Aku melihat ada satu hal yang positif, tentang kepercayaan dan kepasrahan kepada Tuhan terhadap masa depan yang kentara pada sosok-sosok yang mau merencanakan untuk memiliki anak. Di jaman yang tak mudah ini, dimana tongkat kayu dan batu ditanam tak lagi jadi tanaman, pertarungan bukan lagi sekedar menjadi kaya atau miskin tapi lebih dari itu menjadi hidup atau… layak untuk mati sementara mereka yang merencanakan dan memiliki anak itu tadi, telah berusaha “menghidupkan” diantara resiko “mematikan” terlebih, “dimatikan”.
Beberapa waktu lalu, adalah teman pembagi gosip di Jogja yang menginformasikan bahwa beberapa wanita yang pernah kukenal sedang mengandung anak yang kedua.
“Gila!” tukasku lewat corong telepon.
“Kenapa gila? Lha wong mereka ada suaminya kok!”
“Iya, mereka gila karena apa mereka nggak mikir seperti apa mahalnya ongkos membesarkan anak-anak mereka nantinya.”
Temanku hanya tertawa nggleges.
“Atau jangan-jangan kamu juga mau ikutan gila untuk hamil anak yang kedua ya?” tanyaku lagi.
“Hehehehe.. aku memang lagi hamil juga Don, anak yang kedua… “
Dan aku merasa telepon itu sebaiknya kuakhiri saja.
Bukan! Selayaknya aku memang iri, tapi sungguh tidak.
Aku dan istriku memang belum berencana untuk langsung mendapatkan momongan saat-saat ini.
Kenapa? Yang jelas karena aku (ketika tulisan ini dibuat -RED) belum dapat pekerjaan tetap dan yang kedua aku dan istriku lebih dari delapan tahun pacaran jarak jauh sehingga boleh lah kami ingin merasakan “pacaran” jarak dekat untuk beberapa waktu sebelum akhirnya kami bilang “O well, kami akan berusaha mendapatkannya mulai nanti malam!”
Kembali ke topik, bener-bener “gila” teman-temanku itu tadi.
Aku nggak habis pikir dan nggak habis berhitung dengan jari berapa biaya kelahiran yang harus ditanggung.
Berapa biaya membeli susu yang mahalnya sudah nyaris sama dengan harga emas itu!
Juga biaya buat nomboki biaya dokter yang menganalisa keadaan tubuh jabang bayi yang nggak bisa ngomong sakit nggak bisa ngomong happy dan nggak bisa ngomong kebelet pipis selain cuma ber-oak-oek itu!
Itu waktu masih bayi, waktu beranjak besar maka akan semakin besar pula pengeluarannya.
“Tapi itu kan cuma ketakutan aja, Don!”
Demikian ungkap temanku yang lain via jendela YM tadi pagi.
“Well, iya takut lah!”
“Hehehe ngapain kamu takut? Kayak nggak punya iman saja!”
Akupun berang!
Bukan berang karena saya dianggap takut,
tapi berang karena obrolan yang semula ringan malah berujung ke iman yang dibawa-bawa.
So, pigimana ini!
Kalau takut dibilang tidak memiliki iman…
Kalau nggak takut tapi melihat keadaan dunia yang tak terlalu baik, nanti dibilang pula malah menguji iman…
Memang serba susah menjadi manusia.
Tapi tiba-tiba Tuhan seperti mengantarkan sebuah nyala api keberanian melalui sosok nenek saya yang tiba-tiba seperti hadir di depanku padahal beliau saat ini sedang berada di Purwokerto nun jauh di Jawa sana.
“Nggak usah dipikir, dijalani aja! Nggak usah takut, diberaniin aja!”
Aku jadi manggut-manggut sendiri dan setitik keberanian untuk memandang dunia pun muncul seiring surutnya bayangan wajah wanita 79 tahun dengan enam anak dan menghabiskan hampir separuh usianya dengan menjanda karena ditinggal mati suaminya itu.
