Sehebat-hebatnya orang berinovasi dengan pesawat terbang, bagiku kereta entah itu api maupun listrik tetap menghadirkan nuansa tersendiri yang tak bisa diraih oleh pesawat terbang.
Aku menyebutnya sebagai romantisme meski entah kenapa bisa hal itu justru yang tercipta di tengah bau apek keringat penumpang kelas ekonomi/bisnis yang tak ber-AC serta riuh rendahnya penjual makanan dan pernak-pernik yang kadang tak tahu aturan menaiki gerbong dan terkesan lebih mengganggu penumpang ketimbang menawarkan solusi kepenatan. Tak heran kalau akhirnya Ismail Marzuki menggunakan ‘obyek’ kereta untuk menghantarkan sebuah cerita kepahlawanan nan syahdu pada Sepasang Mata Bola yang kalau aku mendengarnya, membuat pikiranku melayang ke Stasiun Tugu di Yogyakarta tercinta sana…
Ngomongin soal kereta, hari minggu lalu, bersama anak, istri, mama mertua dan teman-teman dekat, aku pergi ke acara Tram Festival di The Sydney Tramway Museum dalam rangka memperingati 150 tahun tramways di Sydney. Meski labelnya “Sydney” tapi kenyataannya, lokasi museum sendiri cukup jauh dari Sydney, sekitar 30 kilometer ke arah selatan kota.
Eh sebentar, kalian tahu nggak apa beda tram dengan kereta? Tak ada perbedaan yang pasti dan definitif, sejauh yang kutahu, kecuali dari sisi ukuran saja. Tram lebih ‘kecil’ ketimbang train (kereta) sehingga untuk pembangunan jalurnya tak membutuhkan rel sebesar dan selebar kereta (train). Karena ukurannya pula, tram lalu banyak diimplementasikan dalam perspektif transportasi dalam kota sedangkan train lebih ke antar kota, antar propinsi bahkan di Eropa, kereta dijadikan transportasi antar negara. (Click di tiap foto untuk melihat versi besarnya)
Di Sydney sendiri, tram sudah begitu tersingkir keberadaannya. Hanya satu lingkar kecil di daerah Chinatown di kawasan city yang masih menggunakan tram sebagai sarana transportasi. Di tempat lain, keberadaannya telah tergantikan oleh bis, ferry, kereta (train) antar suburb dan apalagi kalau bukan mobil pribadi.
“…dan semuanya itu seperti benar-benar menghadirkan kenangan yang tak hanya sepenggal tapi sepenuhnya. Justru sepertinya kita yang adalah penggalan masa kini yang terbawa ke masa itu.”
Beda dengan Melbourne. Kota terbesar nomer dua di Australia setelah Sydney itu, pada ruas-ruas jalannya, masih didominasi tram yang menjadi urat nadi transportasi penduduknya.
Bagiku ini adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Pengalaman naik tram di dalam kota ditingkahi suara bel yang selalu berbunyi setiap tram melewati perempatan yang menandakan perhatian yang harus diindahkan para pengendara mobil/motor adalah hal-hal yang membuat aku selalu kerasan dan ingin kembali ke Melbourne.
Kembali ke soal pameran tram yang kukunjungi. Acara pameran sendiri berjalan begitu menarik. Kita memang diharuskan membayar tiket seharga 15 dollar, tapi dengan itu kita berhak untuk menyimak The Sydney Tramway Museum, menggunakan areal pikniknya bersama keluarga (dilengkapi perlengkapan barbeque) serta boleh pula menaiki tram-tram kuno yang hari itu ‘dilepas dari kandangnya’ ke beberapa jurusan dekat seperti Sutherland ataupun Bundeena National Park.
Pada kesempatan itu, tak tanggung-tanggung aku naik tram hingga dua kali kesempatan. Suasana di dalam tram sendiri sungguh menakjubkan. Usia boleh di atas 50 tahun, tapi nyatanya tram itu tetap tampak kukuh dan sangat terawat. Besi-besi rangka yang dibalut dengan kayu lalu dijadikan tempat duduk penumpang masih tampak bersih jauh dari kesan lapuk dan tak juga kita takut kalau sewaktu-waktu ambruk karena usia. Beberapa papan petunjuk keselamatan juga tampak terjaga benar terpasang di tempatnya dan semuanya itu seperti benar-benar menghadirkan kenangan yang tak hanya sepenggal tapi sepenuhnya. Justru sepertinya kita yang adalah penggalan masa kini yang terbawa ke masa itu.
