Dengan menebus tiket seharga 50 dollar per orang, aku, istri, Irna, Jaya, Cucu, Rinda, Paul serta Geri beramai-ramai pada 13 Desember 2008 yang lalu menonton pertunjukan “live” Priscilla The Musical di Star City Casino. Priscilla The Musical adalah sebuah drama musikal yang terinspirasi oleh The Adventures of Priscilla, Queen of Deserts – The Movie, sebuah film komedi layar lebar produksi Australia tahun 1994.
Pada awalnya kami semua tak memiliki gambaran akan seperti apa pertunjukannya nanti karena tak satupun dari kami yang pernah menonton film layar lebarnya terlebih dahulu. Namun berbekal informasi tentang pertunjukan tersebut bahwa sejak pertama kali Priscilla The Musical dipertontonkan pada 7 Oktober 2006 hingga sekarang telah meraup tak kurang dari satu juta orang telah menyaksikannya… well, kupikir ini angka yang cukup menakjubkan terlebih apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Australia yang tak lebih dari 22 juta jiwa itu.
Alur cerita Priscilla The Musical bermula dari seorang “gay” Tick a.k.a Mitzi (Todd McKenney), pria penari asal Sydney yang mendapatkan tawaran tampil di sebuah kasino di Alice Spring, nun jauh di sisi tengah-barat Australia sana. Bersama dengan Bernadette (Tony Sheldon), seorang wanita transgender yang sedang berduka setelah kematian “suaminya”, dan Adam a.k.a Felicia yang juga feminim (Daniel Scott), ketiganya lantas berangkat bersama-sama mengendarai sebuah bis besar yang kemudian diberi nama Priscilla, Queen of The Desert.
Entah kenapa mereka menggunakan Priscilla akan tetapi Queen of The Desert diberikan barangkali karena sepanjang perjalanan Sydney – Alice Spring yang ditemui adalah padang pasir yang luas.
Pada perjalanan yang panjang itulah cerita terus bergulir dengan mengutarakan banyak cerita-cerita komedi nan konyol yang berisi sindiran-sindiran terhadap tatanan hidup yang ada, penuh jargon-jargon seksual dan terkadang cenderung melankolik namun tragis. Sesampainya di Alice Spring, sebuah drama yang tak kalah mengagetkan pun ditampilkan. Tick/Mitzi yang adalah “gay” itu ternyata memiliki seorang anak dan istri yang berdiam di sana.
Jalan cerita yang sebenarnya sederhana tersebut, di tangan seorang Simon Phillips sebagai sutradara berubah menjadi kaya akan manuver-manuver hebat dan yang menjadi intinya, ia seperti dimampukan untuk menyatukan berbagai unsur kesenian menjadi satu suguhan yang apik.
Rose Coleman, sebagai penata gerak dan tari sepertinya berhasil untuk memberdayakan tiga puluh orang yang menjadi pemain dalam pertunjukan itu untuk benar-benar bergerak kesana-kemari mengisi ruang kosong panggung serta seakan memberikan artikulasi yang tepat terhadap jalannya cerita.
Dari sisi tata panggung, sesuatu yang brilian juga ditunjukkan dalam tontonan ini.
Bentuk panggung yang persegi panjang dan polos itu benar-benar dimainkan secara maksimal.
Bayangkan saja, sejak awal pertunjukan, distribusi pemain yang hendak ke panggung tak melulu dari kiri atau kanan layaknya tontonan biasa. Mendadak tiga penyanyi wanita (diva) bergelantungan datang dari atas atau kemudian tiba-tiba muncul seorang tokoh dari bawah panggung.
Perubahan setting panggung yang cepat dari satu scene ke scene yang lainnya juga merupakan satu catatan yang harus diperhitungkan sebagai sesuatu yang menyukseskan Priscilla The Musical ini.
Sungguh, kita perlu menyalutkan hal ini pada Brian Thomson yang kebagian menjadi production designernya.
Kesuksesan Priscilla versi film layar lebar dalam menggapai Oscar untuk tata busananya juga dilanjutkan dalam pertunjukan ini. Simon Phillips menggaet Tim Chappel dan Lizzy Gardiner, duo penata busana pada film layar lebar untuk memberi nuansa yang sama persis dari pertunjukan itu dengan versi layar lebarnya.
Alhasil, pemakaian kostum para pemain memang benar-benar memesona.
