalu gitu, ndak usah pakai kacamata aja, mas, kekeke ….

    Balas
    • Hehehe, Pak Sawali, kalau tanpa kacamata saya bisa ramah memang betul, tapi tak semua orang yang saya ramahi kan ramah balik ke saya… kalau tiba2 mereka malah ngerjain saya karena saya kabur tanpa kacamata pripun hehehe :)

      Balas
  13. Dari cerita mas DV ini, kesimpulannya “terkdang bahkan sering kekurangan memiliki berkah” kalau dalam hal ini mas DV yang sekarang bertatoo tapi tetp rajin menyapa..:)

    Balas
    • Mas, saya bertattoo sejak 2003 :) hahaha

      Balas
  14. **akhirnya bisa jugaaaa dr bb…busetttt**
    Perenungan kali ini juga cukup menohokku Don. Aku termasuk orang yg jarang menyapa orang lain lebih dulu, mgkn sama dgnmu yg berpikir ah kalau gak kenal utk apa disapa semua orang. Tapi kalau aku ingat-2 lagi, pernah aku coba menyapa dan tersenyum pada orang lain yang tak kukenal, dan ketika orang itu tersenyum balik, hati ini memang rasanya jadi senang, seperti ada tiupan angin surga. Kekekeke.. Lebay. Tapi aku jd mikir, ternyata begitu besarnya pengaruh sebuah kata dan sebuah senyuman pada orang lain.
    Nice post as usual, Don!

    Balas
    • Yupe, Zee…
      karena kita tak pernah tahu apa yang orang lain rasakan dan menyamakan perasaan kita dengan mereka tentu salah..
      So, tersenyumlah pada orang lain, barangkali mereka rasakan kegembiraan yang luar biasa.. jauh dari yang kita duga ;)

      Balas
  15. biasane silent leecher, tapi big HI! untuk postingan nyamleng ini. ..skalian nganyari servere.

    Balas
    • Huasyuuu.. itu bukan berarti tulisanku lainnya ngga nyamleng kan??? :)

      Balas
  16. Donny,
    Gue nyapa org yg kenal aja kadang dicuekkin. Sombong bgt tuh org2..
    Jadi sejak itu, malas nyapa sapa2. Apalagi di jkt. Senyum sedikit aja disangka gue naksir dia.. Buset deh!
    Kalo di oz mah oke banget tuh!! Semua org saling lepar senyum & sapa..
    Budaya di indo mah kayaknya belum nyampe deh..
    Kalo perlu ga usah tatap mata sapa2. Lempeng ajaaa..
    Nice writing though!

    Balas
    • Thanks, Li..:)
      Sebenernya di manapun slalu ada yang OK dan ada yang nggak hehehe..
      Di OZ barangkali boleh dibilang demikian, tapi gw juga nyapa smua orang pas ngga pake kacamata aja hehehehe…

      Balas
  17. Cerita yang bagus, Mas.
    Gw jadi merasakan gimana perasaan si Bapak saat itu.
    Terkadang sesuatu yang kecil dan karena kebetulan kita lakukan, bisa menjadi sesuatu yang besar untuk orang lain :-)

    Balas
    • Betul, Mbak.. aku suka bagian akhir komentarmu :)

      Balas
  18. Don, aku juga termasuk nggak bisa lepas dari kacamata, kecuali jika berada dalam ruangan. Bisa-bisa dikira sombong, karena jarak 3 meter saya tak bisa mengenali orang.
    Hmm pengalamanmu sangat menarik Don, betapa sebuah senyuman bisa menenangkan orang lain….

    Balas
  19. Hi…young man…. *hihihi..
    weh, aku juga kelimpungan kalau nggak pake kacamata.. bikin panik lho…hanya karena semua terlihat kabur gitu. apalagi aku kadang ngeliat sesuatu yang orang lain nggak liat. :)
    pengen memastikan aja, apa yang kulihat itu memang nyata, dan bukan bayangan kabur thok… bayangin aja kalau aku zonder kacamata, jangan-jangan semua di sekitarku ki mahluk dari dunia lain hihihi….

    Balas
    • Hahahaha, kamu terlalu banyak nonton Dunia Lain :)

      Balas
  20. thx u sharingnya Don.. indah..
    “…..membagi senyum dan mengucap ?Hi? dan? lihatlah, betapa hal itu menyenangkan hati orang lain!”

    Balas
  21. thx sharingnya… mampu menggugahku yg trkadang sombong… (baca lewat yuk-nulis)

    Balas
    • Thanks, Robert…
      Semoga tulisan ini mampu memotivasi

      Balas
  22. Hi!
    Minus brapa? hehehehe…
    Aku juga sama tuh kalo blur2 gitu malah tebar senyum, uhhh baru ngeh ternyata pakek kacamata jadi somse hehehe…
    Btw aku juga lebih cocok pakek kacamata daripada dilepas. Dulu masih mau pakek softlense, skrg udah gak tahan, cepat iritasi

    Balas
  23. podo aku..aku yo ngunu..nek lagi ra nggow kacamata kabeh wong sing papasan mbek aku tak senyumin…kenal tak kenal pokokmen senyum..soale nek ra senyum wedhine kuwi konco trus awake dewe dianggap sombong nek ra senyum…wkwkwkkw…

    Balas
    • Hehehe…. :) Lha kok soko fotomu ra tau ono sing pas nganggo kocomoto?

      Balas
  24. hiks..aku terharu membaca ini Anak Muda!! :D

    Balas
  25. Hi, anak muda!

    Balas
  26. Menatap dari sisi penyandang disabilitas memang asyik. Toh nantinya (moga-moga sampe) kita akan menjadi tua. Dan penuaan juga disabilitas alami kan? Bukan begitu Pakde muda? :)
    Jika orang Indonesia memang ramah-ramah, berarti banyak bule-bule itu akan makin betah jika berkunjung ke Indonesia atau perlu ngirim orang Indonesia lebih banyak ke sana, Pakde, buat sekadar hiburan pencerah suasana?

    Balas
    • Hehehehe… makasih kunjungannya, Mas Dani :)

      Balas
  27. Aku merinding bacanya
    Manusia justru menjadi bersahabat justru ketika tengah kosong, tanpa pengetahuan
    Pengetahuan justru membuat kita menjadi penuh perhitungan. Menyapa pun perhitungan
    Terima kasih buat inspirasinya

    Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. 17 Tipe Posting Blog | bukik ideas - [...] Posting yang menuliskan refleksi atau pelajaran dari sebuah kejadian yang dilanjutkan dengan membahas sebuah topik tertentu. Pembaca biasanya memberi…
  2. Bukik Bertanya: Anak Panah yang Melaju Kencang @DV77 | Bukik Ideas - [...] Donny justru melukiskan sisi lembutnya. Salah satu posting yang paling mengesankan aku adalah Menjadi Tuna untuk Menjadi Baik?. Sebuah…
  3. posting blog te… « daritirta - [...] Posting yang menuliskan refleksi atau pelajaran dari sebuah kejadian yang dilanjutkan dengan membahas sebuah topik tertentu. Pembaca biasanya memberi…
  4. Posting blog te… « ririzoziel10 - [...] Posting yang menuliskan refleksi atau pelajaran dari sebuah kejadian yang dilanjutkan dengan membahas sebuah topik tertentu. Pembaca biasanya memberi…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.