Banyak orang bilang sebenarnya aku adalah orang baik, dan pernyataan itu kuanggap benar karena memang aku jarang berbuat jahat.
Aku baik bukan karena sesuatu supaya aku dinilai baik, tapi aku baik juga karena aku menggunakan kegelisahanku untuk berbuat yang terbaik.
Kegelisahan yang bukan berbicara tentang “gelisah karena kebelet pipis” atau “gelisah karena hingga sore Ayah dan Ibu belum juga pulang”
tapi gelisah sebagai suatu sikap dan response yang membandingkan antara kejadian dengan tatanan moral serta hati nurani yang kian hari sebenarnya kian mengecil. Dan kupikir justru dengan menggunakan kegelisahan itu aku tetap mampu menjaga “form” dari hati nurani itu sendiri untuk tetap, setidaknya kecil dan tidak semakin mengecil.
****
Nyaris dua tahun lalu mungkin, seorang tetanggaku di Klaten divonis dokter mengidap tumor otak stadium akut.
Keadaan ekonominya tak memungkinkan untuk dia berobat dan hal itu pulalah yang membuat dia mengetahui keakutan penyakit itu dalam kondisi yang sudah sangat terlambat. Aku mendengar cerita lengkap tentang ia dan penyakitnya dari Mama ketika itu,
“Kasihan, bisanya sekarang cuma merintih, tak mau dan tak bisa dibawa ke rumah sakit karena nggak punya uang.”
Aku terdiam.v
Sejurus kemudian, ketika aku pulang kembali ke Jogja dan bekerja, aku mulai gelisah.
Gelisah memikirkan tentang si sakit itu. Gelisah memikirkan bagaimana mungkin seorang hanya karena kesulitan ekonomi sampai tidak dapat ditolong oleh sesamanya. Sedemikian tinggi dan tak tergantikankah posisi uang dan ekonomi sehingga membatasi dan menyekat semuanya?
Aku gelisah memikirkan bagaimana si sakit itu tahu bahwa dia sedang bergulat dengan kesakitan dan detik.
Ia bergulat dan mempertahankan detik demi detik yang berjalan hingga tatkala nyawanya harus terlepas karena cengkeraman penyakit yang tak pernah diharapkannya menimpa itu.
Aku bergerak!
Menelpon rumah sakit ternama di Yogyakarta, orang banyak mengatakan rumah sakit itu sebagai yang terwahid di kota ini. Berharap ada belas kasih di sana.
Tut-tut-tut…
“Halo, saya mau tanya tentang kemungkinan memperoleh keringanan biaya untuk calon pasien yang miskin? Sebaiknya sa…”
“Ehhhh, coba saya hubungkan dengan bagian pembayaran.” Ada suara di ujung sana, berat, serak, malas-malasan dan menyela seenaknya.
“Halo bagian pembayaran? Saya mau tanya sesuatu bisa?”
“Boleh. Silakan”
“Begini… Ada tetangga saya mengidap tumor otak kayaknya sudah stadium tinggi. Apa di rumah sakit ini ada program pemberian keringanan pembiayaan bagi tetangga saya itu tadi.”
Lawan bicaraku terdiam sejenak …
“Hmmm begini Mas. Untuk pembiayaan operasi maupun biopsi tumor otak seperti itu sangatlah mahal. Sementara untuk pemberian keringanan biaya prosesnya panjang dan tidak bisa maksimal sampai dengan NOL rupiah. Jad…”
“Ya, saya juga tidak bilang sampai NOL rupiah, saya cuma minta keringanan, kok!” Aku mulai membaca gelagat yang tak baik.
“Iya, tapi maaf Mas jumlah pemotongan biayanya sungguh kecil dibandingkan dengan biaya penanganan penyakitnya.”
Aku sekarang yang balas terdiam.
“Halo, jadi bagaimana Mas?”
“Sebentar Bu, sebentar …” otakku berputar, kegelisahanku semakin memuncak.
“Jadi, dengan kata lain tetangga saya tak akan terselamatkan?”
“Ya bagaimana lagi, daripada nanti kita kena tanggungan apa-apa dan Mas-nya juga …”
Aku kehabisan akal. Pertikaian semakin terasa memuncak di dalam hati dan akhirnya aku putuskan saluran telpon itu.