Ya, meski aku tidak mengakui bahwa aku kalah berani ketimbang teman-temman yang sudah ancang-ancang untuk anak keduanya itu tapi satu hal yang perlu kuakui, mereka benar-benar manusia yang hadir dengan kemanusiaannya: keberanian, kekhawatiran, tekad, nekad, perencanaan, dan menghadapi kenyataan entah bagaimanapun keadaannya serta hasilnya.
Kupikir ini adalah pengejawantahan dari apa yang tertulis “Manusia hanya bisa berusaha, Tuhan yang menentukan”
Berusaha sebaik-baiknya, sekeras-kerasnya!
So, Honey, gimana ntar malam?
Makan Thai Food Parramatta atau menyantap cokelat MaxBrennner disebelahnya?
Hai Don..
Setuju banget …
pacaran aja dulu sampe puasa…proses bikin anaknya di sering seringin…kekekek
Gudlak ya…*halah*
heheeh
dari sisi ekonomi saya juga nggak habis pikir lho, sudah tau tahun ini sedang krisis-krisisnya. tapi entah kenapa, keinginan untuk memiliki anak kedua (seperti juga waktu anak pertama), kuat banget. Pokoknya ingin punya anak. Dan begitu juga istri saya.
Hebat.. itulah hebatnya dan yang menginspirasi tulisan ini hehehe :)
Kalau sudah urusan seperti ini, kadang sisi rasional manusia sudah tak berarti banyak. Kalau yang ingin “menitipkan” anak , yang mau, bagaimana lagi? Nanti juga Ia yang akan mengatur rejeki untuk anak itu, meski untuk mendapatkan rejekinya mesti diraih bukan ditunggu. Ayo Don! Tambahlah anggota keluargamu, mumpung masih muda, bukannya saat tulisan ini ditayangkan, Tuhan sedang memberimu rejeki? Sekali lagi, selamat Don! :D
Psst..saya dengar yang KB dengan ketat pun bisa kebobolan.
Hehehe, Yoga… soal muda – tuanya, di sini banyak teman yang punya anak ketika usia sudah mulai 40 tahun. Ya, aku sih ngggak pengen usia segitu, pengenku beberapa waktu mendatang lagi hehehe..
Doakan saja!
Tingkat keberanian masing-masing orang berbeda Don.
Adik saya berani menikah saat tingkat terakhir..kalau saya sih nggak bakalan mau. Tapi bapak saya keras, mereka diperbolehkan menikah, tapi harus kuliah sampai selesai, dan jika punya anak dititipkan ortu dulu. Ternyata putusan ayah sangat tepat.
Saya termasuk orang yang nggak berani, karena melihat kiri kanan hidup susah, saya berjanji dalam hati, jika punya anak, minimal saya cukup punya uang untuk beli susu tanpa hutang, dan menyiapkan pendidikan anak-anak minimal S1. Dan saya tak mau membebani anak sulung, untuk membantu menanggung biaya adiknya, jika saya punya banyak anak.
Akibatnya saya menikah terlambat (29 tahun), karena kerja di Bank harus kontrak tak boleh menikah selama pendidikan, dan selesai kontrak, saya baru berani menerima lamaran mantan pacar (suami sekarang).
Karena cukup umur, maka segera ingin punya anak, ndilalah keguguran…sejak itu saya terus dihandle dokter, jadi anak sulung saya termasuk anak biaya mahal, syukurlah semua biaya pengobatan diganti kantor.
Saat saya memutuskan melepas spiral untuk siap punya anak kedua, suami senewen, karena tahu biaya susu dll mahal, tapi saya kali ini agak nekat, karena berharap juga bisa naik pangkat, dan umur tak muda lagi, anak kedua lahir saat saya umur 34 tahun.
Dan walau dokter kandungan nguber terus untuk punya anak satu lagi, saya tetap berniat dua saja, agar saya bisa memberi perhatian, dan berkarir. Karir harus dijalani, agar uang cukup untuk membesarkan anak, memberikan kursus di luar sekolah….dan memang biaya mahal sekali Don.