Mudah saja menilai sedikit dari begitu banyak keunggulan pada tata busana ini, para pemain yang mayoritas adalah pria yang didandani wanita tentu menghadirkan tantangan tersendiri untuk Tim dan Lizzy supaya mampu membuat luwes, jauh dari kesan “banci” akan tetapi kalaupun memang harus ditonjolkan sisi kebanciannya, mereka berdua mampu mengubahnya menjadi banci yang elegan dan membuang jauh kesan norak lewat busana yang dikenakan.
Lalu yang namanya pertunjukan drama – musik seperti ini, mau tak mau musik menjadi bagian yang wajib untuk diperhatikan. Beruntung live band yang ditempatkan di bawah panggung dan dikomandoi oleh Stephen Murphy bermain begitu rancak dan apik dengan tentu saja didukung oleh tata suara milik Star City Casino yang nyaris tak meninggalkan noise, memiliki perimbangan yang baik untuk suara-suara yang dihasilkan dan nyaris tanpa cacat.
Pertunjukan sepanjang lebih dari dua jam itu lebih mempesona karena lagu-lagu yang dibawakan sepanjang pertunjukan juga adalah lagu-lagu “evergreen” yang tak asing lagi di telinga. Malah, penonton seperti diajak untuk memberi “arti” baru terhadap lagu-lagu lawas seperti Go West-nya Village People/Pet Shop Boys, Colour My World-nya Petula Clark, atau bahkan I Will Survive, lagu milik Freddie Perren dan Dino Fekaris yang pertama kali dinyanyikan oleh Gloria Gaynor tapi pada kemudian harinya banyak dibawakan oleh penyanyi/band lain termasuk Cake, salah satu yang bisa dibilang terapik membawakan komposisinya itu.
O Well, singkat kata Priscilla The Musical adalah salah satu pertunjukan live terbaik yang pernah aku saksikan.
Ia tak hanya mengajak kita untuk melihat bagaimana apiknya paduan dari segala unsur seni yang sudah kusebutkan di atas, namun lebih dari itu, Priscilla The Musical menawarkan sebuah pemahaman baru bahwa bagaimanapun juga persiapan, pemikiran yang mendalam tentang detail dan konsep adalah hal-hal pokok yang tak bisa dilupakan begitu saja dengan mengatasnamakan “kebebasan” dalam hidup berkesenian. Kebebasan pun juga harus dipagari, diberi patok sehingga menampilkan sesuatu yang luar biasa seperti halnya pertunjukan ini.
Aku tak bermaksud berlebihan kalau mau memberikan rating antara 8.5 hingga 9 pada skala penilaian 0-10 untuk pertunjukan ini. Priscilla The Musical memang layak ditonton penikmat seni dimanapun berada meski sayangnya tampaknya tak akan bisa masuk ke Indonesia.
Bukan saja karena jargon-jargon seksnya yang ada di sana-sini tapi juga karena kebanyakan pemainnya adalah pria yang gemulai yang sepertinya mulai banyak diprotes keras oleh sebagian besar kalangan “moralis dan agamis” kita di tanah air seperti halnya yang sudah-sudah terjadi pada hiburan layar kaca kita termasuk yang terbaru adalah kasus dilarang tayangnya video clip terbaru milik group musik asal Bandung, Cokelat oleh salah satu televisi swasta, yang menurut mereka mengandung adegan kebanci-bancian.
Wah kalau sudah sampai masalah ini,
entah kalian sepakat memandangnya sebagai kemajuan, kemunduran atau hanya sebuah dekadensi berkesenian dan berkebudayaan ?
Ah, sudah jauh lepas rasa peduliku dari hal yang begitu-begitu!
Sorry saja :)
Ah, kalau ini foto yang nggak penting selain untuk menampilkan kenarsisan diri :)
Para pasukan selepas menonton pertunjukan nih!
Seru..:)
Halo… salam kenal mas Verdian…
Lha, foto pertunjukannya nggak ada Don?
Aku suka banget I will survive – nya Cake. Itu udah jadi semacam lagu kebangsaan.
Yoga, aku sebbenarnya ya pengen memotret tapi di sini kalau pertunjukan seperti itu, selain handphone, kamera juga adalah barang yang tidak diijinkan untuk dioperasikan di dalam ruang pertunjukan.
Tapi kalau kamu mau melihat foto pertunjukannya, di link yang ada di tulisan ini bisa mengantarkann kamu ke galeri resmi milik mereka.