Aku merutuk perilaku dan pemikiran orang yang jadi lawan bicaraku tadi.
Orang yang bekerja di bidang kesehatan yang seharusnya lebih mengetahui bagaimana perihnya menahan sakit dan bagaimana kecilnya harapan medis untuk pengobatan kanker sekalipun, justru berlaku demikian.
Ini sungguh-sungguh gila! Pernah aku baca kaos bertuliskan “Orang Miskin Dilarang Sakit” dan aku teramat sangat mengamini hal itu, hingga saat ini.
Mataku terpejam tapi bukan untuk damai.
Jauh juga air mata dari pelupuk, tapi begitu dekat kegeraman yang meradang.
Aku mendadak jadi ingat bagaimana rindangnya suasana rumah sakit yang baru saja kukontak itu.
Beberapa kali ketika aku menjenguk kerabat dan sahabat yang kebetulan harus sakit dan mondok di sana.
Beberapa pucuk pohon rindang menutupi sinar matahari di halaman luarnya dan membuat sejuk sebenarnya meski siang terik seharusnya menyengat.
Di depannya terdapat patung Tuhan yang begitu aku dan mereka agung-agungkan. Tapi, bukankah Tuhan yang pernah hidup sebagai manusia itu dulu juga manusia yang miskin dan tak punya? Lalu kenapa rumah sakit itu masih tetap memasang patung Tuhan yang Miskin jika mereka menolak orang miskin berobat ke sana ?
Aku hubungi lagi rumah sakit yang satunya.
Sebenarnya aku sudah cukup skeptis, jangan-jangan rumah sakit ini tetap sama saja menolak si miskin untuk berobat atau setidaknya “maaf” numpang meregang nyawa secara layak.
“Halo, saya mau tanya tentang kemungkinan memperoleh keringanan biaya untuk calon pasien yang miskin? Sebaiknya sa…”
“Ehhhh, coba saya hubungkan dengan bagian pembayaran.” Ada suara di ujung sana, berat, serak dan menyela seenaknya.
“Halo bagian pembayaran ya? Saya mau tanya sesuatu bisa?”
“Boleh. Silakan”
“Begini… Ada tetangga saya mengidap tumor otak kayaknya sudah stadium tinggi. Apa di rumah sakit ini ada program pemberian keringanan pembiayaan bagi tetangga saya itu tadi.”
Baris-baris di atas sengaja kutulis sama karena hingga di titik itu, harapanku pun sama dengan ketika kutelpon rumah sakit sebelumnya: kosong!
Hingga baris-baris di bawah ini yang lumayan sedikit berbeda pun terjadi …
“Oh baik Mas, yang sakit sekarang ada dimana?”
“Klaten, Bu”
“Begini, bawa saja si sakitnya kemari nanti biar diperiksa oleh dokter dan …”
“Dan biayanya?” Skali lagi aku tetap skeptis meski hawa angin baik mulai terdesir.
“Biaya nanti dibicarakan yang penting si sakit tertolong …”
Ah, kali ini kubayangkan Tuhan Yang Pernah Miskin itu tersenyum lebar meski patung dirinya tak tampak dipajang di halaman, selasar, maupun seantero rumah sakit itu. Barangkali hanya ada di gambar-gambar kecil di sana-sini, tapi setidaknya tidak ditampakkan di depan sebagai simbol kepongahan saja.
Kegelisahanku mulai mereda. Segera setelah kututup telepon kulihat ada cahaya kecil yang ada di lorong hati.
Langsung saja kutelpon Mama untuk menyampaikan kabar gembira ini dan berharap ia menyampaikan pada sang istri atau saudara dari si sakit.
“Halo, Mama?”
“Iyo Le. Piye, ada apa ?”
“Ma! Aku dapat kabar dari rumah sakit, si sakit bisa dibawa ke situ dan dapat jaminan keringanan biaya!” Aku sangat bersemangat dalam berbicara.
“Loh, kamu kok ikut bingung mencarikan rumah sakit buat dia ?”
“Iya, Ma! Aku kepikiran terus jhe”
“Wah! Nganu Le… hmmm” terdengar suara Mama tercekat hingga di sini…
“Piye Ma?”
“Baru aja… dia meninggal baru saja, rencana besok dimakamkan…”
Degggg!