Sesekali petugas pemeriksa karcis, dengan bergelantungan pada sisi luar tram, mendatangi kita untuk menanyakan tiket. Cara mereka berpakaian dan mengenakan perlengkapan dinas masih disesuaikan dengan apa yang pendahulu-pendahulu mereka lakukan pada jamannya. Joke-joke yang mereka lontarkan kepada penumpang yang rata-rata adalah mereka yang berusia lanjut adalah sesuatu yang sepertinya menjadi trigger bagi mereka untuk mengingat alangkah indahnya masa lalu.. Masa ketika mereka masih muda dan menikmati saat-saat berangkat atau sepulang kerja di atas tram seperti yang mereka naiki sekarang ini.
Barangkali ini adalah gambaran yang sama tentang bagaimana kita nanti, 50 tahun dari sekarang, menikmati kenangan-kenangan yang sedang kita cetak hari-hari ini.
waah, asyik ya bisa “mencicipi” tram. aku kadang penasaran lo gimana isi tram itu. trus gimana rasanya naik tram. dulu Jakarta juga punya tram. duuuulllluuuuu bangeeeet… kalo nggak salah tahun ’50an gitu. kalau tdk salah, di daerah Senen situ deh jalurnya. coba bisa mencicipi tram di Jakarta…
Iya bener kata mbak Kris, di daerah Senen itu dulu jalur tram.
Pas aku ikut tur museum Soempah Pemuda dijelaskan bahwa sebagian besar jalur busway skr itu mengikuti pola trem zaman dulu itu…
Btw, pengen juga ngerasain sensasi trem dgn bunyi bel2nya ituh :D
Ah so nice ya Don. Aku bisa membayangkan para orang tua itu terharu dgn kenangan2 masa lalu mereka dulu. Mungkin waktu kecil pernah naik trem sama orang tuanya, or teman2 sekolahnya.
50 thn lagi, ga jelas deh masih ada ga kita ya. :))
Hingga seusia ini, saya baru sekali naik train, bukan tram. Itu saja, ketika saya masih muda dan beraktivitas di Surabaya. Kereta kelas ekonomi memang terbalut nuansa pengap, asap rokok, bau ikan asin, “harum” keringat yang beragam. Tetapi, ketika itu, saya dapat menikmatinya dengan cinta. Perjalanan Surabaya – Tulungagung, waktu itu sungguh mengasyikkanb apalagi bersama teman-teman muda. Wah….
Di tempat tinggal Om kini, ternyata usia tram yang sudah 50 tahun masih baik, ya. Masih dapat dimanfaatkan untuk transportasi publik. Ini tentu upaya perawatan yang penuh tanggung jawab. Tidak hanya untuk memereoleh hasil, tetapi memerhatikan juga konsumen, yang memang harus dienakkan.
Salam kekerabatan.
Tram?
Wuihiii…pernah lihat transportasi itu di TV, tapi belum sempat naik :D
Maklum, di Jayapura emang gak ada dan kayaknya gak bakalan ada karena sudah termakan usia :D
Jangankan Tram, kereta api pun gak ada, hahahha…
Keren ya foto2’nya, terasa banget jaman “baheula”-nya :)
Wah mas, aku pengen bagian foto2 itu, ttapi yang import dari facebook :D
Tram buat jarak dekat seperti dalam kota, train untuk jarak luar kota ya?
terus terang, belum pernah naik kereta sampai sebesar ini… pengen sih nyobain… biar gak dibilang katro… :D
di indonesia ga ada ya?
ah pengen deh suatu saat nyobain naek tram
sepertinya seru nih
saya penasaran, itu foto pake kamera lomo ya? efeknya mirip efek lomo sih ^^
salam kenal btw, kunjungan pertama :)
saya itu selalu penasaran dengan tiap tulisan mas donny. detail dan menyentuh. gaya penulisan penuh romantisme. benar tak ya? hahaha