Menyimak GIGI malam tadi. melalui lagu-lagu lamanya, sama saja mengurai kembali masa-masa yang telah pernah kulewati setidaknya dalam 14 tahun terakhir. Karena masa 14 tahun terakhir adalah masa-masaku menetap di Jogja (aku datang sejak Juni 1993) maka boleh pula disahkan bahwa nyaris segala yang terjadi dalam masa itu pun muncul kembali ke benak sadar, menyingkap baik-buruk yang terjadi dan menyisakan senyum dikulum sembari tersadar “Ah, begitu cepat waktu berlalu..”
Stadion Mandala Krida Yogyakarta, 11 Januari 2008, konser terbesar itu berjalan dengan riuh rendah, gegap gempita!
Ketika Armand Maulana mengatakan bahwa mereka memilih Jogja adalah karena Jogja merupakan kota pertama yang menjadi tempat konser GIGI setelah Jakarta pada tahun 1994 yang lalu, aku yakin bahwa aku adalah sedikit dari 15 ribu penonton yang hadir malam tadi yang juga datang ketika mereka konser pertama 14 tahun yang lampau.
Apalagi mengingat usia mereka-mereka yang datang rata-rata di bawah 25 tahun, aku tak yakin bahwa 14 tahun yang lampau mereka sudah cukup dewasa dan ngerti untuk datang ke konser seperti itu dan seperti yang kulakukan.
Aku masih ingat beberapa detail bagaimana aksi GIGI kala itu.
Mereka manggung di Gedung Kridosono dan aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Datang berbekal satu album, lengkap dengan kelima personelnya. Armand (vokal), Budjana (gitar), Baron (gitar), Ronal (drum) dan Thomas Ramdhan (bass), mereka menghentak Jogja.
Aku tak terlalu ingat bagaimana kostum panggung mereka seutuhnya tapi yang pasti aku ingat benar adalah apa yang melekat di Thomas Ramdhan. Aku mengingatnya karena memang bagiku, permainan bass nya begitu menonjol di antara para bassist Indonesia lainnya kala itu.
Dulu ia memelihara rambut hingga dagu, bersemir cokelat emas dan mengenakan stelan kaos lengan panjang dan celana bermuda yang ketika itu memang lagi ngetop-ngetopnya dipakai kawula muda.
Juga, Arman. Ia sedari dulu memang energik, seenergik malam tadi. Dulu ia mengenakan kemeja flanel dan celana jeans robek-robek, khas rebel remaja dekade 90-an.
Lagu yang kuingat betul dinyanyikan malam itu, yang masih terngiang hingga sekarang, adalah Kuingin.
Koor serentak terjadi mengiringi refrein di gedung mungil yang masih satu kompleks dengan stadion Kridosono itu.
Dan semalam, di penghujung sesi akustik yang disajikan secara manis di lidah panggung yang menjulur ke tengah penonton, kejadian itu terulang kembali.
Bersama Armand dan ribuan penonton lainnya, aku pun ikut bernyanyi “Kuingin hanyut, dalam pelukanmu.. Kuingin cinta ooo.. hanya dari dirimu, Kasih”
sambil memeluk malam sendirian, yang seperti tak membiarkan segumpal pun awan menaungi sekitar, di tengah ABG-ABG yang semakin larut dalam pelukan mesra orang yang dikasihinya.
Aha, alangkah kejamnya waktu, akan tetapi alangkah indahnya hidup yang dimainkan di atas waktu itu sendiri.
Malam tadi, ketika usia para personel GIGI yang semakin menua dan juga usiaku yang tak lagi bisa dibilang terlalu muda,
kami berpesta bersama. Kami bersaksi bersama… sesuatu yang aku yakin tak dimiliki oleh 15 ribu penonton lainnya yang mungkin datang hanya karena ingin menyaksikan pertunjukan dan menghabiskan waktu bersama kekasihnya.
Karena aku, aku menjadi saksi atas kebesaran dan eksistensi GIGI dan GIGI melalui lagu-lagunya pun menjadi saksi bagiku, bagi setiap keping masa lalu yang telah terukir setidaknya dalam 14 tahun belakangan di kota yang teramat sangat aku cintai ini.
Inget umur, Su… Inget umur! :-P
@DM: Iya Su, kamu juga inget umur su.. merit su, merit!
Aku yo iling pas konser jaman SMA itu. Nostalgia, nostalgia…. Karikatur dirimu apik tenan!
@Tomy: Wahai konco lawasku! Wah apa kabare iki :)
Heheh ya, ya pas konser GIGI 14 taon lalu kita masi kelas 1 SMA ya ;) Kowe kelas 1-1 aku kelas 1-6. Nostalgila!
@DM & Donny..: kasian…udh pada mulai pikun ya….tulang udh ngilu2 belom ?
@Windy: SECARA Ndi. SECARA… kamu yang termuda? Gitu?
?????????????????????????????????.. Satu kalimat : “Cuma GIGI, band lokal yg dari 1994 sampai sekarang sy pantau eksistensinya” =)