Aku nanar. Kegelisahan mereda dan benar-benar hilang. Tak ada lagi pertempuran antara harapan dan realita karena memang realita yang menang selisih sedikit ketimbang harapan kali ini …
Tapi aku lega, karena setidaknya tetanggaku yang miskin itu telah bertemu dengan Tuhan yang Kaya meski dulu pernah miskin.
Dan mereka berdua, Manusia dan Tuhan itu, telah bersama-sama bahagia tanpa Miskin dan Sakit meski dulunya pernah merasakan sama-sama miskin dan sama-sama sakit …
***
Dua hari yang lalu aku juga gelisah di perempatan Tugu Yogyakarta menjelang tengah malam.
Seorang nenek tertidur pulas dengan selimut tipis dan beralaskan kain perca di emperan trotoar kira-kira 100 meter sebelah barat dari traffic light yang menghadap ke arah timur. Digunakannya payung terkembang untuk menghalau hujan yang mungkin turun serta sekaligus sebagai penghalang sinar merkuri jingga yang menyorot tepat di mukanya.
Sementara di depanku, beberapa orang muda saling ber haha-hihi satu sama lain.
Mereka saling berfoto bergantian dengan latar belakang tugu, lampu kilat kamera pocket digital mereka bersliweran kemana-mana berpadu dengan merkuri jingga yang menguat tepat di tengah tugu.
Aku gelisah karena berada di tengah-tengah kondisi yang berbeda, si nenek dan orang-orang muda.
Aku berpikir betapa kontrasnya dunia.
Tentengan kamera digital itu kalau dijual tentu saja bisa untuk membelikan spring bed sekalipun untuk si nenek.
Sementara pada paras yang pulas dari si nenek, juga membuatku gelisah, jangan-jangan ia memang cukup menikmati tidur disitu ketimbang harus berkumpul di rumah dengan anak kandungnya yang memiliki istri judes dan cucu-cucu yang jahat kepadanya?
Barangkali ia memperoleh kedamaian dengan tidur di trotoar macam malam itu?
Aku juga gelisah terhadap diriku sendiri.
Aku yang berada ditengah-tengah antara si nenek dan orang-orang muda itu,
aku yang mungkin satu-satunya orang yang berkat kegelisahanku jadi berpikir tentang betapa kontrasnya dunia itu,
aku yang pun memiliki kamera pocket digital dan beberapa berkat ekonomis dari Tuhan itu,
tak pula berbuat yang lebih baik daripada si orang-orang muda yang kucela di depan sana ?
Tapi untunglah lampu merah segera padam dan bagian hijau yang menyala.
Motor kularikan sekencang-kencangnya berharap sebagian jiwaku yang mengusung kegelisahan tetap tertinggal dan tak ikut terbawa hingga ke rumah.
Tapi kegelisahan adalah tetap kegelisahan, sesuatu yang bersifat hakiki yang memang melekat di diriku.
Kupikirkan, kegelisahan itu, sebagai anugerah dari Tuhan untuk kita membandingkan antara realita, keakuan dan hati nurani.
Ya, anugerah yang berupa kegelisahan.
Hingga saat ini, pada saat-saat menjelang tidur aku terus berpikir dan gelisah.
Ya tentang nenek itu, tentang orang-orang muda itu, tentang kekontrasan dunia, tentang mendiang si sakit, tentang orang-orang di barak Lumpur Lapindo, manusia-manusia tenda di Bantul dan Klaten, Munir, Pollycarpus, Suciwati, Gie, Pram …
tentang ketidakmauan dan keterbatasan diriku dalam menyikapi dunia dan dalam menyikapi kegelisahanku sendiri.
Aku hidup dalam gelisah, berpikir tapi bersyukur untuk setiap kegelisahan itu.
Hingga akhirnya aku menyimpulkan betapa aku sangat membutuhkan kegelisahan itu dalam setiap langkah hidupku.
Karena terkadang, ketika keduniawian telah begitu membekap otak dan hati, kegelisahan adalah satu hal penting untuk mampu melihat senyum Tuhan Yang Sebenarnya Tak Pernah Miskin itu …
Tulisan ini adalah salinan dari blog saya yang ada di friendster. Pernah dimuat di sana pada tanggal 22 Agustus 2007
0 Komentar
Trackbacks/Pingbacks