Mengampuni lebih sungguh…

13 Mar 2014 | Cetusan

Dulu aku sering bertanya kenapa guru agamaku selalu bilang bahwa Tuhan meminta kita untuk memaafkan orang yang telah bersalah kepada kita tujuh puluh kali tujuh banyaknya?

?Kenapa tidak sekali dan kenapa pula tidak semilyar kali misalnya??

* * *

Ada hal menarik terkait dengan berita pembunuhan Ade Sara yang konon dilakukan secara keji oleh mantan pacar beserta kekasih barunya minggu lalu. Kedua orang tua Ade Sara memberikan pernyataan pengampunan bagi tersangka pelaku pembunuh anaknya.

Bagi umat Katholik di Indonesia (karena kebetulan keluarga Ade Sara adalah pemeluk Katholik) dan sebenarnya bagi kita semua, hal ini seolah menjadi momentum nan menyejukkan di masa Pra Paskah tentang bagaimana mengampuni orang yang telah bersalah kepada kita.

…pengampunan dan pemaafan itu bukan sekali jadi sesudah itu beres karena dendam adalah sesuatu yang kadang bisa timbul lalu tenggelam tergantung situasi dan kondisi hati.

Namun meski demikian, kita tetap perlu berhati-hati dalam menelaah ?kesejukan? itu dengan menyadari bahwa pengampunan dan pemaafan itu bukan sekali jadi sesudah itu beres karena dendam adalah sesuatu yang kadang bisa timbul lalu tenggelam tergantung situasi dan kondisi hati.

Bukannya memandang rendah keteguhan iman Pak Surono dan Bu Elizabeth, orang tua Ade Sara, tapi secara umum pernyataan pemberi ampunan hanyalah momen awalan yang menyatakan bahwa sejak saat ini hingga selamanya aku telah dan akan selalu mengampuni.

* * *

Seorang kawan, anggaplah demikian adanya, pernah pacaran begitu lama lalu tiba-tiba putus karena persoalan prinsip.

Ia sakit hati dibuatnya tapi kemudian dengan berbesar hati, ia pun mengampuni bahkan mereka lalu bersahabat.

Tak lama kemudian, ia bertemu dengan seorang yang baru yang lantas dipacari dan dinikahinya.

Pernikahan berjalan enam bulan dan kawanku tadi mulai merasakan hal-hal yang tidak sreg dari pasangannya yang tak disadarinya (atau mungkin tak diambil pusing ketika itu) sewaktu pacaran.

?Tapi bukankah tak ada yang bisa benar-benar sreg dalam pernikahan, Kawan?? ujarku.
?Iya.. tapi? arghhh ini bener-bener keterlaluan, Don!?

Lalu setelah kami lama berdiskusi, ia menyeletuk, ?Ini juga sebenarnya gara-gara dulu si Wati (anggap demikian) mutusin aku karena beda prinsip sih! Padahal aku udah OK saja untuk pindah ke agamanya!?

Ia menggerutu tentang Wati dan kubiarkan begitu saja semuanya keluar.

Kawanku yang semula mengampuni Wati, tak sampai dua tahun kemudian berbalik arah dan memilih menaruh dendam dan kekecewaan terhadap peristiwa pemutusan hubungan asmara itu.

Bagiku ia tidak gagal.?Ia SUDAH mengampuni dan memulainya dengan sangat baik: menyatakan pengampunannya. Tapi dalam perjalanan waktu, ia terjatuh dalam dendam lama, manusiawi kan?

Tinggal bagaimana ia mau dan mampu melihat serta meresapi momen pernyataan pengampunan yang pernah diberikannya dua tahun sebelumnya lalu bangkit berdiri lagi mengubur dendam kali ini lebih dalam lalu mengampuni lagi dan lagi kalau perlu hingga belasan kali, ratusan kali? tujuh puluh kali tujuh… hingga mati!

Itulah perjuangan untuk mengampuni lebih sungguh.
Perjuangan kita semua yang pernah merasa disakiti lalu berusaha mengampuni, perjuangan Pak Surono dan Bu Elizabeth, orang tua Ade Sara.

Perjuangan pengampunan mereka ke depan terhadap pembunuh anaknya, sungguh tak pernah dan tak kan pernah mudah.?Ia kehilangan putri semata wayangnya. Hal yang aku sendiri tak sanggup membayangkan jika aku ada di posisinya.

Mungkinkah aku sanggup memberikan maaf seperti yang dilakukan mereka?
Atau barangkali kuberi maaf sekarang tapi entah selanjutnya?

Bagaimana misalnya beberapa tahun ke depan ada kawan baik Ade Sara yang mengundang Pak Surono dan Bu Elizabeth untuk makan malam menyambut wisuda kelulusan kuliah, apakah hati tidak terbakar, ?Ah! Gara-gara mereka nih anakku mati dan nggak bisa diwisuda seperti kawannnya ini!?

Atau beberapa tahun berikutnya ketika kawan baiknya menikah dan mengundang mereka, apakah hati mereka tak lebur karena membayangkan sesungguhnya pada usia itu, Ade Sara yang telah tiada juga harusnya menikah dan mereka harusnya duduk mendampingi mempelai di pelaminan?

Kita hanya bisa berdoa bagi mereka. Bagi Pak Surono dan Bu Elizabeth yang telah berani menempuh jalan yang kebanyakan orang menganggapnya aneh, tapi sungguh itulah hal terbaik yang bisa dilakukan: memaafkan dan mengampuni.

Et dimitte nobis debita nostra,?sicut et nos dimittimus debitoribus nostris?
(Dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami)

Sebarluaskan!

8 Komentar

  1. yup 1 “kesalahan” saja bisa jadi butuh beberapa kali “memaafkan” … manusiawi

    Balas
    • Manusiawi? Padahal kita tak sampai 100 tahun jadi manusia lho ;)

      Balas
  2. Mengampuni dalam lisan memang terkesan mudah, tapi dalam arti yang sebenarnya memang harus berkali-kali.

    Balas
  3. Jika syarat manjadi manusia adalah memaafkan atas segala kesalahan oranglain, selamanya, maka aku tak masuk dalam golongan manusia.

    Balas
    • Kamu percaya kekuatan Tuhan, kan? Saat kita merasa perlu memberikan maaf, sebenarnya Tuhan menguatkan kita untuk mengatakannya. Percayalah…

      Balas
  4. Ortunya Ade ini emang luar biasa, tapi nek anakku sing di gawe ngono, tak gawe KOMA sik pelakune, lagek tak maafkan :).

    Balas
    • That’s it! ;)

      Balas
  5. Ohhh aku begitu membaca link kamu di FB soal ibunya memaafkan, aku langsung berdoa untuknya, dan mengimbau teman-teman di gereja untuk mendoakan orang tua Ade tsb, supaya diberi kekuatan untuk TERUS kuat dan memaafkan. Justru setelah semua penguburan, atau pengadilan, dan kehidupan berlanjt itulah BEBAN mereka semakin besar, semakin banyak kemungkinan untuk menjadi marah, putus asa, menyesal dsb.

    Watashitachino tsumi wo oyurushikudasai. Watashitachimo hito wo yurushimasu.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.