Ah, I Will Survive? Ya, dulu sempat jadi lagu kebangsaanku juga… dulu waktu masih tersiksa ganasnya cinta hahahaha!
tumben narsise pol polan. ketularan aku mesti .. kekeke
btw nontong lontong ya mas :D
IRI T.T,,btw tukeran link yuk mas_^
Don, aku setuju ama kamu mereka pantes dikasih nilai 9 out of 10. Ini aku lagi dengerin musicnya…..Gileeee aku pengen nonton lagi deh. TOP BGT….. Kalau nanti ada lagi kapan ya?????? Mau ah nonton lagi…..semuanya kereeennnn…music, kostum, tata panggung, tata suara sampe ke makna cerita itu juga bagus……
Iya, gw juga pengen nonton lagi… Btw gw pengen nonton imax atau kalaupun ada musical lagi gw penasaran sama Mama Mia…
Kabar2i kalau ada info bagus yaw!
sepertinya asyik juga. aku belum pernah nonton yang adaptasi dari film soalnya, yang pernah adaptasi dari karya sastra (les miserables) yang benar2 keren! aku ga inget, di indo pernah ada pertunjukan seperti itu ga ya?
woiii Don… met natal n taon baru ya buat elo & Joyce…
gimana… betah ya di Oz… kerjaan dah ada yang nyangkut blom… smoga lancar2 ya semuanya…
saya ini agak kuper, jarang nonton pertunjukkan langsung begitu. Sekalinya diajak nonton butet tampil saja wah … ternyata asyik ya, nah bagaimananah nonton drama musical ya, apalagi ada I will survive-nya. hehehe… kalau yg pernah merasakan “dahsyatnya siksaan cinta”, pasti I Will Survive lagunya :)
Tadinya berharap ada foto pertunjukannya, mungkin dilarang memotret ya, biar tak mengganggu pertunjukan.
Membayangkan betapa bagusnya pertunjukan yang dikemas secara profesional, memadukan berbagai unsur.
Mungkin di Indonesia menjadi rame karena adegan banci di TV menjadi berlarut-larut dan mengeksploitasi hal-hal yang menurutku memang menjadikan “enek”. Padahal dulu saya suka ludruk yang pemainnya laki-laki semua, tapi memang kalau berlebihan jadi kurang bagus sih.
Hahahha…jadi inget si Bob sama Cynthia, istrinya itu si ratu ping pong hhahahha…
Terus aku tersentuk waktu anaknya minta dinyanyiin lagu Elvis itu….huhuhuu…
Iya kalau Mama Mia ada di IMAX mau banget nonton…kan Joyce bisa dapatin tiket murah melalui kantornya.
ealah, fotomu akeh tenan don. hihihi. yo ra po po lah, jenenge ae situs pribadi.
aha, mas dony yang memang suka nonton pertunjukkan *sok tahu saya* seni dan budaya, pasti bisa asyik menikmati konser itu, meski banyak jargon seks-nya, hehehe … bisa jadi benar kata mas dony, “priscilla” pasca-UU antipornografi sulit masuk ke indonesia.
Mungkinkah saya kesana?
Hueheheh…. Don, lha aku aja yang sedang nggak tersiksa keganasan cinta senang dengar lagu itu. Ngomong-ngomong syairnya apa sih? Aku cuma “dapat” I will survive-nya thok.
Soal foto, sudah kuduga. Aku bertanya untuk memastikan. Trims Don.
wahhhh asik tuh :D
mmmm baru liat photonya mas donny nih hihihihi
Wah, asyik tuh kayaknya…
Seru banget…
wah sajake seru yo mas .
pertunjukannya tentu sangat mengibur yo mas
saya jane pingin nonton fotone mas tapi kayaknya kalo di tempat kek gitu susah ya mas motret nggak boleh kan biasanya
tapi ceritane sampean marake pingin lihat hahaha
salam taklim saking nggunung mas
Pertunjukan yang berlatar belakang seni dan budaya selalu nampak menarik dilihat.
Apalagi untuk seni dan budaya yang berbeda dengan latar budaya kita.
Menarik untuk disimak…..
Foto-foto mas Don….selalu gak pernah ketinggalan. hehehe
Kamu semakin gondrong, Don!
Semalam ngobrol panjang tentang kamu sama Windy. Hi-hi-hi…