Mengelola pengorbanan

9 Agu 2018 | Kabar Baik

Siapa bilang keselamatan itu gratisan? Siapa bilang keselamatan itu tak butuh pengorbanan?

Ketika Yesus harus berkorban untuk menebus dosa dunia, kitapun dituntut melakukan yang sama, mengorbankan keduniawian kita sebagai tanggapan dari penebusan itu.

Yesus hari ini mengemukakan pesan itu melalui perumpamaan.

Ia mengatakan bahwa hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu.

Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu. (Mat 13:44-46)

Tapi pengorbanan itu memerlukan pengelolaan supaya tak salah kaprah dan salah mengorbankan hal yang seharusnya justru kita pertahankan.

Salah seorang kawan seniorku di Jogja dulu ditawari untuk duduk di kursi jabatan mentereng, ketua dewan paroki.

Secara kemampuan ia tak kurang. Pengalamannya melanglang buana ke berbagai komunitas bina iman tak diragukan. Integritasnya untuk hidup sesuai iman pun ok-ok saja. Dukungan? Jangan tanya! Ibarat kata dia tinggal mengangguk langsung jadi saat itu juga.

Tapi seperti halnya Yesus yang menyendiri ke gunung (baca tulisanku kemarin), iapun mengambil waktu dan jarak untuk berdiskusi dengan mutiara-mutiaranya, anak-anak dan istrinya.

Istri mengijinkan. Ia tahu dan percaya pada kualitas suaminya. Tapi salah seorang anaknya menyuarakan hal yang berbeda. ?Papa tiap hari kan sudah kerja dari pagi hingga sore belum lagi kalau harus mengisi acara-acara di persekutuan doa malam harinya. Lalu kalau Papa jadi ketua dewan, berarti sabtu-minggu Papa makin tak punya waktu lagi untuk kita??

Kawanku bijak.
Ia tak asal berkorban.
Ia mengelola pengorbanan dengan mendengarkan suara-suara orang terdekat terlebih dahulu sebelum memutuskan. Ia percaya melalui ketulusan hati orang-orang yang dikasihi dan mengasihinya, suara Tuhan tersirat di sana.

Menjadi seorang ketua dewan paroki tentu hal yang mulia. Tapi seperti yang kutulis beberapa hari lalu bahwa untuk duduk di sebuah jabatan, kemampuan dan dukungan saja tak cukup yang lebih diperlukan adalah kesesuaian dengan perutusan.

Jika kawanku memilih jadi ketua dewan paroki, ia tentu bisa memuliakan nama Allah tapi bagaimana dengan nasib anaknya? Anak pun adalah titipan dari Allah dan bukankah memperhatikannya adalah perutusan karena dari sana nama Allah semakin dipermuliakan?

Kawanku akhirnya berkeputusan.
Ia menolak dengan santun tawaran menjadi ketua dewan. Namun demikian ia tak keberatan untuk dijadikan wakil ketua dewan paroki. Menjadi wakil dengan segala kompromi yang telah ia sampaikan kepada para pengurus, kawanku bisa tetap melakukan dua hal: melayani Tuhan melalui kepengurusan dan menemani keluarga yang begitu ia kasihinya. Keduanya adalah memuliakan Allah!

Untuk mendapatkan keselamatan itu jalannya tidak gampang tak pula gratisan. Keselamatan itu butuh pengorbanan maka mari semakin belajar mengelola pengorbanan itu?

Sydney, 1 Agustus 2018

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.