Tapi kembali lagi, standar masing2 orang beda. Dan kenapa saya tetap kerja setelah pensiun? Selain agar otak tak mudah pikun, juga agar saya masih bisa membayar biaya si Mbak (ada 3 orang), yang dua orang telah ikut saya lebih dari 10 tahun, dan mereka tulang punggung keluarganya.
pergumulan yg tak pernah usai… tapi kadang aku pengen anakku nanti mendapatkan sesuatu yg sempurna. tapi lagi2 sempurna itu yg kaya apa? kabarnya yg sempurna itu cuma ada di surga. jadi gimana yak? apa bisa dunia ini disulap jadi surga? ah, bingung. ndak usah dipikir aja kali ya? bener kata eyangmu itu. dijalani aja. soal punya iman atau tidak, kurasa cuma Tuhan yg bisa menakar. semenit yg lalu aku merasa punya iman, tapi siapa yg menjamin semenit ke depan kita masih berani bilang bhw kita punya iman. lha jane iman ki opo to? opo iman ki iso tuku neng pasar demangan? nek ono sing dodol, tak tuku beberapa kilo ngge persediaan masa paceklik. hehehe, malah ra ono juntrunganne omonganku iki don.
don, tapi ngomong2 iman ki apa ya? apa bisa kita beli di pasar demangan beberapa kilo lebih banyak, supaya kita lebih kuat menjalani hidup di dunia yang sudah semakin renta ini? dan kalau iman yang kita punya itu berlebih, apa bisa ya kita kasihkan begitu saja ke anak kita supaya dia juga tidak cuma cerdas dan bijak tetapi juga kuat menjalani hidup?
saya salut dengan keberaniannya
Hm…
Aku malah masih di tahap “apakah aku berani menikah?”
tapi lucunya,
aku sudah asyik bermain-main di “aku berani hamil dan punya anak!”
Nah, nah…
kalau ini bukan dosa, tabu, atau apalah itu, yang memungkinkan aku untuk melakukan itu semua… well, maybe I will gladly do it..
Aku aneh, ya, Don? ^_^
Eniwei,
aku selalu percaya, akan ada suatu masa atau peristiwa di dalam hidup kita, yang secara otomatis menumbuhkan keberanian itu, Don. Selagi masih jadi flesh blood seperti hari ini, ketakutan-keberanian akan timbul tenggelam…
Well, teori ini mungkin tidak berlaku buat semua orang, but it surely works on me.
Salam buat Joyce ya, Don!
hmmm aku bisa ngerti bener pikiran kamu kok. kami 3 th tanpa anak, menikmati kerja dan hidup berdua. Tadinya gen sama sekali tidak mau punya anak. Tapi waktu aku hampir berumur 35 th (wkt nikah 31)aku bilang, kalau masih mau punya anak harus sekarang. Kalau tidak mungkin akan tidak punya anak selamanya.
Hati-hati saja karena biasanya lebih dari 2 tahun “berdua” saja, ada kemungkinan itu, entah secara psikologis ntah karena memang tidak bisa. Jadi, kami coba dengan perhitungan mundur spy lahirnya bulan februari. Pas tuh hehehe.
Anak kedua memang “kecelakaan” karena sebetulnya saya pikir cukup satu, sedangkan gen mau nambah karena kasian pada Riku untuk hidup sendirian selamanya.
Yang pasti apa yang diberikan Tuhan, hendaknya dijaga dengan baik. Tapi saya tidak begitu setuju jika lebih dari dua. (sedapat mungkin dihindari)
So enjoy your honeymoon as long as possible.
EM
bagus juga…..
pengen nulis kayak kamu deh jadinya
salam kenal yah
hayo hayo .. berani dong punya anak :) rejeki kan ditangan tuhan :)
Kalau saya sih percaya bahwa ketika kita diberikan beban lebih berat oleh Sang Maha Kuasa berupa amanah seorang anak misalnya, maka karena Dia Maha Pengasih, pastilah rezeki untuk titipannya tidak akan dikurangi malahan akan ditambah. He..he..he… ini fikiran kolot ya…Mas Donny
hehehe….soal punya anak bukan sekedar punya iman atau nggak….
