Membuang buku yang tak perlu itu perlu

4 Jan 2021 | Cetusan

Semalam aku bersih-bersih rak buku. 
Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, hal yang selalu kulakukan setiap menjelang hari pertama masuk kerja di tahun yang baru adalah bersih-bersih ruang kerja. Menata ulang perabotan yang sebenarnya nggak perlu ditata ulang dan membuang barang-barang yang sepertinya sudah tak diperlukan lagi. Tahun ini, sasaranku untuk membuang buku.

Kenapa harus membuang buku?

Adapun membuang buku itu sebenarnya sesuatu yang ‘pamali’ untuk dilaksanakan. Buku adalah sumber ilmu, bahkan buku dengan ‘kasta rendah’ termasuk stensilan Enny Arrow pun juga berilmu! 

Tapi aku gak punya Enny Arrow lagi! Rak bukuku dipenuhi buku-buku spiritual-agama, sastra dan budaya, novel fiksi, novel horor milik istri dan buku-buku design serta IT!

Kenapa harus kubuang? Karena aku pengen beli buku-buku baru sementara untuk nambah rak sudah tak ada tempat. Selain itu, aku melihat dari sisi relevansi, masih perlukah buku itu kusimpan?

Buku IT terapan/praktek

Setelah berpikir berulang-ulang, pilihan untuk membuang buku jatuh pada ragam buku IT terapan/praktek.

Apa saja yang termasuk dalam ragam buku tersebut? Buku-buku yang membahas cara menggunakan software serta development framework. Buku-buku yang kalau di Indonesia biasanya mudah dikenali sebagai buku yang  memakai judul, “Cara mudah untuk….” atau “Menguasai… dalam 24 jam!”

Beberapa buku yang kubuang, berumur setidaknya 8-12 tahun

Apakah buku-buku itu buruk sehingga harus kubuang?

Tidak juga. Dulu aku beli buku seperti itu untuk menenangkan pikiran ketika nervous harus mempelajari hal baru. Siapa sih yang jadi nggak tenang dan kalem setelah diyakinkan model-model penjudulan yang ‘cheesy’ seperti itu? Hahaha!

Alasanku membuang buku-buku tersebut adalah karena topik pembahasan kebanyakan sudah out-of-date. Misalnya buku tentang Adobe Photoshop yang kubeli 10 tahun lalu (tidak ada dalam gambar) ya sudah barang tentu tak terpakai lagi karena versi dari software grafis yang kini beredar sudah berbeda sama sekali dengan yang dibahas di buku itu, bukan?

Hal ini berbeda dengan buku-buku IT yang berisi prinsip dan konsep. Misalnya buku tentang prinsip design, algoritma pemrograman, struktur data, Object oriented programming… buku-buku seperti itu tidak perlu dibuang kecuali kalau konsep dasarnya sudah berganti sama sekali!

Sempat berpikir untuk menyumbangkan buku-buku yang hendak kubuang ke yayasan sosial yang menjamur di Australia sini tapi siapa yang mau menerima? Katakanlah diterima, siapa yang akan beli ketika mereka menjual ulang bahkan dengan harga paling murah sekalipun?

Maka keputusanku membulat! Setelah dipotret untuk jadi kenang-kenangan sekaligus materi pendukung di postingan ini, aku memasukkannya ke tempat sampah daur-ulang. Jadi, meskipun sudah kubuang, bahan dasarnya, kertas, tetap bisa dipakai untuk hal-hal lain.

Mending rilis digital, deh!

Nah, bicara soal kertas, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para penulis buku IT terapan/praktek, rasanya untuk ke depan proses penerbitan buku-buku dalam ragam ini ke bentuk cetak harusnya diseleksi lebih lagi. Alasannya karena pengadaan kertas berarti penebangan pohon yang jadi bahan baku kertas (kecuali kertas daur ulang). Selain itu ya sama dengan yang kutulis di atas, bahwa perkembangan dunia IT terapan termasuk software dan IT framework begitu cepat! Bahkan terkadang kita lagi baca buku 60 halaman, eh sudah muncul versi yang baru dirilis yang berbeda dari yang sedang beredar dan sedang kita pelajari dari buku tersebut.

Lagipula, untuk belajar software baru, generasi-generasi masa kini lebih senang membaca dokumentasi yang disediakan perilis, mencari solusi di Youtube atau dalam forum-forum diskusi dimana kita bahkan tak hanya mendapatkan solusi tapi juga bisa berperan sebagai kontributor untuk membantu orang lain yang membutuhkan solusi!

Jadi sepertinya, selain surat kabar harian, buku-buku IT praktek/terapan adalah buku-buku yang sebaiknya tidak perlu dicetak. Kalaupun diterbitkan, sebaiknya secara digital.

Demikian juga dengan stensilan Enny Arrow. Nggak perlu dicetak! Selain ngirit kertas, kertas stensilan kan biasanya paling sering mudah basah dan kalau sudah basah tinta cetakan ikut rusak, tulisan pun tak terbaca. Kalau sudah begitu, darimana kita dapat ‘ilmunya’, eh?

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Saya melakukannya terhadap lebih dari 30 persen buku saya karena
    1. Rak tidak memadai
    2. Buku tak saya perlukan lagi
    3. Anak istri saya juga tidak butuh

    Saya buang begitu saja? Nggak. Saya minta anak yang membersihkan rak saya membawa gerobak, membawa pulang buku itu dan benda lain yang bikin rumah sesak. Kenapa?
    1. Saya ingin menyingkirkan buku itu lebih cepat
    2. Kalau saya harus menawarkan ke taman bacaan bakal repot dalam pengiriman, baik di saya maupun mereka
    3. Kalau saya tawarkan kepada siapa pun berarti saya harus menunggu
    4. Idem di atas, waktu akan terbuang ketika penerima buku menyeleksi judul yang cocok
    5. Anak yang menerima hibah saya tak suka membaca, tapi saya tahu buku dan barang yang diangkut gerobak sekian sorti itu akan segera jadi duit untuk dia dan keluarganya

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.