Kalau nurut aku, di jaman modern gini, kita nggak boleh EGO cari kesengangan kita sendiri dengan bikin anak sebanyak-banyaknya….
Tapi sungguh-sungguh apakah kita sudah mempersiapkan masa depannya nanti?
Well Don…
Mandate Bojoku malah, jangan tutup pabrik sebelum dapet anak wedok, wakakakaka
Aku yakin Sampeyan wis duwe private plan dewe urusan momongan, tp one fine day saat giliran Kowe ngganti popok malem malem, rasakan betapa rasa cintamu bakal tambah tebal kepadaNya, Ibumu, Istri Tercinta, Mbahmu..
Cukup tebal untuk mengenang betapa semua keraguan yang pernah ada tuh sbenarnya cuman small matter
memang benar, mas dony, kalau dipikir, biaya hidup utk anak2 memang tidak ringan. namun, anak juga sebuah amanah, hehehe … *kok jadi sok tahu saya* hidup saja seperti “banyu mili”, mengalir dan tenang serta mengikuti aru yang ditunjukkan oleh-Nya.
Cieeeeeee…selamat yeee…segera hamil dong? Ihihihihi
Tuhan sudah merencanakan, tinggal manusia yang menentukan. Gimana?
Ayo tancap…
Beri aku keponakan yang chubby!
Hi-hi-hi…
Jujur, saya juga kurang ngerti knp orang setelah nikah mesti ada target punya anak. Kalau memang belum siap mental dan finansial bukankah si anak juga nantinya yg akan jadi korban? Apakah worth it utk mengorbankan kesejahteraan anak demi menuruti dorongan hati/keinginan/egoisme orang tua?
Menurut saya keberanian yg paling penting adalah keberanian utk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan itu.
Btw, nice blog, mas Donny
weh … saya dulu persis berpikir seperti sampean mas makanya saya juga telat mempunyai anak dan sekarang juga masih satu anak belum dua lagi dalam perencanaan ….nggak tahu dulu juga pernah berang ketika di hubungkan dengan kepercayaan …ya iya lah biarpun beriman tapi kita kan boleh berhitung yo mas daripada anak anak kita terlantar malah menyiksa mereka sepanjang usia (kan nggak mau nyithak kere hahaha )
agak kaku dan wagu juga ketika punya anak pertama tapi akhirnya juga biasa trus kalo masalah rejeki katanya bawa sendiri itu cuman biar kita berani nekad tapi nek kita ra golek yo ngapusi mas tenan iku aku wis ngrasakke hahaha.
…aku juga pacaran sama istri setelah menikah sama seperti sampean cuman lama lama sungkan juga dikira orang nggak bener …setelah punya anak jadi lebih PD lebih semangat dalam bekerja dan berusaha ( ndilalah campur kepekso hahaha)
Tapi punya anak ternyata lebih membuat kita senang …biarpun kerja siang malam kitane seneng lan bangga kang yakin kui…(rangapusi …sitik haha)
mudah mudahan Tuhan memberikan keturunan pada keluarga anda untuk melanjutkan semua kebaikan anda….
salam sukses selalu
saya juga takut.
terkena sindrom baby blues yg datang terlalu dini :)
Baby blues? Waduh saya malah ndak tahu..a sli
mas don…
dijalanin aja semuanya…
semua akan jadi baik baik saja kok :)
ppsstt…
anakku dah 3 loh, bukan cuma 2 :D
hihihihih
Kereeen tulisannya…walaupun topiknya mengenai ketakutan akan mempunyai anak dimasa susah ini tapi saya melihatnya lebih kepada bagaimana kita jangan sampai skeptis dalam menghadapi hidup ini…kereen…
Makasih. Ditunggu kembali kunjungannya ke blog ini, Kakak :)